5. Perpisahan

33 7 0
                                    

AYLA saat ini sedang berpakaian rapi dengan gamis putih serta sedikit make up di wajahnya. Wajah putih dengan pipi gembul tersebut memantul di cermin kamarnya. Ia begitu bahagia, karena hari ini ia resmi melepas masa-masa SMP-nya.

"Akhirnya, gue bisa terpisah dari SMP itu," geming Ayla dengan senyuman mengembang. Ia berjanji pada dirinya sendiri, untuk selalu tersenyum pada siapa pun dan apa pun yang terjadi. Terlalu banyak muka kesal yang ia tunjukkan, dan membuat orang lain marah. Kali ini, ia akan tersenyum hingga orang lain turut merasakan kebahagiaannya.

"Semangat, Ayla Azzura Nursyifa! Hari ini elo udah bukan SMP lagi!" Ayla memekik kegirangan. Tidak ada siapa pun di kamarnya kecuali dirinya sendiri. Ia mempersiapkan seluruh penampilannya sendiri. Jika dipikir-pikir, Ayla tidak begitu pintar berdandan, namun dengan gayanya yang terkesan lebih kalem dari biasanya, membuatnya menjadi lebih menawan.

Ayla melirik jam dinding di atas cermin. Sudah menunjukkan pukul 08.00 AM. Ia pun mengambil tas ransel yang cukup besar, namun tidak sebesar tas yang biasanya ia bawa ke sekolah. Sebelum keluar, ia merapikan bedak yang menurutnya sedikit mengganggu. Setelah semua cocok, ia langsung membuka pintu dan bergabung dengan keluarganya di meja makan.

Setelah kepergian Azmi dua minggu yang lalu, ia tidak pernah lagi bertemu dan berharap bertemu lagi. Walaupun begitu, ia masih sering mendengar selawat di kanalnya sendiri atau kanal Syubbanul Muslimin. Walaupun pernah saling bertengkar, namun tidak sampai benci, Ayla merasa Azmi justru semakin bagus performanya. Tidak bisa diragukan lagi, jika Azmi cocok menjadi Presiden Selawat.

"Selamat pagi, Semuanya!" sapa Ayla sambil duduk di kursi yang tersedia. Ia tidak melepas tas tersebut. Mereka menatap Ayla dengan bangga.

"Ciye ... yang mau lulusan!" celetuk Umar dengan gaya menyebalkan. Tapi kali ini Ayla menjawab dengan ramah, hanya seukir senyum indah dan terkesan kalem. Umar jadi bergidik melihat Ayla versi kalem.

"Selamat ya, untuk putri Umma yang paling cantik dan shaleha. Selamat untuk segala prestasinya. Walaupun banyak catatan di Guru BK tentang perlakuan kamu, tapi Umma tetap bangga terhadap Lala. I love you full," kata Hawa penuh kebahagiaan. Aura bahagia Ayla ternyata sukses membuat Hawa turut bahagia.

"Wah, habis ini, bisa langsung masuk Pondok Pesantren, dong?" Adam menceletuk, seketika Ayla tersedak. Dengan cepat Umar yang ada di sampingnya menyodorkan air minum.

"Pelan-pelan! Udah macak kalem, gagal gara-gara makan gak ati-ati!" Mulailah sifat tukang ngomel dari Umar. Adam dan Hawa hanya terkekeh melihat kecerewetan Umar pada Ayla yang menandakan rasa sayang terhadap sang Adik. Berbeda dari Adam dan Hawa yang menilai positif, justru setelah sembuh, Ayla kembali memaki Umar. Gagal sudah rencana harmonisnya. Adam dan Hawa pun saling lirik malas dan melanjutkan makan.

"Oh iya, La," ucap Adam, membuat pertengkaran Umar dan dirinya terhenti. Mereka kembali ke posisi masing-masing.

"Ada apa, Abah?" tanya Ayla seraya melahap makanannya. Matanya sedikit melirik pada Adam, lalu kembali fokus memotong tempe goreng dengan sendok.

"Nanti kayaknya Abah sama Abang kamu datengnya agak terlambat. Jadi, nanti kamu ke sananya sama Umma dulu, oke?" Adam menjelaskan. Ayla tampak kecewa, namun ia bisa menagih janji tersebut jika mereka benar-benar tidak datang dan meminta apa pun asalkan ia tidak merajuk. Ayla pun mengangguk seraya tersenyum.

"Tapi jangan lupa hadiahnya, oke!" seru Ayla dan dihadiahi kekehan dari semuanya, termasuk para asisten yang ikut makan di meja makan sebelah. Rumah Adam memang memiliki dua meja makan, yang pertama untuk keluarga, dan yang kedua untuk para tamu. Tetapi, apabila tidak ada tamu, maka yang memakai menjadi para asisten. Mereka pun merasa bagian dari keluarga ini.

Albi Nadak✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang