Vanesha tak tahan lagi untuk tak bersuara. Walau Keke berusaha membuatnya bungkam, akan tetapi perasaan tidak terimanya muncul begitu saja saat Keke meraih tangan Naldo dan membawanya ikut keluar. "Tapi tindakan kamu membohongi senior itu tidak benar," kata Vanesha. Keke sampai memutar kedua matanya dengan raut jengah.
"Tapi tindakan kalian yang ngerocos tanpa liat apa orang nyaman atau nggak, itu nggak bisa gue benerin." Keke tersenyum sinis. "Emang Naldo nggak nyaman, tapi hal itu bikin lo seneng, kan?"
"Maksud kamu apa?", balas Vanesha berusaha tenang, tapi sorot matanya tidak bisa bohong. Keke tertawa renyah. "Ketahuan banget lo naksir Naldo."
Naldo sudah memelototi Keke. Keke tidak peduli, pandangan gadis itu terkunci pada sosok Vanesha yang tubuhnya sontak menegak karena pernyataan Keke.
Vanesha menatap Keke dengan sorot tak sama dengan sebelumnya. Kini tatapan Vanesha menjadi lebih sinis dan dingin. "Kalau aku naksir Naldo, apa urusannya dengan kamu? Kamu bertindak seolah-olah kamu ini pacarnya."
"Ya jelaslah jadi urusan gue! Naldo teman gue yang berharga. Dan lo tadi bilang apa? Seolah-olah gue bertindak sebagai pacarnya? Lo nggak ngaca memangnya? Lo bertingkah kalau lo sama dia udah pacaran."
Vanesha tak suka di debat. "Kamu sudah terlalu ikut campur untuk urusan kami berdua."
Keke meringis. Ia jadi ingin mencakar wajah Vanesha detik itu juga. "Sejak kapan lo sama Naldo ada urusan? Lo sendiri yang ngerasa begitu. Lagipula urusan Naldo itu sama gue, bukan sama lo. Apa perlu gue kasih tau juga ke lo, siapa yang sebenarnya Naldo suka?"
Naldo menghela napas. Ia menarik perlahan tangan Keke, dari sorot matanya ia meminta Keke berhenti mendebat Vanesha. Keke menatap Naldo lama, dan ia kemudian mendengus pelan. Saat itulah Naldo baru merasa lega.
Keke tersenyum sinis. "Ternyata lo nggak berubah yah sama sekali? Tetap dominan, nggak habis pikir gue waktu kecil kita bisa jadi teman." Keke lalu beranjak pergi, dan Naldo dibuat tersentak oleh hal itu.
Naldo menatap Vanesha kini. "Maaf, Echa. Saya harus pergi."
Naldo berlari, dan menyisakan Vanesha yang sudah geram setengah mati pada Keke.
***
"Keke, tunggu!" Naldo mencekal pelan pergelangan tangan Keke. "Lo jangan pulang dalam keadaan emosi."
Keke menatap Naldo, ia sama sekali tak mempermasalahkan jika Naldo masih mencekal pergelangan tangannya. Ia hanya berharap pemuda itu mengerti maksudnya. "Gimana gue nggak emosi, Do? Gue kenal lo dari SMP, gue tahu banyak apa yang lo suka atau nggak! Kenapa sih di depan Vanesha lo seolah kehilangan karakter lo yang galak? Cewek kayak begitu ngeselin banget loh, Do."
Naldo tersenyum lembut. "Mending kita duduk dulu, nggak enak juga kalau kita ngobrol terus lo-nya masih emosi."
Keke mengangguk pelan. Ia membiarkan Naldo menarik pelan tangannya agar duduk di bawah pohon yang tak jauh dari perpustakaan.
Saat mereka sudah duduk di sana, ada jeda panjang yang membuat mereka tak bisa berbicara. Kecanggungan menyelimuti mereka begitu saja. Sampai Naldo menghela napas, pandangannya lurus ke depan. "Kenapa, Ke?"
Keke reflek menghadapkan tubuh sepenuhnya pada Naldo. Ia duduk bersila. "Hah?"
"Kenapa lo sampai segitunya tadi? Kenapa lo harus peduli?"
Kedua mata Keke mengerjap lambat. Ia mengusap tengkuknya perlahan. "Karena gue ingin peduli."
"Jangan bikin gue tambah suka sama lo deh, Ke." Naldo menggeram frustasi. "Kebaikan lo buat gue mikir lain, Ke." Keke tersentak. Rasanya ingin memberitahu Naldo agar tidak tertekan dengan perasaan yang dialami pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagi Dua
Teen FictionLeonardo Iriandi, pemuda manis yang jago urusan menggambar. Otaknya cerdas, tapi itu tidak membuatnya sombong. Kata teman-teman sekelas, Naldo, sapaan akrabnya, tak tertarik dengan hal cinta dan asmara. Kata Naldo, ia masih terlalu 'kecil' untuk mem...