Suatu Hari di Fullerton

2.4K 103 18
                                    

Sungai Singapura yang membelah kota membiaskan kemilau menakjubkan dari cahaya lampu kafe di sepanjang kawasan Clarke Quay malam ini. Meriahnya suasana di sekitar Merlion Park begitu kontras dengan perasaanku sekarang.

"Jadi ini yang kaumaksud dengan meeting?" Aku berbalik dari jendela hotel, memandang lurus-,lurus ke matanya. Seluruh tubuhku berguncang menahan kecamuk perasaan yang menggelora di hati, namun aku berhasil mengucapkannya dengan nada datar, nyaris tanpa ekspresi.

Oh, seharusnya aku tak perlu semarah ini. Bukankah aku sudah tahu tentang mereka sejak dua bulan yang lalu?Lagipula aku sudah melakukan antisipasi, bukan? Aku mengerjapkan mata menahan perasaan nyeri. Melihat kenyataan secara langsung ternyata masih bisa memukulku walaupun aku sudah lama mempersiapkan diri untuk saat ini.

David, laki-laki yang terhitung dalam dua bulan ke depan akan mengikatku dalam sebentuk komitmen yang diakui secara sah oleh agama dan negara, menatap dengan sorot mata bersalah. Wajahnya pias sempurna.

"M-maafkan aku, Ra," ujarnya lirih, nyaris tak kedengaran, "semua salahku. Aku menyesal," sambungnya lagi. Kepalanya tertunduk dalam seiring bahunya yang terkulai lesu.

Dari balik tubuh tegap yang dulu selalu kukagumi itu, seseorang dengan wajah merah padam tengah berusaha menutupi tubuh polosnya dengan sehelai selimut di atas ranjang. Aku mendengus melihatnya, seolah itu mampu membendung luapan emosi yang tengah meletup-letup dari dasar hatiku.

"Tidak apa-apa, Darl. Sungguh." Lagi-lagi aku berhasil memperdengarkan nada tenang yang sama. Kucoba menampilkan senyuman palsu berkelas layaknya milik Audrey Hepburn.

David menatapku tak percaya. "Kau tak marah, Sayang?"

Aku mendekat padanya lalu berkata, "Untuk apa? Kita berhak melakukan apa saja sebelum kita menikah," sambungku sambil membelai pipinya. "bukan begitu, Sayang?"

Kutinggalkan David yang masih ternganga seperti orang bodoh. Dengan santai aku keluar sambil membanting pintu kamar hotel tersebut. Debumnya seolah meninggalkan gema kepiluan yang memantul-mantul di dinding hatiku yang kini purna retaknya.

***

"Jadi besok acara kita batal?" tanyaku, berlagak merajuk karena kecewa.

David mencolek ujung hidungku dengan jemarinya lantas tertawa. "Jangan begitu, Sayang. Kautahu bukan kalau meeting kali ini benar-benar penting dan tidak bisa ditunda lagi."

"Tapi kau tidak akan macam-macam di Singapura, bukan?" Aku menatap matanya, mencoba mencari setitik kegelisahan di sana.

"Ya, ampun," David menghentikan aktivitasnya lantas memeluk tubuhku dari belakang dengan erat, "kita sudah akan menikah dua bulan lagi, Ra. Tidak masuk akal kalau kau masih meragukan kesetiaanku," bisiknya lembut, lantas menggigit pelan daun telingaku.

Aku hanya bisa diam. Hatiku terasa nyeri mendengar kebohongan-kebohongan yang mengalir lancar dari mulut manisnya.

"Lagipula aku pergi dengan Bowo, sekretarisku. Tenang saja. Tidak ada perempuan lain di hatiku selain kau."

Kali ini dia mengecup bibirku lama. Dalam hati aku menjerit. Bowo? Perempuan? Dasar munafik!

***

"Fullerton? Hmm...sudah dipastikan kamar nomor berapa? Jam berapa mereka check-in?"

Dengan perasaan tegang aku memilin-milin kabel telepon, menunggu suara itu menjawab satu per satu rentetan pertanyaanku.

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now