#10

16 5 2
                                    

Ditto baru saja meletakkan kepalanya diatas tangannya yang bersedekap diatas meja ketika suara cempreng Ridho memekak memanggil namanya. Beberapa menit lalu Bu Ririn, guru Biologi, baru saja keluar kelas setelah mengisi jam pelajaran ke 7 sampai 9 alias lebih dari 2 jam. Ditto hampir saja tertidur kalau saja ia tidak ingat bahwa namanya bisa disebut kapan saja untuk ditanyai ulang materi yang baru saja disampikan.

"Boss que, skip TIK yuk!" ajaknya tepat setelah Ditto menoleh padanya.

"Skip mulu lo! Nilai kosong mampus!" jawab Ian mendapati wajah Ridho yang penuh harap.

"Jangan sekarang lah, gue mau manfaatin waktu TIK buat tidur," Ditto meminta Raka, yang duduk di samping Ridho untuk bertukar duduk dengannya. Tempat duduk Ridho tepat dibelakang Ian, dan Raka dibelakang Ditto. Lebih rincinya, di pojok kiri belakang kelas, sebaris dengan pintu.

Pulang sekolah nanti, Ditto harus latihan basket lebih keras. Hal itu membayar ketidak hadirannya hampir tiga kali pertemuan karena harus mengantar Zalva pulang. Kalau sudah terlanjur mengantar Zalva, Ditto enggan harus kembali kesekolah. Terlalu jauh katanya. Sedangkan hari ini Zalva ada latihan rutin Teater, jadi pulangnya barengan dengan Ditto.

"Lo duduk sama gue kalo mau tidur doang, Dit. Gue jam krisis gini juga butuh temen ngobrol!" keluh Ridho yang langsung membuat Ditto berdiri dari duduknya, ia mengambil botol minum Sasa yang cukup menampung air minum 1 liter itu lalu meletakkannya dihadapan Ridho.

"Ngobrol noh sama air!"

Ian terbahak melihat Ridho yang selalu dinistakan oleh Ditto. Ridho sendiri memberikan gerakan seakan mau mencekik leher Ditto sambil menahan kesal. Sayangnya Ditto tidak peduli dan memilih menelungkupkan kepalanya, berusaha tertidur.

***

Ditto terbangun ketika seseorang mengguncang bahunya. Sejenak ia melihat sekeliling sambil mengumpulkan kembali nyawanya. Sebagian besar kelas sudah kosong, menandakan jam pelajaran sudah berakhir lama.

"Bangun, cuk! Mau tidur sampe kapan?" tanya Ian yang siap dengan jersey basket sekolah. Ditto menggaruk kepalanya pelan, lalu bergerak mengambil kaos hitam kebesaran dan celana basket yang sama dengan yang digunakan Ian dari dalam tasnya.

"Tungguin gue bentar, gue ganti dulu."

"Ditto!" Ditto berbalik ketika terdengar suara perempuan memanggil namanya.

"Kenapa?"

"Lo ditawarin ikut olimpiade Biologi, mau nggak?" tanya Velia, cewek yang memanggilnya tadi.

"Males gue, yang lain aja deh," jawabnya setelah berpikir sejenak.

"Tapi yang diminta anak kelas A-1, Dit," bujuk Velia lagi, harusnya ini berhasil karena Ditto paling tidak suka ada orang yang meminta lebih dari satu kali.

"Enggak, Vel. Gue nggak mau. Bentar lagi ada turnamen," Ditto melirik Ian yang menatapnya tajam. Lalu memutar tubuh hendak melanjutkan langkah keluar kelas.

Baru Ditto mau melangkah, tangannya ditahan seseorang dari belakang. "Kalo lo nggak mau ikut, lo harus mau jadi mentor."

Ditto menghela nafas panjang. "Nggak bisa, Vel. Nggak. Bisa."

"Harus bisa, Dit! Mau, ya! Gue minta tolong!" Velia memohon dengan suara dikecilkan, berharap Ditto berbaik hati.

"Oke, oke! Tapi gue nggak mau kalo pulang sekolah, gue sibuk," Velia menatap Ditto senang lalu mengangguk menyetujui syarat Ditto.

"Iya, iya! Makasih, Dit!" Velia memeluk lengan Ditto senang. Ditto juga tersenyum melihat tingkah kekanakan Velia hingga terdengar dehaman Ian.

"Nggak ngerasa lagi ditungguin kapten basket, ya?"

ZHALAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang