.17

62 37 44
                                    

Maksi terus berjalan di tengah lorong dengan gelisah, memandang sekitar di setiap langkah yang ia ambil, setelah keluar dari kamar Einer. Bahkan sekali seorang murid tak sengaja menyenggolnya, ia terkejut setengah mati, berjalan lebih cepat lagi.

Ia tidak suka ini. Ia tidak suka terlibat dalam hal ini.

Handphone dalam kantong bajunya berdering. Maksi mengambil handphonenya, melihat nomor tak dikenal meneleponnya.

Ia mengangkatnya, "Halo?"

"Kerja bagus, Maksi. Kita sudah dapat gambarnya." balas suara wanita, tegas dan berwibawa.

"Sama-sama? Sepertinya Bu Noa." balas Maksi gugup. Ia menoleh-noleh kanan kirinya lagi.

"Semoga aja kali ini dia gatau kameranya, kayak kemaren dia ancurin kamera CCTV di kamarnya."

"Apa ini tugas saya yang terakhir? Saya udah ingin keluar dari ini semua. Tolong bu. Jangan bawa bencana ini ke villa saya."

"Jangan takut, Maksi. Kita bakal urusin itu semua. Kalian bakal aman."

"Aman? Rumor-rumor itu semua benar kan bu? Eksperimentasi ilegal mereka... obat-obat serum ilegal mereka... ya kan?"

"Lakukan saja apa yang kita perintahkan. Kalau kamu melakukan itu, kamu akan aman."

"Huh- saya ragu. Saya hanya pembisnis villa dan kopi... kan?"

"Sama-sama, Maksi. Dan ehh... kita mendeteksi kayaknya ada ancaman yang mendatang dekat terhadapmu."

"Eh- apa?!"

"Tenang, tenang. Masih calon ancaman, dan bukan Einer. Tapi hanya untuk berjaga-jaga, sebaiknya kamu pergi dari villa kamu untuk sementara sore ini. Kalo sampe jam enam memang gaada ancaman apa-apa, kamu boleh balik ke villa kamu."

"Bukan Einer? Siapa-" Maksi mendadak berhenti berbicara. Ia tahu siapa. Mereka masih memiliki dendam dalam terhadapnya. "Ok- mungkin saya bakal ke toko kafe favorit saya, atau entah."

"Bagus, jangan beritahukan siapa-siapa. Pergilah sendiri. Hati-hati, Maksi."

Saluran suara ditutup.

Maksi menatap handphonenya, menoleh-noleh sekitarnya dengan gelisah. Tidak ada yang memperhatikan. Hanya murid-murid berlari berlalu-lalang.


Kantor Bugjang masih sibuk seperti biasanya. Karyawan-karyawan berlalu-lalang bertukar informasi yang mereka dapatkan. Satu layar besar di depan ruangan menampilkan rekaman kamera langsung di dalam kamar Einer.

Noa menatap layar itu dengan sabar. Ia yakin pasti dari percakapan-percakapan dan kelakuan Einer di dalam kamar, mereka akan menemukan petunjuk tentang rencana mereka.

Prawo berjalan mendekat, dengan segelas kopi hangat di tangannya. Ia pun ikut menatap layar besar itu, "Apa Maksi emang aman?"

"Kadang... bohong sekali-sekali ga dosa lah." ujar Noa yakin.

"Hmph."

Dua kamera, dengan dua sisi perspektif yang berbeda. Satu dari kamera bawah lembar surat yang tadi diberikan Maksi, satu dari kamera atas lembar atas. Tertampilkan di layar lebar.


"What?? Elo, what??" tanya Steven bingung, Elo memotong kalimatnya sendiri lalu terdiam termenung begitu saja.

"Sht. Gw inget Einer bilang cara make obatnya cuma perlu disentuh aja. Kalo lu sentuh cairannya, lu dah bisa dapet kekuatan supernaturalnya."

"Wait, what??"

Butterfly KnifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang