Transit

2.1K 109 18
  • Dedicated to Ratna KarmachameLeon
                                    

“Halo, Mam! Gimana acara jalan-jalannya di sana? Shopping terus dong sama Mbak Erin.”

“He’eh. Tapi Mami nelpon bukan mau ngomongin shopping tapi soal kamu.”

“Soal apa, Mam?”

“Perjodohanmulah. Rencananya Mami sama mbakmu …”

“Halo … halo …. Mam? Sinyalnya jelek, nih ….”

“Halo? Din … Halo? Halo?!”

***

Aku bergidik untuk ke sekian kalinya teringat kata-kata Mbak Erin—kakakku yang tinggal di Istanbul, Turki—beberapa bulan yang lalu.

“Pokoknya kalau sampai akhir tahun ini lu masih nggak punya pacar, gue bakal jodohin lu sama salah satu Emir dari keluarga laki gue.”

Aku mendengus kesal. Mentang-mentang dapat suami Emir yang mengelola perusahaan di sana, kakakku jadi semena-mena hendak menjodohkanku. Huh! No way! Cukup satu Arab saja dalam keluarga kami. Aku sih ogah. Lagian, dijodohin? Hello … so last year banget, sih. Kayak aku nggak bisa cari sendiri aja.

“KIAA!!” aku berteriak lantang sambil menggedor pintu tetangga satu apartemen yang terletak hanya dua lantai di atasku tersebut.

Sesosok wajah mengantuk, berkacamata minus dengan rambut acak-acakan menatapku dari balik pintu. “Lu nggak kira-kira apa kalo nggedor pintu orang?” rutuknya kesal, “Gue baru pulang dari Bukit Jalil[1] subuh tadi, tauk!”

“Ngapain ke sana?”

“Nonton Liverpool lah, masa mau dukung Malay?”

Lalu dengan kecepatan dewa, aku memasuki apartemen milik Nokia—sahabatku. Oke, jangan ketawa dulu—tapi sumpah—Nokia Abimanyu itu emang nama aslinya. Katanya sih karena Kia lahir waktu ayahnya yang pegawai KBRI bertugas di Finlandia. Inspirasinya jelas dari nama salah satu sungai yang mengalir di sana. Sialnya, pas Kia gede, ponsel Nokia muncul dan separo masa remajanya dilewati dengan interogasi dari orang-orang seputar apakah dia masih punya hubungan saudara sama pemilik perusahaan gadget tersebut atau dugaan kalau nyokapnya mbrojol pas lagi berenang di sungainya.

Gimanapun aneh namanya, Kia adalah sahabatku—satu-satunya yang terbaik yang kupunya—sejak kami masih kanak-kanak. Kami pertama kali bertemu di KL. Setelah itu walaupun beberapa kali terpisah karena ayahku dan ayahnya ditempatkan di kedutaan yang berbeda-beda, setiap tahun kami selalu rutin melakukan pertemuan di Jakarta, entah saat lebaran ataupun liburan. Puncaknya adalah ketika aku dan Kia memutuskan untuk sama-sama mendaftar kuliah di KL. Persahabatan kami semakin erat.

“Din!” teriak Kia kaget ketika melihatku nekat masuk. “Lu gila apa? Kalau ada polisi ntar gimana?”

Aku bukannya tidak tahu kalau kami berdua bisa ditangkap karena dianggap berkhalwat—berduaan dengan non muhrim—sebab baik aku dan Kia sama-sama muslim. Hal-hal semacam itu memang menjadi urusan negara di Malaysia. Apalagi kami orang Indonesia, bisa-bisa makin panjang urusannya.

“Tenang aja. Nggak ada siapa-siapa, kok. Lagian nih apart kan isinya hampir semua Chinese dan expat. Yang malay kayak lu dan gue bisa diitung kali,” belaku.

Sambil bersungut-sungut, Kia melangkah ke dapur lantas membuat kopi. Tak lama dia keluar lagi dengan cangkir di tangannya.

“Ngapain lu pagi-pagi buta ke sini?”

“Pagi yang lu maksud itu jam sepuluh, Ki?” Aku memutar bola mata, “Oh, ya gue lupa. Jam lu kan waktunya Indo. Jadi masih jam sembilan ya?” sindirku.

“Udah, nggak usah bawel deh. Jawab aja pertanyaan gue,” tukasnya sambil meneguk kopi.

“Mati gue! Mampus semampus-mampusnya. Gue tamat!” Aku menarik napas berat sebelum menatap wajah Kia lekat-lekat. “Nyokap mau ngejodohin gue sama Emir keluarganya ipar gue, Ki. Dan sumpah, selagi Monas belum nyaingin tingginya menara Petronas, gue nggak bakal mau!” jeritku setengah histeris, berharap Kia bakal ngertiin masalah yang kuhadapi sekarang.

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now