15. Petaka Hadiah Buku

49 6 2
                                    

Lima menit lagi, jam pelajaran kedua akan datang. Azmi yang sedang asyik membaca buku di tangannya—dengan judul yang sama seperti hadiah saat Ayla bertanya tadi—segera merapikan mejanya dan mulai beranjak. Namun, ia kembali terduduk diiringi langkah seorang Ustadzah baru yang mendekati mejanya.

Azmi bingung, karena ada peraturan tertulis: Santriwan dilarang masuk kawasan Santriwati, begitu pun sebaliknya. Sedang, Ustadz dilarang masuk kantor Ustadzah tanpa keperluan mendesak, begitu pun sebaliknya. Ia begitu hafal dengan beberapa peraturan yang menurutnya sangat adil.

Beliau Ustadzah Nisa, para santri biasa memanggilnya 'Bu Nisa'. Bu Nisa cukup terkenal karena sangat mengedepankan peraturan. Beliau begitu hafal setiap peraturan tertulis, dan selalu menghukum santri ataupun menegur guru yang melanggar. Namun anehnya, sekarang justru beliaulah yang melanggar.

"Bu Nisa? Ada apa?" tanya Azmi ramah, namun merasa tidak nyaman. Jika itu Ayla, ia senang bukan kepalang, meski tidak menunjukkan sisi ramahnya.

"Mau ada jadwal ya, Gus?" Kebanyakan rekan kerjanya memanggil Azmi nama, untuk Ustadzah atau guru baru memanggil Gus Azmi. Padahal langsung nama lebih enak, ya?

"Iya." Azmi benar-benar tidak nyaman setelah menghabiskan waktu tiga menit bersama Bu Nisa. Ia berpikir, apakah ia melakukan kesalahan?

"Ada apa?" Azmi memang ramah, meski kata-katanya tidak lebih dari lima kata.

"Tidak ada masalah. Tadi saya tidak sengaja mendengar salah satu santri membicarakan Anda, karena sudah memberi hadiah pada Lala. Maksud saya di sini, ingin mengingatkan saja, jika laki-laki dan perempuan harus menjaga jarak, jangan memutus jarak. Anda sebagai guru memberi contoh yang baik, dengan menjaga jarak dari perempuan sekali pun itu murid sendiri, bukan malah beri hadiah." Bu Nisa tampak mencari bangku, namun sayang, tidak ada bangku sama sekali. Alhasil, ia harus merelakan kakinya kesal terus berdiri.

"Singkatnya," kata Azmi sedikit jengkel. Secara tidak langsung, Bu Nisa mengejek istrinya di depannya. Ia tidak suka itu.

"Sebaiknya Gus Azmi menghindar dari si Lala itu, deh. Gus Azmi tahu sendiri, 'kan, kalau Lala sering dihukum? Itu tandanya dia bukan orang baik-baik. Saya takut kalau Gus Azmi malah terhipnotis dan menjadi nakal seperti—"

"Stop!" Azmi menjeda ucapan Bu Nisa yang kelewat batas itu dengan nada dingin, bukan lagi datar. Bu Nisa pun menghentikan ucapannya. Ia yakin jika Azmi terpengaruh dengannya.

"Bu Nisa tidak berbeda," kata Azmi dingin. Benar, bukan? Perkataan Azmi tidak lebih dari lima kata.

Tubuh Bu Nisa mematung, tidak menyangka jika Azmi berkata begitu. Biasanya Azmi sangat ramah padanya, sampai ia berharap lebih, padahal Azmi hanya berbaik hati. Azmi pun tidak menganggap Bu Nisa sebagai rekan sesama guru di Nurul Qadim. Dan saat ini, akhirnya ia berani mengatakan kalimat yang terpendam beberapa tahun ini. Ia juga berharap jika Bu Nisa berhenti berharap.

Azmi membawa semua berkas yang diperlukan, mengucap salam, dan membiarkan Bu Nisa kalut dengan malu. Azmi sangat senang jika usahanya membuat orang lain bungkam, termasuk Bu Nisa yang terkenal genit dengannya. Ia tidak akan menerima perempuan lain selain Ayla, karena itu dosa.

Ahkam tiba-tiba masuk. Ia terkejut karena seorang Ustadzah sendirian di ruang kantor Ustadz dan tepat di depan meja Azmi. Ia langsung paham, jika Bu Nisa masih saja mengejar-ngejar Azmi, padahal selalu ditolak secara halus maupun kasar. Cinta memang harus diperjuangkan, namun cinta bukan alasan untuk memaksakan kehendak, bukan?

"Loh, Ustadzah Nisa? Kok di sini? Sendirian lagi," heran Ahkam dibuat-buat. Tentu ia tahu jawabannya, namun ia ingin mengusir beliau secara tidak langsung.

Albi Nadak✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang