1. Ayla Azzura Nursyifa

160 8 3
                                    

"AYLA!" teriak seorang cewek dengan mempercepat larinya sambil terus berteriak. Cewek yang diteriaki tetap berlari semakin kencang. Cewek yang mengejar pun melempar apa pun di dekatnya, namun Ayla mengelak dan semakin senang mempermainkan amarah si cewek.

"Berhenti lo!" teriak cewek itu lagi sambil berhenti dan mengatur napasnya. Ia terlanjur kewalahan, sedangkan Ayla sudah melesat jauh dari pandangannya.

Cewek itu adalah Rani, teman sekaligus musuh Ayla. Mereka menjalin pertemanan di tengah dendam. Aneh, tapi unik. Di saat tertentu, mereka akan tampak akur dan bersahabat. Namun, ada kalanya mereka seperti musuh yang siap menerkam satu sama lain.

Rani berjalan ke pinggir. Ada bangku kecil untuk orang tua menunggu anak yang masih bersekolah di kelas. Cocok untuk orang tua yang kelelahan dan mencari jaringan untuk menunggu waktu luang menjemput anak SD.

"Dasar bad girl, sukanya buat onar," keluh Rani sambil mengatur napas dan perasaannya. "Ke mana lagi sepatu gue dibuang Ayla?"

Ya, Rani mengejar Ayla karena tepergok mencuri sepatu olahraganya dan membuang sembarangan. Ia begitu kesal mengingat sepatu itu begitu berharga baginya. Bukan karena harganya, tetapi kenangannya. Sepatu itu dari Kakaknya yang dihadiahkan satu tahun lalu untuknya, tepat saat detik-detik maut menjemput sang Kakak. Ia dan Kakaknya hidup berdua di rumah sederhana. Mereka mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan menunggu kiriman uang dari sang Ayah yang bekerja di luar negeri. Sampai Kakaknya meninggal, barulah sang Ayah pulang dan tidak bekerja di luar negeri lagi. Mereka pun menjual makanan siap saji di depan rumah. Hasilnya lumayan, bisa untuk hidup sampai detik ini.

Perlahan air mata yang selalu ia bendung menetes. Buliran itu datang seiring rasa sesak memenuhi hati. Seluruh organ dalamnya-jantung, hati, patu-paru, ginjal, dan sebagainya-seperti membesar. Jantung semakin keras memompa darah. Matanya memerah, tubuh menegang dari kepala sampai kaki, pipinya serasa dingin namun panas. Entahlah, ini yang dinamakan sedih atau bahagia dalam sedih. Yang jelas, tangannya sudah menutupi wajahnya sejak tadi.

Kakak, maafkan aku, batin Rani, lalu tangisnya semakin keras.

Suasana sekolah sepi, semua sudah pulang. Hanya ada satpam yang setia menunggu di gerbang. Sedangkan mereka bisa pulang dengan memanjat dinding atau pohon sekolah. Yang penting sampai rumah selamat.

Di tengah kesunyian dan perasaan aneh yang menyelimuti Rani, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu menyentuh punggung tangan yang menutup wajahnya. Sedikit keras tapi tidak menyakitkan. Perlahan ia membuka telapak tangan tanpa mengelap air matanya.

Sepatu!

Matanya membulat melihat sepasang sepatu yang menyenggol punggung tangannya. Ia dengan cepat merebut sepatu itu dan memakaikan di kakinya. Tanpa memperhatikan siapa yang mengantar sepatu itu kembali padanya. Yang jelas, sepatu itu masih jodoh dengannya.

"Kita masih jodoh, Sepatu!" girang Rani. Wajahnya tampak berbinar dan melupakan kejadian tadi.

Tiba-tiba ia mengingat orang yang memulangkan sepatu dari mendiang Kakaknya. Ia pun mendongak untuk memastikan siapa dia.

"Ayla?" Rani terkejut karena Ayla mau mengembalikan barangnya yang telah dicuri. Ia memang kesal dan kecewa pada Ayla, tapi semua itu sirna dalam sekejap.

"Iya. Maaf ya, kalau aku salah," ujar Ayla dengan senyum mengembang dan kedua tangan menyatu di depan dada. Tanpa aba-aba Rani memeluk Ayla dengan perasaan super bahagia.

"Nggak apa-apa, kok. Kita sudah biasa begini, 'kan?" Rani tiba-tiba bijak, Ayla jadi curiga.

"Tumben kamu mau balikin apa yang kamu curi? Biasanya enggak dan kamu sendiri yang lupa di mana kamu menyembunyikan barang itu," heran Rani setelah melepas pelukan. Mereka mulai berjalan menuju dinding yang membatasi jalanan dengan sekolah.

Albi Nadak✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang