Sepanjang malam ini Naldo terus terbayang ucapan Keke siang tadi. Ia baru sadar ternyata gadis yang biasanya bersikap bar-bar itu bisa begitu bijak menanggapi sikap-sikap yang Naldo perlihatkan selama ini.
Pantas saja, jika Keke Naysila Sarira bisa punya aura yang memancarkan begitu kuatnya jati diri gadis itu. Gadis itu bukan tipikal neko-neko.
Jika gadis lain sibuk dengan penampilan, memikirkan cara agar popular, tapi Keke berbeda. Gadis itu malah sibuk memainkan game di ponsel untuk mencetak kemenangan, atau sibuk berkebun di kebun apel milik keluarganya.
Tak hanya Keke sebenarnya, pasukan gadis kelas Resident memang punya sisi berbeda. Sekalipun terlihat sama saja dengan gadis kebanyakan, ada saja tingkah gadis Resident yang membuat mereka nampak berbeda dan menonjol.
Apa ini memang sudah waktunya...Naldo percaya dengan kemampuannya sendiri? Tapi semuanya tak semudah itu, 'kan?
"Naldo," panggil sang mama kala Naldo hanya melamun di salah satu sofa.
"Iya, Ma?"
"Kamu lagi mikirin apa, sih? Serius banget. Cerita aja sama Mama."
Naldo menghela napas, dan memijat pelipisnya yang kini terasa berdenyut. "Ini Ma, Naldo masuk kandidat ketua eskul, PMR sama english society. "
Wajah Mama Naldo tiba-tiba merekah, bahagia. "Wah, anak Mama hebat! Mama jadi penasaran, kalau kamu jadi ketua dua eskul itu."
"Itu dia masalahnya, Ma. Naldo nggak percaya sama kemampuan Naldo sendiri. Naldo nggak bisa," aku Naldo yang memang sudah merasa rendah diri dan pesimis dengan kemampuannya.
"Kenapa? Apa karena kejadian pas kamu masih SMP itu?"
Naldo terdiam. Tanpa ia jawab pun Mama akan mengerti memang itu sumber akar masalahnya.
"Kenapa masih dipikirkan, nak?"
"Nggak semudah itu melupakan hal yang benar-benar buat Naldo kehilangan kepercayaan diri. Karena kejadian itu, Naldo selalu berpikir, kalau Naldo itu bodoh."
Mama mengerti dengan kondisi dan pemikiran Naldo. Semuanya memang tidak semudah itu. Segalanya harus bisa dilakukan secara perlahan, termasuk mengembalikan kepercayaan diri Naldo.
*****
Malam ini, Keke tengah berkunjung ke rumah Bintang. Karena rumah mereka yang lumayan dekat, jadi ia pikir tak ada salahnya jika ia main ke rumah temannya itu.
"Bintang!"
Kebetulan sekali, Bintang sedang duduk sembari sibuk mencuci sepedanya di depan rumah. Tanpa berpikir panjang Keke langsung berlari menemui Bintang.
"Eh, Keke! Duduk, duduk!" Bintang yang ternyata baru selesai mencuci sepedanya langsung menepikan sepedanya dan memarkirkannya tepat disebelah motor tante Anika. Bintang mengajak Keke duduk di kursi depan rumah.
"Gue kebetulan habis panen apel dari kebun, gue jadi ingat lo sama tante Anika. Rumah kita dekat, jadi sekalian gue bawain kesini."
Keke meletakkan sekeranjang kecil apel merah yang ia panen di hadapan Bintang. Tentu saja pemberian Keke itu disambut sukacita oleh Bintang, walau awalnya sempat takut merepotkan Keke. "Aduh, gue jadi merepotkan. Tapi makasih lo udah bawain, pasti tante Anika senang nih, bisa dibuatin cemilan."
Keke tertawa pelan. "Iya, dong. Eh, ngomong-ngomong, lo sama Langit gimana?"
Bintang tergelak, lalu tersenyum tipis. "Ya, begitulah. Kami komitmen biar nggak pacaran. Kami sama-sama menjaga hati."
"Duh, romantis begitu," puji Keke dengan wajah takjub. "Gue penasaran, dia bilang suka ke lo, gimana caranya?"
Kini wajah Bintang berubah merah, gadis itu berdecak pelan dengan wajah malu-malu. "Jangan bahas masalah itulah, gue 'kan malu." Bintang melirik Keke. "Lo sendiri? Udah punya seseorang yang lo naksir, belum? Gue sering dengar ibu Rahma sering jodoh-jodohin lo sama Fahmi. Lo sama Fahmi emang sedekat itu, yah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagi Dua
Teen FictionLeonardo Iriandi, pemuda manis yang jago urusan menggambar. Otaknya cerdas, tapi itu tidak membuatnya sombong. Kata teman-teman sekelas, Naldo, sapaan akrabnya, tak tertarik dengan hal cinta dan asmara. Kata Naldo, ia masih terlalu 'kecil' untuk mem...