Empat: Reunion

1.7K 220 27
                                    

Levi POV

Aku sudah sering menyelamatkan Eren, lagi dan lagi. Dan tiap kali itu terjadi, banyak rekanku yang tewas. Aku melakukannya karena aku percaya kalau dia adalah harapan Umat Manusia agar bisa bertahan hidup. Ini hampir seperti lelucon yang besar dan jelek. Benar. Ini akibat kepercayaanku yang bodoh itu. Jadi, harapan yang selama ini kami pandang.. Sebenarnya apa?

(Y/N). Zackly. Seluruh perjuangan mati-matian itu.. Telah membawa kami pada lelucon seperti ini. Yang benar saja?

"Dor." Sahut (Y/N) yang baru saja tiba, napasnya tersengal.

Kembali terulang— Wanita itu. Lagi-lagi dia mempertaruhkan nyawanya untuk hal yang sama. Eren. Semua kekacauan ini selalu terpulang pada bocah itu. Sial. Sialan. Jangan lagi.

"Oi Cebol, apa yang kau lakukan disini?" Kataku, menggertaknya. "Kenapa kau—"

"Militer Pusat membutuhkan bantuanku." Dia memotong perkataanku, dan aku bisa dengar nadanya yang terluka saat bicara.

"Tunggu— Apa?" Tanpa sadar, aku meninggikan suaraku. "Bagaimana dengan Erwin? Dia tidak melarangmu?"

"Dia melarangku."

(Y/N) kemudian diam, mungkin berharap aku menanyakan maksudnya— Kenapa Erwin tak mencegahnya lebih keras. Namun, aku sudah paham. Sikap keras kepala itu, aku memahaminya lebih baik dibanding siapa pun.

"Dasar aneh." Kataku, tersenyum kecil. "Kau masih saja terobsesi dengan kematian."

(Y/N) melempar pandangannya sesaat, kemudian kembali lagi. "Mungkin mereka akan kemari, ke tempat Zeke."

"Siapa?"

"Fraksi Yeager." Ujarnya sambil mengangkat bahu. "Eren melarikan diri."

"Lalu, apa yang dilakukan Pyxis? Apa dia hanya bakal berguling?"

"Dia sedang menyusun rencana bersama Erwin dan Nile di Kantor Pusat." Dia membaca kekhawatiranku.

"Jangan bercanda." Hanya kata-kata itu yang bisa kumuntahkan.

"Makanya aku kemari, Boncel." Aku menatapnya, bingung. Dia bergerak mendekat, matanya liar dan menakutkan. "Aku ingin membuang sampah itu ke mulut Titan."

"Huh?"

Dia hanya melambaikan tangannya, menepis pertanyaanku. "Zeke."

"Kenapa dengan si Janggut jelek itu?"

"Kita akan memindahkan Beast Titan milik pria itu." Desisnya, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Entah— Jantungku masih berdebar meski keadaannya sudah seperti ini.

"Apa rencanamu kali ini, gila?"

"Ambil salah satu Prajurit Fraksi Yeager, ubah dia menjadi Titan dan buat dia memakan Zeke." Kata-kata tak masuk akal itu keluar seperti sebuah lelucon, tapi dia serius. "Lalu jika Historia sudah siap seperti yang dikatakannya, selanjutnya kita akan membuat dia memakan Titan itu."

"Historia sedang mengandung."

"Setelah melahirkan dalam beberapa bulan, tentu saja."

"Tapi Eldia akan tamat jika sampai ada serangan besar-besaran selama beberapa bulan itu." Gertakku, frustasi dengan omong kosongnya.

"Kita bisa menyerang Marley lagi dan menghambat serangan mereka!" Geramnya.

(Y/N) menghentikan dirinya, memejamkan mata rapat-rapat sejenak. Setelah berhasil menenangkan diri, ia mengangkat tangan ke wajahku, menyusuri pipiku dengan jemari yang gemetar.

"Kau mungkin tak bisa melihat ke mana ini mengarah, tapi aku bisa. Dan aku tahu itu akan mengubah banyak hal." Suaranya goyah.

"Oi—"

"Aku tidak tahu Eren betul-betul berada di bawah kendali Zeke atau tidak. Kita cukup membunuh Monyet Keparat itu, dan semuanya pun selesai."

"(Y/N)." Bisikku, meraih tangannya. "Aku percaya kepadamu."

Kemudian tangannya berubah sedingin tanganku. "Kau harus percaya padaku."

"Iya."

"Levi, terima kasih."

"Tak masalah, Babi." Aku tak kuasa menahan senyum saat melihat kerutan di keningnya mengendor.

"Aku tak peduli dengan jawaban Erwin maupun Pyxis tentang ini. Zeke tetap harus mati." Suaranya menjadi geraman, wajahnya menjadi bayangan makhluk buas. "Tiga puluh Prajurit bersenjata ada di atas pohon. Meskipun dia berubah, mustahil dia bisa kabur."

"Aku akan membunuhnya untukmu, Boncel." Cengkeraman tanganku mengencang pada tangan perempuan itu, merasakan ototnya menegang di baliknya. "Aku bersumpah."

Dia tak menjawab. Matanya berpaling pada Zeke, sosok yang hampir membunuhnya delapan tahun lalu. Matanya berkilat dari balik bayang-bayang jubahnya— Dan siapa pun tahu tatapan apa itu.

(Y/N) melompat ke tanah, pijakannya sedikit goyah, namun ia berhasil menyeimbangkan kedua kakinya. Matanya terkunci pada Zeke yang sedang sibuk dengan buku bacaannya.

"Apa itu seru?" (Y/N) melemparkan bokongnya ke sisi pria itu, merangkulnya seakan-akan sudah lama akrab.

"Yah," Balas si Janggut, tertawa datar. "Aku sudah membacanya tujuh kali."

"Pasti sulit berkonsentrasi, ya?" (Y/N) menyeringai.

"Konsentrasi pada buku yang sudah kubaca sebanyak tujuh kali?" Pria itu mengerucutkan bibirnya, memuakkan. "Daripada itu, apakah kalian masih punya Anggur?"

"Setetes pun sudah tidak ada." Ucapku, tapi pria itu tersenyum.

"Omong-omong, kau cantik juga kalau dilihat dari dekat."

"Memang." Jawaban singkat itu membuat Zeke tersedak.

"Hmm," Gumam Zeke. Dia tertawa. Dan— Si brengsek itu tiba-tiba saja meraung. Sebuah cahaya mengoyak tubuhnya, membutakan kami.

"(Y/N)! Awas!"

***

"Para bawahanmu tidak bersalah," Suara Zeke menusuk telinga kami. "Kau tidak ingin membunuh mereka, kan?"

"Apa itu karena Anggurnya?" Bisik (Y/N), terbelalak selagi kami menghindari para rekan kami yang telah berubah menjadi.. Titan.

"Cairan tulang belakang Zeke ada di Anggurnya," Lirihku, meski tak yakin dengan asumsi itu.

"Hee~" Suaranya suram. Meski dia biasanya memiliki gagasan cerdas dan absurd, (Y/N) kehabisan kata untuk masalah ini. Dia hanya menerawang, napasnya pendek-pendek dan penuh ketakutan.

"Kau takut?"

"Aku lebih takut membiarkan kesempatan ini melewati kita begitu saja. Dan aku takut pada apa yang akan terjadi jika tidak ada perubahan. Hal itu lebih menakutkanku saat ini dibandingkan—" (Y/N) memenggal salah satu Titan liar yang dulunya adalah bawahanku, Barris. "Membunuh rekan sendiri."

Aku merasakan pupil mataku bergetar saat darah merah yang kental dan panas menciprati wajah kami. Darah rekanku sendiri. Sial.

"Makanya, Levi." Suara (Y/N) terdengar sekasar batu, terdengar seperti amukan, tapi mata hijaunya tampak sedih, bahkan terkalahkan. "Jangan sia-siakan kesempatan ini."

Kata-kata itu seperti cambuk untukku. "Aku akan membunuh Zeke."

"Lakukanlah. Serahkan saja yang sisanya padaku."

"Hati-hati dengan Rekanku, meski sudah menjadi Titan, mereka masih pandai."

"Aku tahu, aku tahu."

"Jaga dirimu."

"Kau juga."

"Baiklah."

"Sampai jumpa, Cebol."

"Ya."

I'll Remember You: Beginning of the EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang