27. Layaknya harapan

266 65 66
                                    

"Jika memulai tahap mencintai itu sulit, apa mundur jalan terbaik?"



Sedari tadi, mungkin sudah menghabiskan tiga puluh menit lebih untuk Zinara duduk lalu berdiri terus menerus seperti orang kurang kerjaan di sofa ruang keluarga lantai dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedari tadi, mungkin sudah menghabiskan tiga puluh menit lebih untuk Zinara duduk lalu berdiri terus menerus seperti orang kurang kerjaan di sofa ruang keluarga lantai dua. Sesekali gadis yang mencepol rambut panjangnya itu menyibak gordeng, memastikan apakah Genta sudah pulang atau belum.

"Gila, gue udah kayak bini nunggu lakinya pulang kerja aja," monolog gadis itu terkekeh sendiri.

Zinara merunduk, mengecek layar ponsel yang menunjukkan waktu 19:45, ia menghela nafas panjang. Tak lama benda pipih di genggaman tangan itu bergetar, hingga nama Abi muncul di sana.

"Hmm ... apa?" sapa Zinara tak ada manis-manisnya.

Suara decihan terdengar, Abi pasti tahu penyebab Zinara jadi ketus. "Belum pulang emang anaknya?"

"Belum," jawabnya lirih.

"Main paling sama Gibran."

"Mana ada sama Gibran, orang tuh anak lagi ngemall sama Anna." Zinara bangkit lagi, menyibak gordeng kembali dan lagi-lagi menghela nafas kecewa. "Gue kok jadi khawatir, ya. Hati gue nggak tenang," lanjutnya menyetuh bagian dada lantas merosot duduk.

"Najong lo," seloroh Abi. "Genta tuh cowok, Nar. Dia juga butuh kali main sama temen-temennya, kan temennya bukan Gibran doang. Anaknya juga udah gede ini pasti bisa jaga dirilah," jelasnya.

Garis wajah Zinara semakin meluruh, sesekali mengangguk untuk menyetujui apa yang Abi katakan.

"Tapi Genta tuh nggak pernah loh gini. Dia kalo ada apa-apa atau mau kemana pasti bilangnya ke gue, tapi sekarang telfon gue aja nggak diangkat, chat mah boro-boro dibales, diliat aja nggak. Ya wajar dong kalo gue cemas," jelas gadis itu.

Abi jadi menghela nafas. "Apa perlu Agnes ngomong dulu biar lo sadar?"

Zinara memalingkan wajahnya sekejap seraya berdecak. Teman-temannya memang selalu mendukung apapun yang Zinara lakukan, tali mereka juga ahli dalam mematahkan semangat.

Hingga tak lama kemudian deru motor yang sangat familiar di indera pendengaran Zinara sontak membuat tubuh itu terlonjak untuk bangkit. Senyum di bibirnya terbit, dengan bertetanggaan dengan Genta tentu saja ia hafal suara motor pemuda itu.

"Bi, udah ya ceramahnya, laki gue udah pulang," katanya segera mematikan sambungan telepon.

Gadis itu mengayunkan langkahnya, membuka pintu putih itu dengan semangat 45, satu-satu menuruni anak tangga dengan setengah lari hingga akhirnya tubuh tegap Genta berhasil ia temukan dari dekat.

Cuma Teman [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang