"JAEMIN!!"
"NA JAEMIN, KE SINI KAMU!!"
Suara teriakan menggema di ruang tamu rumah Jaemin. Entah kenapa Joo Eun sudah pulang padahal baru jam 5 sore. Jaemin yang tengah mengerjakan PR di kamarnya yang berada di lantai dua bergegas turun setelah mendengar teriakan ibunya.
"Ada apa, bu?" tanyanya takut-takut.
"Uang yang ibu kasih buat bayar praktek kamu kemanain? KAMU KEMANAIN?" tanya Joo Eun menggebu-gebu.
Jaemin tidak menjawab, ia terlalu takut dengan kemarahan ibunya. Jika beberapa malam yang lalu kemarahan Joo Eun masih di level 5 maka saat ini ada di level 7, begitu menurut pandangan Jaemin.
"Kenapa gak jawab? Kamu pake uangnya, iya? Di pake apa? Jajan? Foya-foya sama temen-temen kamu, gitu?" Joo Eun memelankan suaranya, tapi menurut Jaemin ini terasa lebih mengerikan.
"Nana ga kayak gitu, bu!" jawab Jaemin pelan, matanya sudah mulai berkaca-kaca.
"TERUS KAMU KEMANAIN, NA JAEMIN ANAK SIALAN?"
Deg...
Air mata Jaemin sudah tak terbendung lagi, selalu sesakit ini saat Joo Eun, ibu yang begitu dicintainya mengumpati Jaemin dengan sangat kasar.
"Uangnya.. hiks... hi-hilang, bu... hiks... Maafin N-nana... hiks...!" Jaemin tidak mengatakan uangnya diambil Jeno, ia tidak ingin menyeret nama orang lain ke dalam masalahnya dengan Joo Eun.
"Hilang kamu bilang? Kenapa bisa? Ceroboh banget sih kamu!" Joo Eun mengusap wajahnya kasar.
"Kenapa ga bilang dari awal? Kamu itu bikin malu sampe-sampe guru kamu nelpon ibu. Tinggal kamu sendiri yang belum bayar, Na Jaemin! Bisa gak kamu itu jangan nambah-nambah beban ibu, jangan nyusahin ibu!" Joo Eun menatap Jaemin penuh kejengkelan, "ibu gak minta macem-macem, ibu gak minta kamu kerja nyari uang! Ibu cuma berharap kamu gak terlalu nyusahin ibu, jangan banyak tingkah, BISA GAK?"
Jaemin bingung dengan kata-kata sang ibu, harus bagaimana lagi ia menyikapinya, selama ini mana pernah Jaemin bertingkah, mengeluh saja tidak pernah.
Jaemin lagi-lagi hanya diam menunduk seraya menangis. Dan itu membuat Joo Eun makin jengkel, ia mencengkram kedua pundak Jaemin dengan kencang.
"IBU TANYA BISA GAK? ANAK SIALAN! LEMAH! SAMPAH! BISANYA CUMA NYUSAHIN ORANG TUA! DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!" Jaemin yang dibentak-bentak seraya diguncangkan kedua pundaknya semakin menangis histeris. "Arghhh... SIALAN!!!" Jerit Joo Eun seraya melepaskan cengkramannya pada sang anak.
Melihat Jaemin yg menangis keras sambil jongkok dan menutupi kepala dengan kedua tangannya membuat emosi Joo Eun semakin meledak-ledak. Wanita itu berjalan cepat ke arah meja ruang tamu untuk mengambil pot bunga hias berbahan kaca lalu melemparkannya ke depan Jaemin.
Prang....
"Anak sialan! Seandainya kamu gak bunuh Jae Hwa pasti keadaanku ga akan sekacau sekarang!" setelah berkata sinis Joo Eun pergi keluar meninggalkan rumah, mungkin ia akan kembali ke toko kuenya.
Jaemin masih menangis, rasanya luka batin yang ditorehkan sang ibu semakin menganga. Tidak terobati, karna memang tidak ada yang memberinya obat.
*****
Masih dalam kondisi sesegukan, Jaemin merebahkan tubuhnya di ranjang. Kekacauan di bawah sudah ia bereskan, tapi kekacauan di hatinya tak pernah beres, mungkin Jaemin butuh bantuan orang lain untuk membereskannya.
Sekarang sudah hampir jam 7 malam. Jaemin benar-benar merasa kesepian, tidak punya tempat untuk bersandar. Ia punya Haechan yang tau semua tentangnya juga peduli padanya, tapi Jaemin merasa kurang.
Tiba-tiba dalam diamnya bayangan wajah sang ayah terlintas di fikiran Jaemin. Ia mengambil ponsel lalu mencari-cari kontak ayahnya.
Ayah 👨
| Ayah...
| Lagi sibuk ga? Nana kangen.Beberapa menit Jaemin menunggu balasan tapi tak kunjung ada, akhirnya ia meletakan poselnya di dada.
"Sekarang ayah ga pernah lagi hubungin Nana duluan, padahal Nana berharap banget sapaan dari ayah walaupun cuma sekedar text singkat." gumam Jaemin sendu. Air mata yang sudah berhenti kini kembali mengalir, jatuh dari sudut mata Jaemin. Biasanya ia kuat, tapi saat ini perasaannya tengah sensitif.
Tepat di jam 10 malam Jaemin mendengar bunyi notifikasi pesan dari ponselnya. Beruntung ia belum tidur, masih setia menatap langit-langit kamarnya dengan segala hal berkecamuk dalam fikirannya.
Ayah 👨
|Iya, Na.
|Ayah juga kangen, tapi akhir-akhir ini ayah sibuk banget ngurusin proyek pembangunan mall di kota B. Maaf ya ayah belum bisa nemuin kamu. Do'ain ayah biar semuanya lancar, nanti kita pergi liburan kalo kerjaan ayah udah selesai.Ayah 👨
|Iya gapapa, Nana ngerti kok.
|Nana pasti do'ain ayah. Nana juga berdo'a semoga ayah selalu diberi kesehatan.
|Nana sayang ayah.Jaemin tersenyum miris setelah membaca deretan pesan balasan dari ayahnya, Na Kyung So. Ia bangkit lalu meletakan ponselnya di nakas samping ranjang, tidak mengharap balasan lagi.
Bukan sekali dua kali tuan Na menjanjikan liburan pada Jaemin, sudah sangat sering tapi pada akhirnya Jaemin tidak pernah ikut. Bukan Jaemin menolak, tapi ibu sambungnya selalu menemukan cara agar Jaemin tidak ikut karna takut Jaemin hanya akan merusak kebahagiaan mereka.
Orang tua Jaemin berpisah saat Jaemin duduk di kelas 6 sekolah dasar. Bisa dibilang kehancuran keluarganya bermula dari Jaemin. Karna itu Joo Eun selalu menyalahkan Jaemin.
Sepuluh tahun lalu, saat usia Jaemin baru tujuh tahun ia bermain di taman komplek bersama sang adik Jaehwa yg saat itu berumur lima tahun. Jaemin yang telalu asyik dengan sepeda barunya melupakan keberadaan Jaehwa, ia meninggalkan adik kecilnya di taman untuk bersepeda mengelilingi jalanan komplek. Tidak ada yang melihat ketika tangan mungil Jaehwa berusaha menggapai ikan hias yang berenang indah di kolam kecil di taman tersebut, kejadian yang tidak diinginkanpun terjadi.
Setelah lebih dari dua jam bermain sepeda, Jaemin kembali ke rumah. Saat itu sudah hampir petang, Joo Eun yang tidak melihat anak perempuannya pulang bersama Jaemin lalu mananyakan keberadaan Jaehwa. Jaemin dengan polosnya berkata bahwa ia meninggalkan Jaehwa di taman, jaemin juga bilang selama bermain sepeda mengelilingi komplek ia melupakan sang adik. Dengan panik Joo Eun berlari menyusul Jaehwa ke taman yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah. Naas, dengan mata kepalanya sendiri Joo Eun menyaksikan Jaehwa yang sudah mengambang tanpa nyawa di kolam ikan, begitupun dengan Jaemin yang saat itu malah mengira adiknya sedang berenang.
Sejak saat itu sikap Joo Eun pada Jaemin berubah total, tidak ada lagi kelembutan, perhatian, dan kasih sayang seperti sebelumnya. Joo Eun mengacuhkan Jaemin, ketika Jaemin nakal Joo Eun tidak segan memukul Jaemin dan memaki-maki Jaemin dengan segala umpatan yang sebenarnya tidak pantas di dengar anak seumuran Jaemin.
Sejak saat itu juga Joo Eun selalu menanamkan dalam kepala Jaemin bahwa ia telah membunuh adiknya, ia anak pembawa sial. Semakin lama Joo eun semakin acuh dan kasar pada Jaemin sampai akhirnya seseorang merasa jengah, ia Na Kyung So, ayah Jaemin. Dari awal kejadian pahit itu, tuan Na lebih bisa mengikhlaskan semuanya, ia juga memaklumi kecerobohan Jaemin yang mungkin belum terlalu mengerti arti bahaya. Sejak sang istri memusuhi anak kandungnya sendiri, Tuan Na lah yang mengurus Jaemin. Tapi lama kelamaan ia muak lalu menyerah dengan tingkah Joo Eun.
Setelah Tuan Na memutuskan berpisan dari Joo Eun ia membawa Jaemin tinggal bersamanya, pindah ke kota sebelah. Saat itu Jaemin baru lulus sekolah dasar kemudian ia didaftarkan ke JHS swasta. Sayang seribu sayang, di awal semester kedua Jaemin kembali tertimpa hal pahit. Untuk kedua kalinya Jaemin kembali dituduh membunuh, saat itu bukan lagi oleh ibunya melainkan oleh satu sekolah.
#####
Tbc...
Maaf kalo banyak typo..
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay [Nomin] ✔
FanfictionBook-01 (completed) "Jaemin adalah alasan kematian seseorang" "Jaemin adalah kesialan" Sebenarnya bukan begitu... Jaemin tidak salah, hanya saja Jaemin tidak bisa melawan takdir! ##### Cerita ini perlu direvisi, tapi author belum sempet. Karna ini...