Keke merapikan peralatan tulisnya. Pulang sekolah ini ia ingin langsung pulang sekolah. Ketua eskul PMR, Bimo, sudah menginformasikan jika pemilihan eskul PMR jadwalnya diundur. Setahu Keke, hari ini adalah jadwal pemilihan eskul English Society.
Diam-diam Keke menghela napas. Ia jadi teringat Naldo sekarang. Pemuda itu salah satu kandidat ketua eskul.
Semua teman sekelasnya sudah menuju ruang eskul English Society, sementara Keke masih berdiam diri di dalam kelas. Hanya ada ia seorang diri.
Wajah Keke berubah masam. Bak sebuah kaset rusak, saat-saat dimana Naldo duduk bersamanya dan berbagi buah apel dengan pemuda itu, saat pemuda itu mengatakan tentang filosofi apel, dan dengan berat Keke akui, dia sedikit bawa perasaan karena itu.
Label anti-anti baper ternyata hanya sekadar sematan saja, tetapi faktanya Keke sudah mulai bawa perasaan, apalagi pada sosok Naldo yang akhir-akhir ini menjadi topik perbincangan. Ditambah lagi, interaksi tidak biasa antara Naldo dan si anak baru, yang Keke rasa punya wajah familiar itu begitu mengusiknya.
Ekspresi itu nampak di wajah Keke. "Emang bener kata orang, baper itu nggak enak, apalagi sama orang yang suka ngebaperin, tapi pada akhirnya nggak bakalan mau tanggung jawab dan ngasih perasaan yang sama. Ck, gini amat jadi cewek yang udah mulai baperan."
Keke meraih tasnya, dan mengenakannya. Setelah itu gadis itu keluar dari kelas. Ia memutuskan untuk langsung pulang saja. Ia tak mau menyusul teman sekelasnya yang lain.
Meyakinkan diri untuk pulang lebih dulu, urusan sekelasnya menganggapnya tidak solid, Keke akan memberi penjelasan.
Karena, ia tahu, bawa perasaan dengan teman sendiri tidak selamanya berujung baik. Walau Bintang dan Langit tak berpacaran, tapi saling menjaga hati. Kimmy dan Marko yang saling melengkapi, serta Damian dan Joya yang beda karakter akhirnya bisa berpacaran walau sering bertengkar kecil. Ketiga pasangan kelas Resident itu mengalami cinta lokasi, dan Keke rasa mereka beruntung.
Bagi Keke, bawa perasaan pada teman sendiri itu boleh-boleh saja, tapi bagi diri Keke sendiri, ia kadang menganggapnya sebagai 'pengkhianatan', dan Keke merasa mungkin ia akan mengalaminya. Menyukai teman sendiri itu bisa jadi bom yang meledak nantinya, dan Keke tidak mau hal itu terjadi padanya. Jelas saja keenam sobatnya itu memang saling menyukai.
Lalu, bagaimana dengan Keke sendiri? Yang membuatnya bawa perasaan adalah seorang Leonaldo Iriandi, pemuda bertubuh lumayan mungil yang terkenal cuek perihal masalah hati, pedas dalam bertutur kata pada mereka yang memang pantas mendapatkannya.
Ini Naldo, yang salah satu yang tidak pandai mengekspresikan perasaannya sendiri.
Andai saja Keke tak menghubungkannya dengan perasaan, ia akan memilih mencintai Baekhyun atau Jaemin saja.
Decakan pelan keluar dari mulut Keke. Ia berjalan menghentak keluar kelas. Bingung sendiri dengan dirinya.
"Eh, ada lo rupanya!"
Keke menunjukkan raut datar kala ia melihat sosok Cahmi--si tuyul yang harus ia akui adalah teman sekelasnya di masa SD. Karena si tuyul itu jugalah ia disangka sudah punya pacar. Desas-desus yang Keke dengar, Fahmi sama sekali tidak membantah atau mengelak soal itu.
"Apaan lagi dah, lo?!", sungut Keke galak sembari berkacak pinggang.
Fahmi tersenyum kecil. "Masih aja galak, ntar lo bakalan lama nge-jomlo."
"Bodo amat sama lo, tuyul!", balas Keke sebal.
Kini Fahmi mengibaskan salah satu tangannya. "Mumpung gue ketemu sama lo disini, gue pengen ngajak lo makan-makan bareng teman SD sore nanti. Lo mau, gak? Hitung-hitung reunian juga. Mumpung si Lela datang dari luar kota, kapan lagi ngumpul dalam formasi lengkap."
Keke tersenyum lebar. "Wuih, seriusan si Lela datang? Kalau gitu sih gue harus ikut!"
"Yaudah. Gue duluan, jangan lupa sore nanti, abis sholat ashar, di rumah Lela!", peringat Fahmi yang langsung diangguki oleh Keke.
*****
Suasana di ruang eskul English Society sedang tegang-tegangnya. Bagi penghuni kelas Resident, kemenangan Naldo begitu mereka harapkan.
"Gue masih ngencangin doa, moga-moga si Naldo menang," kata Steby memokuskan pandangan ke arah depan. Steby yang memang tergabung dalam satu eskul dengan Naldo itu memang menaruh banyak harapan dengan hasil pemilihan ini.
Ini sudah saatnya Naldo kembali 'jadi ' pemimpin. Teman sekelasnya itu punya kemampuan luar biasa, dan bagi Steby itu tak boleh disia-siakan.
"Gue aamiinin doa lo, By!", celetuk Lily.
"Aamiin!", seru beberapa siswa kelas Resident.
Naldo sendiri beberapa kali mengepalkan kedua tangannya, guna mengusir gugup yang melanda. Sesekali ia memberi senyum tipis pada orang-orang yang memberinya semangat. Naldo harap apapun hasilnya ia tidak akan merasa kecil hati.
Setelah menyampaikan visi misi singkatnya tadi, Naldo sempat tidak merasakan kegugupan. Tetapi setelah anggota eskul mulai memberi suara kepada kandidat yang mereka anggap layak, Naldo merasa diserang oleh perasaan tidak nyaman itu.
Kepalanya pun sejak tadi tidak bisa diam. Ia mencari-cari seseorang yang kalau boleh jujur saja, ia harapkan kehadirannya, walau tak satu eskul dengannya.
Bukannya orang yang ia cari sejak tadi yang nampak, tetapi justru gadis yang kadang bertemu tanpa sengaja dengannya beberapa waktu terakhir inilah yang terlihat. "Lah, ngapain dia disini? Apa jangan-jangan dia ambil eskul ini juga?"
Naldo sempat mengerjap beberapa kali, mengamati pergerakan gadis bermata besar duduk canggung diantara siswi lain.
Ah, namanya Vanesha. Naldo baru mengingatnya.
Diam-diam Yudha mengamati pergerakan dan arah mata Naldo sejak tadi, untuk itulah ia mengabadikan segalanya dan akan ia bagikan ke grup pesan kelas nanti.
Lumayan, bisa jadi bahan ghibahan baru.
"NALDO PASTI MENANG! NALDO PASTI MENANG!!!!!"
Awan berteriak histeris dan naik ke atas kursinya sendiri. Tak hanya Awan, Damian bahkan sudah berdiri heboh dan mengambil pom-pom yang ia buat dengan susah payah dari tali rafia, dan Joya yang mengajarinya untuk membuat. Pacarnya itu sangat senang membuat hal semacam itu.
Tak cukup hanya Awan dan Damian yang membuat kehebohan, Yudha yang tadinya bahkan sibuk merekam Naldo malah mirip pemandu sorak sekarang. Tangannya sudah bergerak atas bawah, kiri kanan, dan kadang seperti dirigen yang memandu anggota paduan suara. Si kalem Langit bahkan sudah dipaksa Awan untuk ikut berdiri. Bersama dengan Hito, Langit membentangkan baliho yang menampilkan wajah Naldo yang super datar dan jutek.
Mengetahui hal itu Naldo memejamkan kedua matanya menahan kesal. Kenapa teman sekelasnya ini tidak ada yang beres? Bahkan si Langit yang paling waras harus terpaksa menjadi gila karena kebanyakan populasi kelas Resident yang kelakuannya seperti dedemit.
Marko dan Radja tak mau ketinggalan, mereka bahkan sudah memakai bando yang menjadi foto Naldo menjadi hiasannya.
"Astaghfirullah....Sabar, sabar..." Naldo mengusap wajahnya frustasi, seolah kegugupannya berganti menjadi perasaan stres saat ini.
*****
Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Bagi Dua
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagi Dua
Teen FictionLeonardo Iriandi, pemuda manis yang jago urusan menggambar. Otaknya cerdas, tapi itu tidak membuatnya sombong. Kata teman-teman sekelas, Naldo, sapaan akrabnya, tak tertarik dengan hal cinta dan asmara. Kata Naldo, ia masih terlalu 'kecil' untuk mem...