Seandainya

1K 71 5
                                    

Karin mengaduh ketika sesuatu terasa menendang dari dalam perutnya. Sontak dia mengelus bagian tersebut untuk membuat rasa sakitnya berkurang. Bayi itu, batin Karin.

"Kamu nggak apa-apa, Rin?" Dana menghampirinya dengan perasaan khawatir. Cepat-cepat dia memegang lengan Karin.

"Lepaskan aku," bentak Karin begitu tangan itu menyentuh lengannya, "nggak usah sok baik kamu." Dia menatap dingin laki-laki di hadapannya.

Dana menarik tangannya dengan perasaan bersalah sebelum berkata canggung, "M-Maaf, Rin. Aku ... Aku ...."

***

Sudah sore, tapi rumah mungil mereka masih saja dipenuhi orang-orang yang ingin mengucapkan selamat dan doa. Hari itu Dana dan Karin menyelenggarakan acara Akikah bagi putra pertama mereka yang baru saja lahir. Bagas Airlangga, nama sang jagoan kecil. Karin masih ingat bagaimana Dana bilang dia menginginkan nama itu untuk putranya ketika kehamilannya baru menginjak usia tujuh bulan.

"Menurut kamu, bagusnya kita kasih nama apa, Rin?"

"Hmm..." gumam Karin tak jelas karena sedang asyik membaca majalah.

"Bagaimana dengan Bagas? Bagas Airlangga? Bukankah itu nama yang bagus? Kedengaran gagah sekali." Dana masih saja terus berbicara dengan wajah berseri-seri. Sekarang pandangan matanya kelihatan menerawang.

"Terserah kamu," jawab Karin pendek. Pandangan matanya masih terpancang di barisan huruf yang terdapat dalam majalah yang dipegangnya.

"Atau kamu punya nama lain, Sayang? Ayo kita kumpulkan dulu sebelum nanti kita sama-sama memilihnya," ujar Dana dengan antusias. Kali ini dia duduk di samping Karin agar istrinya itu mau berhenti membaca sebentar.

Tiba-tiba Karin berdiri dan menghempaskan majalah tersebut ke lantai dengan kasar.

"Kenapa sih kamu selalu mengganggu ketenanganku?" teriaknya.

"Bukan begitu, Rin," bantah Dana membela diri, "tapi kita kan sedang ngobrolin soal nama anak."

"Sudah aku bilang. Aku nggak peduli kamu mau kasih dia nama apa. Mau Bagas, mau Bagong, mau Bego!" Karin menatap Dana, berharap bisa meremukkan pria itu hanya dengan memandangnya, "ter-se-rah!" desisnya dramatis.

Lagi-lagi Dana hanya bisa menunduk, tak mampu bicara apa-apa ketika Karin berlalu meninggalkannya sambil berjalan dengan susah payah.

***

Tangisan Bagas semakin kencang. Dana berlari menghampiri boks-nya dan menyadari kalau popok bayinya basah. Dengan canggung dia menggantinya namun setelah itu Bagas tetap saja menangis. Haus, pikir Dana sebelum kemudian menggendong Bagas dan keluar kamar untuk mencari Karin.

"Bagas haus, Rin," ujar Dana pada Karin yang tengah sibuk dengan kopernya.

Karin berbalik sejenak lantas bicara dengan nada tidak peduli, "Bikin susu saja."

Dana menatap bolak-balik antara Karin dan Bagas dalam gendongannya sebelum kemudian bicara lagi. "Kasihan Bagas terus-terusan dikasih susu formula. Lagipula, ASI-mu kan banyak, Rin," dia berhenti sejenak, ragu-ragu sebelum meneruskan kembali, "apa salahnya ...."

"Simpan kata-katamu, Dan!" teriak Karin marah, "dari awal kamu sudah tahu kalau aku nggak bakal menyusui bayi itu. Jadi lupakan saja!"

Tangisan Bagas semakin keras. Perlahan Karin merasakan dadanya terasa mengembang oleh air susu yang sekarang memenuhinya. Bagian depan bajunya kelihatan basah oleh rembesan ASI yang meluber dari dada. Rasanya menyakitkan dan menghentak-hentak. Karin menggigir bibir dengan perasaan pedih. Seharusnya dia memberkan apa yang sudah menjadi hak Bagas, tapi tidak! batinnya berteriak. Ini hanya akan memperdalam kontak batin mereka dan membuatnya semakin sulit meninggalkan bayi itu. Bukankah sekarang saatnya sudah tiba untuk pergi?

***

Akhirnya Bagas terlelap dalam pelukan Dana dengan botol susu kosong yang masih menempel di bibirnya. Dengan perlahan Dana menarik botol tersebut keluar lantas memindahkan Bagas kembali ke dalam boks. Sekarang dia menuju Karin yang sudah selesai memasukkan pakaiannya ke dalam koper.

"Rin, tolong jangan pergi," dia menatap Karin dengan pandangan memohon, "pikirkan Bagas. Apa kamu tidak kasihan?"

Karin mendengus ketika mendengarnya. Kasihan? Bagaimana dengan Dana sendiri? Apa dia pernah memikirkan soal kasihan sebelumnya?

"Aku memang bersalah padamu, Rin. Tapi Bagas ... dia sama sekali nggak salah apa-apa. Dia berhak untuk mendapatkan kasih sayang ibunya."

"Kasih aja ke ibu kamu. Biar dia yang rawat!"

"Rin ...."

Dada Karin terasa sesak sebelum dia kembali bicara, "masih bagus aku mau mengandung dan melahirkannya. Kalau saja ... kalau saja ...." Karin tidak sanggup lagi menyelesaikan kalimatnya. Dia jatuh terduduk di atas ranjang sambil menangis tersedu.

"Harus bagaimana caranya aku memohon ampunan padamu, Rin?" Dana menatapnya dengan perasaan berdosa, "aku rela pergi darimu tapi aku mohon jangan abaikan Bagas," suara Dana kedengaran serak ketika dia menyebut nama itu, "aku rela tidak mendampinginya tumbuh besar asalkan kamu tetap bersamanya."

Kata-kata Dana malah semakin membangkitkan emosi Karin. Karin mendekat maju kemudian melayangkan tamparan keras ke pipi Dana yang mengagetkan pria itu.

"Tampar aku lagi!" ujar Dana dengan suara gemetar sambil menatap Karin, "lakukan apa saja yang kamu mau, bahkan membunuhku!"

Karin menggeleng. "Dibunuh masih terlalu bagus buat kamu," desisnya tajam.

Sekarang tangan Karin sudah menggenggam mantap pegangan kopernya. Dia harus pergi. Sekarang atau tidak sama sekali. Dia tidak akan pernah lagi kembali ke rumah ini. Rumah yang penuh kenangan menyakitkan buat Karin.

Langkahnya terhenti di depan pintu ketika tiba-tiba Dana menariknya dari belakang kemudian merosot ke bawah, bersimpuh di kaki Karin.

"Rin, aku mohon ... jangan pergi, Rin," pria itu terisak, "aku mencintai kamu, Rin. Maafkan aku ... maafkan aku ...."

Dari dalam kembali terdengar suara tangisan. Rupanya Bagas terbangun lagi.

Karin terdiam dengan pandangan nanar. Bukan, teriaknya dalam hati, bukan ini yang dulu selalu diimpikannya tentang pernikahan dan keluarga. Dia selalu ingin menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Tapi sekarang? Bagaimana mungkin dia sanggup melanjutkan hidup bersama Dana dan anaknya? Dulu dia memang sangat mencintai Dana tapi semua berubah karena kesalahan laki-laki itu sendiri.

Seandainya saja dulu Dana tidak memperkosanya. Seandainya saja dulu Karin tidak hamil. Seandainya saja dulu Karin mau menuruti nasihat orangtuanya untuk tidak berpacaran dengan Dana ... Seandainya, oh seandainya ....

Air mata Karin mengalir turun seiring rintik hujan yang membasahi langit malam itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 02, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now