Ulfa menghela napas, sebab Keke dan teman sekelas yang lain memberinya tatapan menuntut penjelasan. Keke sendiri sudah merasa atmosfir di sekitarnya berubah begitu saja. Ia tak sangka jika Naldo kesal karena ucapannya tadi. Keke hanya bercanda, ralat sebenarnya, ia mengatakannya setengah serius, tidak benar-benar bercanda.
"Amsyong dah, kelas jadi horor begini!", kata Yudha meringis.
"Gara-gara lo, sih!" Bulan kembali mengomel. "Kalau lo bisa nahan diri buat buka sesi ghibah, semua ini nggak bakalan kejadian."
"Ya ... gue juga nggak nyangka kalau Naldo nggak suka ditangani begitu. Biasanya mah tuh anak anteng-anteng aja. Paling-paling juga ngomel sama ngegas doang. Abis itu wajahnya datar lagi kek kanebo kering." Yudha berusaha memberi pembelaan. Perlahan-lahan sebagian teman sekelas ada yang mengangguk membenarkan. Naldo tidak biasanya bersikap seperti ini.
Steby yang memang akrab dengan Naldo sejak duduk di bangku kelas dua SMP berusaha memahami. Ia tahu bagaimana perangai Naldo. Naldo memang galak dan memiliki mulut tajam serta ucapan pedas. Namun, hal itu tidak serta merta membuat Naldo mengambil hati semua perkataan teman-temannya.
Kalaupun pemuda itu kesal dan sakit hati, Naldo memilih kehendaknya dalam hati. Ia tidak akan menunjukkan kemarahannya pada siapapun. Hari ini justru menunjukkan situasi yang sangat berbeda. Naldo terlihat sebal dan kesal.
Steby mendengus. Ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. "Salah nggak sih kalau gue bilang, kalau Naldo beneran tersinggung sama ucapan lo, Ke?"
Setelah Ulfa, kini Steby yang berhasil menyentak Keke. Rasanya Keke ingin membela diri, akan tetapi ia tahu ia memang bersalah. Tak ada gunanya mencari pembenaran untuk menutupi kesalahan akibat ia gagal mengendalikan lisannya. "Gue emang salah." Hanya itu yang bisa Keke katakan. Ia bingung mengatakan apa lagi.
Keke berdecak. Ia berjalan dan keluar dari kelas. Ia bahkan belum menaruh tasnya di kursi, tetap membawanya keluar kelas. Ia harus berbicara dengan Naldo.
Sepeninggal Keke, yang lain kompak melempar pandangan. Hal itu membuat Radja sampai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Keke dan Naldo yang lagi bermasalah, dan sekelas auto kena imbasnya. Suasananya membuat Radja gerah.
"Please, deh! Kalian pada serem kalau mode hening begini!", kata Radja dengan wajah super sebal.
Tak ada yang memberi respon pada Radja. Mereka masih betah dalam mode diamnya. Keke dan Naldo yang bermasalah, tapi seakan-akan kelas ikut terseret dan mengalami huru-hara.
"Gue yakin, Naldo marah bukan cuma sebatas karena Keke ngomong kayak gitu, ada alasan lain," terka Meyva.
"Betul. Kali aja mereka berdua ada benih-benih akan cinlok?"
Celetukan Kimmy kembali mengundang perhatian. Ekspresi wajah yang ditunjukkan teman sekelas berbeda-beda, tapi dominan adalah wajah nelangsa. "Kenapa ada yang cinlok lagi, sih? Ini alamatnya cowok kelas Resident mainnya kurang jauh emang." Raina berkata tanpa dosa.
"Ya nggak cinlok juga, kali." Nesya menimpali. "Siapa tahu Naldo emang punya dendam pribadi ke Keke? Emosi karena Keke lebih macho?"
"Ya Allah Nes, masih sempat-sempatnya," gumam Maya menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Steby membasahi bibir bagian bawahnya. "Kayaknya ada alasan lain. Mereka nggak cinlok, tapi salah satu dari mereka yang punya perasaan lebih."
"HAH?!"
Steby tak heran jika temannya kembali terkejut, kecuali Ulfa. Ia melirik gadis berkacamata itu. Paham jika Steby meminta pendapatnya, Ulfa kembali berkomentar. "Bisa jadi, sih." Ulfa menimpali dengan perasaan sedikit ragu. "Bukan cuma salah satu, dua-duanya bisa jadi punya perasaan lebih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagi Dua
Teen FictionLeonardo Iriandi, pemuda manis yang jago urusan menggambar. Otaknya cerdas, tapi itu tidak membuatnya sombong. Kata teman-teman sekelas, Naldo, sapaan akrabnya, tak tertarik dengan hal cinta dan asmara. Kata Naldo, ia masih terlalu 'kecil' untuk mem...