14. Apa Itu Cinta?

40 4 0
                                    

"SIAPA dia?" tanya Azmi begitu mereka masuk ke gudang pondok. Ia menutup pintu setelah memastikan lelaki tadi tidak mengikutinya.

"Mantan," jawab Ayla datar. Azmi memutar bola mata malas, ia sudah menduga itu sejak awal. Ayla melipat kedua tangannya seraya menyender punggungnya. Wajahnya sama-sama malas seperti Azmi.

"Ngajak balikan?" tebak Azmi.

"Dia malah mikir kita belum putus, padahal sudah tiga bulan cuek sama aku," jelas Ayla dengan nada kecewa. Kali ini ia terima jika akan dihukum karena menggunakan bahasa Indonesia seenaknya. Apalagi saat Azmi membulatkan mata.

"Kalau bicara pakai bahasa Arab, ya!" ujar Azmi dengan nada malas. Sudah berapa kali Ayla mendapat hukuman karena salah bicara? Tidak hanya tadi, tapi sebelumnya sudah sering.

"Kenapa? Mau dihukum?" ujar Ayla seolah menantang.

"Mulutnya!" bentak Azmi mulai geram. Ayla memberengut takut. Ia langsung menunduk, takut menatap mata tegas Azmi.

Azmi tiba-tiba menangkup kedua pipi Ayla, membuat Ayla mendongak. Mata Ayla sudah terbelalak melihat wajah aneh Azmi yang baru saja ia lihat.

"Kamu harus dihukum." Detik berikutnya, Azmi langsung menempelkan kedua bibir mereka.

***

Azmi terus senyum-senyum sendiri saat membayangkan kejadian tadi di gudang. Ia tidak menyangka jika bisa mengambil ciuman pertama Ayla yang selama ini ia tahan. Ya Allah, ia malu sendiri membayangkan tadi.

"Astaghfirullah, fokus, Azmi!" perintah Azmi pada dirinya sendiri. Ia memukul buku di tangannya yang sedari tadi ia pandang saja. Ia pun mengambil satu kardus buku berjenis sama dengan bibir yang terus senyum sendiri. Ia bisa gila sendiri.

Tiba-tiba ia melihat sebuah buku dengan judul: Cara dan Tanda-Tanda Jatuh Cinta.

Apa aku mulai jatuh cinta? Azmi mulai bingung dengan perasaan sendiri. Mana mungkin ia cinta pada istrinya yang nakal itu? Tapi, tidak ada salahnya ia cinta pada Ayla. Apa Ayla merasa hal yang sama? Jika Ayla tahu, mungkin Ayla akan membencinya.

Azmi tanpa berpikir panjang membawa buku itu bersama dua kardus di sampingnya. Ia pun mendorong alat untuk membawa tiga kardus buku supaya mudah dan tampak ringan dengan roda kecil di bawahnya. Kebetulan di toko buku langganan pondok itu menyediakan fasilitas demikian.

"Berapa?" tanya Azmi pada pelayan di kasir. Pelayan itu sedang menali dua kardus menjadi satu dan membungkus dua buku pesanannya di kantong plastik. Mereka cukup akrab. Jika sedang sepi, mereka akan saling lempar cerita. Tapi, Azmi kadang menyebalkan, dan cueknya mulai kumat. Meski begitu, Azmi sangat menyimak ceritanya.

"Empat juta," jawab lelaki itu seraya meletakkan kardus di samping tubuh Azmi. Ia pun berdiri di depan Azmi. Tinggi mereka sedikit jauh berbeda, dengan 15 cm Azmi lebih tinggi. Azmi pun menyerahkan uang pondok sebesar 4 juta dan lelaki itu menerima.

"Kayaknya lagi sibuk banget, Bro?" katanya ramah. Azmi terkekeh seraya mengangkut dua kardus itu di alat untuk membawa dua kardus seperti tadi ke mobil pick up warna hitam yang ia bawa. Pelayan itu ikut membawa ke mobil dan berniat ikut menaikkan dua kardus itu. Biasanya memang begitu.

"Begitulah," kata Azmi singkat namun memang begitulah adanya. Pelayan itu sudah paham dengan watak Azmi pun mengangguk seraya menghela napas. Memang susah mencari topik jika berbicara dengan orang seperti Azmi. Ia berharap, jika nanti menikah, istrinya tidak seperti Azmi dan anaknya jangan seperti Azmi.

"Duluan," pamit Azmi. Mereka berjabat tangan dan Azmi masuk ke posisi sopir.

"Iya. Hati-hati di jalan, jangan lupa berdoa, jangan langgar aturan lalu lintas," pesannya panjang lebar. Azmi tidak menjawab karena temannya itu sangat cerewet, tidak bisa mempersingkat waktu dengan rangkaian kata-katanya.

Albi Nadak✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang