.12

76 42 12
                                    

Sebuah piring disodorkan. Bu Gea menatap Elo tajam, dari seberang sisi meja.

Elo dan Bu Gea duduk sendiri, disekeliling murid-murid yang ramai mondar-mandir. Di dalam ruang makan luas beratap kayu itu.

Elo mengernyit. Bu Gea memberikan piring berisi makanan sisa tadi pagi yang ia tinggalkan. "Ini..."

"Saya sudah bilang berkali-kali di sesi pertama waktu pembacaan peraturan, bersihkan makanan yang kalian ambil sendiri. Kalau tidak nanti..." Bu Gea menantikan balasan.

Elo menatap bingung. Ia saja tidak memperhatikan ceramah sesi pertama, apalagi sewaktu pembacaan peraturan.

"Kalau tidak nanti kamu makan makanan yang kamu makan sendiri. Ya." Bu Gea membalas sendiri, "Guru-guru juga tadi sudah lama sekali mencari-cari kamu, tapi kamu malah kabur ke taman sendiri."

Elo hanya menunduk. Tak ada yang bisa ia bantah.

"Habiskan makananmu ini ya nak. Jangan kabur lagi, guru-guru pasti akan melihat." ujar Bu Gea tenang, ia beranjak pergi.

Elo menatap piring itu. Makanan sisa tadi pagi.

Eh tunggu. Apa guru-guru sadar Steven menghilang? "Eh Bu Gea! Ibu liat Steven tidak?"

"Kenapa nak? Oh. Kita juga lagi masih mencari tapi ia juga tak ada dimana-mana. Nanti saya kasitau kalau ia balik ya." balas Bu Gea menoleh.

Elo menunduk kembali. Benar-benar aneh.

Ia menatap sekitar. Beberapa guru benar mengawasinya dari pojok ruangan. Bahkan pria garang yang ia lihat tadi bersama Reven juga mengawasinya.

Pria itu anak buah Einer. Tidak salah lagi.

Sial. Waktu memutuskan sudah habis. Apa ia benar harus pergi menghadap Einer?

Atau tidak. Tidak perlu. Menelepon Bugjang masih menjadi pilihan.

Ah, tidak. Elo masih ambigu terhadap apa yang akan dilakukan Bugjang akan dirinya nanti.

Dan bagus. Keadaan genting, ia lapar, dan yang ia dapat makanan sisa? Ayolah.

Ia tidak bisa duduk diam tenang. Elo gelisah.

Ia dengan cepat mengambil handphone dari sakunya, kembali menelepon Steven. Handphone berdering, tetapi tiada yang mengangkat.

"Eh Elo..."

Elo menoleh. Nil. Ia menyesal. Tetapi apa yang ia sesalkan?

"Lu ada dendam sama gw? Atau kenapa?"

"Nggak nggak." Elo membuang muka, menatap handphonenya lagi. Tetap tiada yang menjawab.

"Kalo misalnya lu kesel karena kita ga ngajak lu sepedaan, si Justin gepapa nih dia ga jadi ikut. Dia juga katanya lagi ga enak badan. Yang lain juga mulai ga enak badan juga sih, tapi kalo lu bisa ikut sepedaan-"

"Nggak nggak. Bukan karena itu."

"Terus... apa dong?"

"Lu liat Steven dimana gak?"

"Nggak."

Tiba-tiba handphone Elo malah ditelepon oleh nomor tak dikenal. Elo mengernyit, mengangkat telepon.

"Ada apa sih sama lu? Ngomong lah." lanjut Nil bingung.

"Iya ntar ntar."

Nil menggigit bibir. Ia menatap meja seberang, Justin, Jon, Mandan, Reven, Regina dan Deedee sedang berbincang-bincang hangat. Ia tak ingin meninggalkan Elo seorang diri, tapi sepertinya Elo sudah meninggalkan mereka sendiri.

Butterfly KnifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang