12. Hukuman Penuh Drama

39 3 0
                                    

"BERAPA kali saya beri kamu kemakluman? Setiap berbuat salah, saya selalu membiarkan kamu untuk belajar memperbaiki, dengan alasan masih baru. Dan sekarang, sudah dua bulan di pesantren, apa iya masih santri baru?"

Ayla yang terduduk lemas di belakang masjid pun terkejut dengan suara tegas dan penuh wibawa itu tiba-tiba mendekatinya. Ia menoleh ke segala arah, lalu ia mendapati Azmi yang menatapnya tajam. Ayla menelan ludah. Tatapan tajam dan tegas tanpa emosi tersebut selalu saja membuat orang sepertinya terpesona, lalu tidak bisa memalingkan pandangan. Ia selalu benci dengan keadaan ini, dimana ia menjadi orang paling bodoh dan terpojok, tidak tahu apa-apa, dan terpesona—walaupun memang begitu, ia tidak mau orang lain tahu ia sedang terpesona.

Azmi melangkah semakin dekat, dan tanpa disadari Ayla beringsut mundur dengan tatapan tidak teralihkan.

Azmi duduk di samping Ayla, dengan tatapan yang lebih santai. Ayla mati-matian menahan degup jantungnya. Memang, ini bukan yang pertama baginya, bahkan ada yang lebih intim. Namun, tetap saja ia tidak terbiasa.

"Hal darasa?" (Sudah belajar?) Azmi bertanya. Ayla mengangguk ragu. Ia paham dengan apa yang dimaksud Azmi. Yang dimaksud adalah belajar bahasa, dan hari ini jadwalnya mulai mengikuti bahasa sehari-hari pondok.

"Maa 'iqab dzambi syahraini 'alaika?" (Apa hukuman yang pantas atas kesalahan selama dua bulan untuk kamu?).

Ayla menggeleng. Ia tidak bisa memutuskan, apalagi tahu yang menghukumnya adalah Azmi.

"Sudah belajar bahasa, belum? Kok nggak dijawab?"

"Saabiqan," jawab Ayla seraya sesekali mencuri pandang. (Sudah).

"'Ajib 'ala su'ali!" (Jawab pertanyaan saya!) tegas Azmi seraya menghela napas. Ayla lagi-lagi menggeleng. Azmi pun berdiri seraya melipat kedua tangan di depan dada.

"Tsumma atabba'ani!" (Kalau begitu, ikuti saya!) perintah Azmi dingin lalu pergi mendahului Ayla. Ayla yang sedari tadi memainkan mukenanya pun terperanjat dan menyusul Azmi dengan terbirit-birit.

Saat ini para santri sedang mengantre makanan, tapi Ayla merasa malas saja, mengingat hari ini ia harus mulai berbahasa Arab. Akan banyak kejadian selama ia dihukum kelak. Apalagi mengingat yang menghukum suami sendiri. Dan mereka sudah dua bulan tidak bertemu.

Siang ini, ia menyesal tidak ikut mengantre seperti teman-temannya. Jika ikut, tidak mungkin ia bertemu Azmi dan mendapat hukuman seperti ini. Tetapi, sisi baiknya adalah, ia bisa menghabiskan waktu bersama Azmi seperti sebelum mondok. Tidak bisa berbohong! Ia merindukan Azmi.

***

Azmi menyalakan mobilnya. Ia tidak menoleh ke samping, di mana ada Ayla yang menatap pemandangan. Ia menyadari jika Ayla merindukan dunia luar. Namun ia bangga, karena Ayla tidak ada niatan sedikit pun untuk kabur dari pondok seperti cerita-cerita yang pernah ia baca. Biasanya, anak seperti Ayla tidak bisa tenang di pondok dan mencari cara kabur supaya terbebas dari hukuman pondok. Hebat, Ayla tidak begitu.

Selama dua bulan ini, ia selalu lupa tidak memberi salam saat bertemu dan berpisah. Ia juga mudah jengkel, terkadang gampang emosian. Azmi berpikir, jika Ayla sedang datang bulan. Tetapi, setelah lewat, Ayla tetap begitu. Apa Ayla gangguan jiwa? Tidak. Ia hanya harus lebih berusaha mengurangi sifat kanak-kanak itu. Bisa jadi, itu adalah pelampiasan atas tidak kaburnya ia. Tetapi, tetap saja salah. Setiap dipergoki, ia selalu kabur, tidak mendengar nasihat orang lain, dan pergi begitu saja dengan perasaan jengkel tanpa salam. Jujur saja, Azmi ikut merasa kesal lantaran ia tidak berubah juga.

Apa kurang waktu dua bulan?

Hanya itu yang di pikirkan Azmi. Seharusnya Ayla bisa beradaptasi untuk kehidupan seterusnya di pondok. Ia masih harus dua tahun lagi mondok. Sebaiknya jangan buang waktu.

Albi Nadak✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang