Bagi Dua | 17

11 4 0
                                    

Setelah berbicara dengan Keke di rumah sakit, Naldo merasa jauh lebih baik. Apalagi diantara obrolan itu, terselip kenyataan jika Keke juga menyukainya. Naldo senang dengan hal itu. Tapi, hari ini saat dia berada di sekolah, emosinya tersulut.

Ia hampir lupa jika Vanesha adalah sebab mengapa Keke bisa sampai dirawat di rumah sakit. Ia ingin bertemu Vanesha dan berbicara pada gadis. Bila perlu, ia akan peringatkan Vanesha agar tidak menganggu Keke.

"Vanesha!"

Kebetulan sekali, Naldo berpapasan dengan Vanesha yang baru saja hendak masuk ke dalam laboratorium komputer. Dengan langkah panjang Naldo segera menghampiri Vanesha. Vanesha yang melihat Naldo mendekat padanya nampak menahan segala rasa girang di dadanya.

Vanesha menggigit bibir, apalagi jarak Naldo sudah begitu dekat dengannya. "Hai, Naldo!", sapanya ramah kala pemuda itu berdiri tak jauh darinya. Naldo tak membalas. Ia lebih memilih melayangkan tatapan tajam pada Vanesha.

"Gue udah nggak mau basa-basi lagi sama lo. Lo jawab dengan jujur pertanyaan yang bakal gue tanyain ke lo."

Vanesha melihat Naldo begitu berubah hari ini. Cara Naldo memandangnya, berbicara padanya, Vanesha tidak suka dengan semua itu. "Kamu kenapa ..."

"Kenapa lo harus bikin Keke celaka? Salah dia apaan ke lo? Kasih tau gue!"

Tercekat.

Hanya itu yang Vanesha rasakan.

Ia tidak pernah mengira jika Naldo akan mendatanginya, dan seolah menuntut pertanggung jawaban atas perbuatannya pada Keke. Sorot mata Naldo telah menegaskan banyak hal, salah satunya jika Keke memang begitu berharga bagi pemuda itu. Kenyataan itu membuat Vanesha berada kalah telak dari Keke, lagi dan lagi.

"Aku kesal sama dia!"

Naldo terdiam lama, sebelum akhirnya tersenyum sinis pada Vanesha. Ia tidak sangka si murid pindahan yang sempat akrab dengannya itu begitu mudah berbuat ulah hanya karena rasa kesalnya pada seseorang. "Lo kesal sampai bikin nyawa orang hampir celaka? Lo nggak mikir kemungkinan terburuk yang Keke terima kalau kecelakaan yang dia alami itu lebih parah dari yang lo lakuin sekarang?!"

Tentu saja Naldo dan Vanesha menjadi pusat perhatian sekarang. Wajah murka Naldo sungguh membuat Vanesha ketakutan. Naldo mendengus keras. "Apa lagi yang lo pikirin, hah?! Cara buat nyelakain Keke lagi?"

"Naldo, jangan marahin aku! Aku nggak suka!", rengek Vanesha, agar Naldo menaruh iba sedikit padanya. Sayangnya, Naldo tak peduli lagi.

"Gue sampai kapanpun nggak bakalan lupa sama perbuatan lo ini! Nggak nyangka gue sama kelakuan lo! Bikin gue makin yakin lo emang nggak pantas dekat sama siapapun! Lo terlalu jahat buat sekadar di kasih hati sama orang."

Kalimat yang Naldo katakan padanya di sela-sela amarah pemuda itu membuat tetesan air mata Vanesha mulai mengalir dipipi. Naldo adalah orang yang pertama kali membentaknya. Ada perasaan tidak terima dalam diri Vanesha dengan kenyataan ini. "Kenapa kamu tega kasarin aku, Naldo? Padahal aku ini suka sekali dengan kamu!"

Giliran Naldo yang tersentak. Bibirnya sedikit terbuka. Jadi selama ini ucapan teman-temannya benar. Naldo terlalu lambat memahami jika Vanesha menyukainya.

Rupanya, Vanesha tak cukup sampai di sana mengatakan isi hati gadis itu. "Aku suka kamu saat pertama kali kita ketemu, Naldo. Selama ini banyak orang yang suka aku, tapi aku nggak suka sama mereka. Kamu cinta pertamaku, Naldo. Tapi kamu malah lebih peduli pada Keke. Keke terus!"

"Cukup, Vanesha! Lo ..."

"Aku nggak mau diam! Aku suka kamu, pokoknya kamu harus sama aku, Naldo!" Kali ini keduanya menjadi pusat perhatian. Naldo melirik sekitarnya. Ini dia yang ia takutkan sejak dulu. Menjadi pusat perhatian sama sekali tidak pernah masuk dalam daftar yang ingin ia capai selama hidupnya.

Bisik-bisik siswa SMA Anggatriaja mulai terdengar, walau sayup-sayup terdengar. Bukan seperti bisikan, lebih tepatnya seperti sesi gosip terbuka di muka umum. Kedua tangan Naldo terkepal.

"Dengerin gue Vanesha, gue nggak ada buat ngurusin masalah seperti ini di muka umum. Harusnya lo bisa kontrol diri lo." Naldo berujar tegas.

Vanesha masih menangis. Ia berusaha mendekat pada Naldo, tapi entah darimana datangnya, Radja, Yudha, dan Steby sudah menarik Naldo menjauh dari Vanesha. Tak lama Leon datang dengan Hito dan Langit yang mengekor. Ada Damian dan Awan juga. Marko dan Kimmy pun ikut menyusul.

"Naldo, tenangin diri lo," kata Steby pelan setelah Radja dan Yudha sudah menarik Naldo menjaga jarak dari Vanesha. Wajah Naldo masih syok.

Leon menghela napas. Ia melirik Vanesha. "Lo diapain memang sama teman gue ini? Dia nge-PHP-in lo atau gimana? Jelasin ke gue!", tuntut Leon dengan wajah tenang, ciri khasnya jika tengah dihadapkan dengan masalah yang ada kaitannya dengan teman sekelasnya.

Vanesha masih mencuri pandang pada Naldo yang memilih buang muka darinya. Ia tak kunjung menjawab pertanyaan Leon. Hingga Awan tertawa pelan. "Dia nggak tau kali maksud PHP itu apa, Pak Ketua. Jelasin, deh!"

Leon tak begitu mempedulikan ucapan Awan. Yang ada, ia hanya akan mengomel pada pemuda yang doyan sekali jadi badut itu. Kali ini Leon menatap Naldo.

"Do, atau lo yang cari masalah sama dia, sampai kalian udah jadi tontonan anak-anak di sini?"

Naldo mendengus. Ia kesal sekaligus syok. Pemicunya adalah Vanesha. "Gue yang salah, Le. Gue langsung marahin dia tadi."

Sebelah alis Radja terangkat naik, begitupun yang lain memasang wajah heran. Radja yang membantu menarik Naldo menjauh dari Vanesha bersama Yudha memang melihat betapa kagetnya Naldo. Seolah, percakapannya dengan Vanesha itu perkara penting yang harus diselesaikan detik itu juga.

"Susah nih kalau urusannya perkara hati," celetuk Marko. Kimmy bahkan harus menyikut pelan perut pemuda itu agar tidak banyak bicara di situasi tidak mengenakkan itu.

Leon kembali menatap Naldo dengan sorot bertanya. "Emangnya apa alasan lo marahin dia? Apalagi lo sama sekali nggak tau tempat buat marah ke dia. Pasti ada alasan, kan?"

Naldo mengangguk. "Dia yang bikin Keke kecelakaan motor, Le."

Wajah Vanesha seketika pucat pasi. Ia tak sangka Naldo akan semudah itu membeberkan kebenarannya. Leon kali ini yang diserang keterkejutan. Ia kini menatap tajam Vanesha.

"Hah?" Langit melongo. Bahkan si kalem itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Seolah kemarahannya kembali datang, Naldo mengatakan kebenarannya. "Dia sengaja nabrak motor Keke sampai Keke kecelakaan. Bahkan gue tahu dari Keke kalau keluarganya sampai minta maaf ke kelurga Keke karena perbuatannya itu."

Terdiam cukup lama, hingga Leon menggeleng tak habis pikir. "Permasalahan ini nggak cukup sampai sebatas omelan buat dia doang. Nggak bakalan ada efek jeranya."

"Lo benar, Le. Dia harus minta maaf secara langsung ke Keke." Hito menimpali.

Vanesha menggeleng. "Saya nggak mau minta maaf ke Keke! Saya nggak salah!"

Steby memutar matanya dengan malas. Ia sekarang paham bagaimana Naldo bisa sampai heran dengan gadis itu. Keras kepala dan juga tidak pernah merasa bersalah. "Udahlah, nggak usah didebatin ini orang. Laporin aja sama guru."

Naldo seolah tak mendengar apapun lagi. Ia menundukkan kepala. Ia merasa bersalah tak bisa mengendalikan amarahnya. Tapi jika urusannya sudah soal teman sekelasnya dan juga Keke, ia tidak bisa tinggal diam dan menutupi kebenaran yang ia ketahui.

Seperti kata Keke, Naldo harus bisa berani.
















***







Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Bagi Dua

Jangan lupa vote dan komentarnya

Salam hangat,
Dhelsaarora

Bagi DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang