1 (Prolog)

829 248 125
                                    

Sibuk.

Ruangan penuh orang ganas mengetik-ketik dan menatapi layar komputer-komputer yang berbaris rapi. Mereka bekerja dengan panik, menggali-gali informasi secepat yang mereka bisa. Mereka dalam situasi genting.

Seorang wanita paruh baya berdiri gelisah, menatap layar lebar di tembok hadapannya, menekan sebuah earphone di telinga kanannya. Ia cemas menunggu seseorang di balik saluran suara untuk berbicara, menunggu satu kabar baik saja. Satu saja.

"Prawo, mereka dimana?" tanya wanita paruh baya itu, Noa, tak sabar.

"Uhmm... mereka dah ga ada disini." balas seorang dari earphone itu, "Kita juga ga ketemu obat-obatnya. Mereka dah ambil."

Noa menarik napas panjang, kesal.

"Kali ini kita bener-bener ga tau mereka dimana."

Noa termenung sebentar berpikir, "Tapi- tapi kita tau tujuan mereka. Mereka masih nyari sukarelawan yang aman untuk obat-obat itu lagi."

"Hmmm."

"Einer itu goblok. Dia masih percayain perusahaan itu di tangan anaknya. Anaknya selalu ngacau. Mereka pasti ninggalin jejak."

"Nggak kali ini. Kita gaada petunjuk sama sekali disini."

Perbincangan terjeda. Noa diam merenung.

"Kasitau info terbaru kalau kalian dah nemuin sesuatu disana."

"Siap." jawab seorang dibalik earphone Noa, Prawo, di sisi kota yang berbeda. Prawo melepas perhatiannya pada Noa, memandang sekitar. 

Gelapnya malam hanya membayangkan pohon-pohon lebat di tengah taman, dengan titik-titik cahaya di kejauhan dari senapan anak-anak buahnya yang lain, tersebar mencari-cari jejak yang IndoProtect yang mungkin tertinggal.

Tangan Prawo dan anak-anak buahnya membawa sebuah senapan berat nan tak biasa. Garis-garis biru vertikal membelangi senapan laser itu, bercahaya terang.

Sebuah mobil van putih dengan lampu putih menyala terang, mencolok di tengah gelapnya taman luas itu. Prawo menoleh, menatap sebuah mayat berbaring di mulut pintu van, berkacamata dan memakai baju lab putih. 

Dokter yang membantu pembuatan obat-obat itu, anggapannya. Einer, pemimpin IndoProtect, pasti yang membunuhnya selagi ia sendirian di dalam mobil van itu, dan selagi mereka bertengkar atau apalah itu, dokter itu dibunuh. Itu yang Prawo dapat terka.

Prawo menoleh, menangkap suara yang mengejutkannya. 

Bunyi sirene polisi menggema dari kejauhan. 


Noa mendobrak pintu kaca, masuk ke dalam ruang kantornya. Sudah gelisah, sekarang semakin gelisah. Kepalan tangannya semakin gemetar merapat.

Mendadak ia menyerak barang-barang diatas mejanya yang tersusun rapi, semua terjatuh ke lantai. Ia mengerang marah.

Lenggang. Kedap.

Tangannya menggenggam belakang kepalanya, bergumam kesal. Ia tidak bisa membiarkan seorang lain lagi menggunakan obat dari IndoProtect. Tetapi tidak ada pilihan. IndoProtect sudah pergi.

Dengkinya terhadap IndoProtect dan orang-orang yang setuju memakai obat eksperimen IndoProtect itu tak terbayangkan. Siapapun yang telah memakai obat itu, sudah menjadi monster...

***

Makasih banget buat yang mau tertarik baca cerita ini. Yahaha kalo kalian suka gw seneng sih, kalau ada yang masih kurang bisa kalian tinggal komen aja kok :) Kritik bener bener bantu beresin cerita ini yang masih acak acakan hehe

Beberapa karakter di cerita ini memang didasarkan dari beberapa karakter di dunia nyata, tetapi semua alur plot dalam cerita ini hanyalah karangan semata. Cerita ini tidak bermaksud untuk menyindir atau menyinggung pihak siapapun dalam bentuk apapun. Semua hanya untuk hiburan semata.

**Peringatan atas kata-kata kasar sering muncul dalam dialog hehe**

Dan jangan lupa tekan bintangnya ya gais, bakal ngebantu aku banget ituu :)

Butterfly KnifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang