Perlahan sebuah tangan melingkar di pinggang Zalva yang masih tertutupi selimut. Tak lama mengerat menjadi sebuah pelukan. Zalva terjingkat kaget, ia membelakkan matanya. Netranya mencari siapa pelaku perbuatan keji tersebut.
"Sialan punya abang nggak tau adab!" teriak Zalva membentak Alfa yang memasang wajah kaget.
"Astagfirullah mulut adek gue harus di mandi kembang!" bentak Alfa tak kalah keras.
"Lo apaan, deh!"
"Gue teriakin udah keburu kebal juga kuping lo, hari ini gue bangunin pake cara baru temuan gue."
"Kaget gue, anjir! Dikira gue diculik sugar daddy," jawab Zalva diiringi cekikikan kecil.
"Inalillahi, selera lo sekarang om-om, Zal?" sudah bisa diduga bantal mendarat rapi di wajah Alfa.
"Kalo ngomong pake filter!"
"Bodo deh! Bangun lo! Udah siang!"
"Iya iyaaaaa!" tak lupa lemparan bantal dengan tujuan mengusir dari Zalva.
***
"Apapun peran yang kalian dapatkan hari ini, itu adalah amanah yang harus kalian jalankan. Jadi, jangan ada yang males-malesan latihan karena peran yang kalian dapatin bukan peran yang kalian mau. Paham semua?" semua orang di auditorium sekolah mengangguk paham.
Suasana auditorium sedikit tidak jelas. Terasa cerah, namun terkesan suram. Beberapa berbicara dengan senyum yang hampir menyentuh telinga, banyak lainnya yang berbisik kecil sambil tersenyum sumbang. Begitulah akhir setiap seleksi, ada yang bahagia ada yang kecewa. Peran Katulistiwa, pemeran utama, tak lain tak bukan jatuh ke tangan pemeran pentas teater terdahulunya. Kebanyakan sudah mengerti berakhir seperti ini, jadi mempersiapkan diri untuk tidak kecewa.
Zalva sendiri tak sedikitpun kecewa, karena memang tak terlalu berharap. Memerankan Pinus, yang menjadi sahabat sekaligus penasihat Katulistiwa sudah cukup baginya. Ia juga merasa cocok memerankan Pinus yang anggun dan ramah, ehm-
"Langsung pulang, Zal?" bisik Riza, teman satu eskulnya. Di depan, Jeff masih sibuk mengoceh tidak penting walau sudah tau tidak akan dihiraukan.
"Iya, kenapa?" Riza menggeleng tanda pertanyaannya hanya bermaksud bertanya saja.
Setelah Jeff mengakhiri pidato panjangnya dengan doa, Zalva mulai bergerak menuju loker di luar auditorium. Barang bawaan Zalva cukup banyak hari ini dengan beberapa buku paket yang masing masing terdiri lebih dari 500 halaman, buku tulis dan buku pendamping, binder, tak lupa seragam yang tadi bertukar tempat dengan kaos oblong dan training polos. Saat akan memasukkan naskah tebal ke dalam tasnya, Zalva merenung kembali lalu memandangi naskah itu sebentar.
"Lo nggak lagi kecewa sama peran lo, kan?" Zalva melonjak kaget, lalu mengepalkan tangannya kesal.
"Bisa nggak, sekali aja, sekali aja deh, jangan bikin kaget!" kata Zalva geram pada Jeff.
"Oke, gue usahain," Zalva menghela nafas, lalu kembali fokus menutup tasnya tanpa memasukkan naskah ke dalam tas.
"Ehm, Zal, lo nggak kecewa sama peran lo?" Tanya Jeff serius.
"Nggak, kenapa harus kecewa?"
"Ya, kan. semua pasti berharap jadi tokoh utama."
"Gue enggak."
"Gue juga enggak," Riza tiba-tiba muncul di samping Zalva.
"Kenapa enggak?"
"Buat gue, jadi Pinus udah jadi pencapaian yang bagus buat gue," jawab Zalva seiiring tangannya menutup pintu loker.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZHALAVA
Teen FictionZalva benci diikuti seperti ini. Namun Alfa, kakaknya, sangat ingin menjaga Zalva selama di SMA. Sayangnya Alfa baru saja lulus saat Zalva masuk SMA. Akhirnya Alfa memberikan perintah kepada adik kelasnya, Ditto, untuk menjaga Zalva selama di sekola...