Twenty Fourth Shoot

1.8K 198 17
                                    


Azhake Village

Keduanya berdiri diam di lereng bukit beberapa meter dari batas taman yang mengitari penginapan. Di bawah sinar bulan yang pucat, Wu Xie memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam di tengah udara malam yang dingin dan lembut.

Suasana sunyi sehingga telinganya cukup peka untuk menangkap bunyi-bunyian dari balik rumpun-rumpun bambu. Ayam hutan yang terkesiap, pekik gagak di kejauhan, dan alunan musik tradisional dari lobi penginapan yang didominasi bunyi seruling.

“Dingin ya,” desis Wu Xie, ketika didengarnya langkah seseorang menghampiri kemudian berhenti di sampingnya. Dia merapatkan mantel panjang selutut berwarna coklat tua dan membosankan, yang sering dikenakannya saat udara dingin.

“Cukup dingin,” sahut Zhang Qiling.

Pemuda tampan ini selalu nampak keren dengan jaket hoodie biru tuanya. Melipat tangan di depan dada mengusir hawa dingin, mata gelapnya berkilau menatap satu titik di kejauhan.

Wu Xie melirik pemuda di sampingnya dan mendesah putus asa. Kekasihnya itu memiliki wibawa dan daya tarik yang kuat, seperti magis baginya. Senyumannya bahkan, menurut Wu Xie, mampu mencuri mempelai wanita dari sisi pasangannya.

Wu Xie tersenyum sendiri. Terkadang ada perasaan tidak aman dalam hatinya. Meski dia tahu Zhang Qiling hanya mencintainya.
Dia mengeluarkan sebungkus rokok dan menawari Zhang Qiling tanpa merasa bersalah. Lantas meringis ketika pemuda itu melemparkan lirikan galak.

Penolakan yang sangat jelas.

Wu Xie mengambil rokok sebatang, menyalakannya dengan pemantik berwarna silver. Zhang Qiling mengamati gerakan jari-jari lentik Wu Xie ketika menjentikkan pemantik, melindungi api dan menyulut rokoknya, lalu menggoyangkan pemantik untuk memadamkannya.

Tak pernah ia melihat seseorang menyalakan rokok dengan cara yang begitu indah dan artistik.
Dengan rokok terselip di sudut bibirnya, Wu Xie merasa malam ini dia sangat dewasa. tapi berkali-kali ia harus berpaling untuk mencuri pandang wajah kekasihnya yang sedikit kaku dan merengut.

Zhang Qiling tidak suka melihatnya merokok, dia tahu itu. Tapi Wu Xie pura-pura tidak tahu, setidaknya untuk malam ini.

“Apa yang akan kita lakukan besok?’ usik Wu Xie mengatasi keheningan.

“Menurutmu?” dia menelengkan wajah, dan matanya berkilau terkena sinar bulan. 

Wu Xie tersenyum sekilas, “Berburu lagi?”

“Tidak buruk.”

Wu Xie mendongak dan menghembuskan asap, di sampingnya Zhang Qiling menggerakkan tangan mengusir asap rokok.

Wu Xie menyeringai, tapi tidak berniat memadamkan rokoknya. Karena malam itu bulan hampir purnama, mereka bisa melihat ke bawah, ke hamparan ladang dan terasering, rumpun-rumpun bambu dan lahan kosong yang keabuan.

“Pang Zhi menaruh senapan Enfield di bagasi,” ujar Wu Xie, terkekeh ringan.

“Mmmnn…” gumam Zhang Qiling.

“Paman kedua pasti kesal jika mengetahuinya.”

Kekehan lagi, penuh kepuasan. Zhang Qiling hanya tersenyum samar seperti biasanya.

“Kau akan berburu apa?” dia bertanya.
Wu Xie menuntaskan satu hisapan sebelum menjawab,
“Apa yang menantang? Babi hutan, singa, srigala?’

Zhang Qiling menggeleng.
“tak satu pun.”

“Oke!” Wu Xie berdehem.
“Jadi bagaimana kalau berburu gadis desa?” dia menggoda.

𝐑𝐨𝐦𝐚𝐧𝐭𝐢𝐜 𝐇𝐮𝐧𝐭𝐞𝐫 (𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang