Be mine chapter dua| rasa ini asing bagiku
Bel pulang berdering nyaring. Membubarkan aktivitas di dalam kelas. Semua siswa berdesak-desakan keluar. Kecuali Kevin dan kawan-kawannya. Mereka lebih memilih menunggu.
Setelah sepi, mereka keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju parkiran. Kevin langsung pulang setibanya di parkiran motor. "Gue pulang dulu, bro." pamit Kevin
"Hati-hati, Vin." Ujar salah seorang temannya. Kevin mengangguk mengiyakan lantas berlalu meninggalkan teman-temannya. Dia menghentikan laju ketika ekor matanya tak sengaja menatap seseorang yang dia kenal tengah berdiri di samping gerbang.
"Belum di jemput, neng?" tanya Kevin dengan nada suara yang dia buat-buat. Cewek itupun menoleh.
"Aish ... lo lagi, lo lagi." Dia memutar bola matanya jengah.
"Duluan, ya, neng." Kevin terkekeh sembari melajukan motornya.
"Dasar, bocah laknat." Maki cewek yang tak lain adalah Rara. Dia menatap kesal punggung Kevin sampai hilang dari pandangan.
Dua puluh menit sudah Rara menunggu. Namun, jemputannya tak kunjung datang. "Mana sih, jemputannya." Gerutu Rara kesal. Kedua kakinya mulai pegal akibat terlalu lama berdiri.
Sekolah juga mulai sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang menunggu angkutan umum, serta guru-guru yang masih tinggal di sekolah.
"Huft ... capek." Keluh Rara.
Cukup lama dia berdiri disitu, dan akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga.
"Akhirnya ...." Desah Rara lega.
"Maaf, neng saya telat. Soalnya kejebak macet." Ucap pak sopir mrminta maaf.
"Iya, pak, nggak papa. Ayo pulang, pak." Kata Rara sopan. Diapun segera masuk, mengisi jok belakang.
***
Rara melangkah menuju kamar, setibanya di rumah. hari ini, hari yang cukup melelahkan baginya. Dia merebahkan tubuhnya di atas Kasur sembari memandang langit-langit kamar yang di dominasi warna putih.
Jantungnya berdebar-debar tak karuan ketika otaknya memutar kejadian di kantin sekolah bersama Kevin.
Perasaan aneh itu muncul tiba-tiba. Meningatkan dia dengan kejadian lama. Kejadian yang masih bersemayam dalam hatinya sampai saat ini.
Tak terasa, air matanya luruh membasahi pipinya. "Ih, kok gue nangis sih ...." Gumamnya sembari mengusap air matanya.
Diapun memutuskan untuk tidur. Mengistirahatkan fikiran serta badannya yang lelah.
***
"Rara ... bangun." Ifa mengetuk pintu kamar putri semata wayangnya.
"Apaan sih, ini kan hari libur." Protes Rara karena tidurnya terganggu. Diapun membenahi selimutnya dan tidur kembali.
Merasa tidak ada sahutan dari Rara, Ifa pun masuk dalam kamar putrinya.
Dia geleng-geleng kepala melihat putrinya masih tidur di jam segini. "Rara bangun! Ini udah jam 7 loh. Anak perempuan nggak baik bangun siang." Seru Ifa sambil mengguncang-ngguncang tubuh Rara pelan.
"Iya, Ma ... iya," ucap Rara malas.
"Ayo bantu mama masak." Tukas Ifa berlalu meninggalkan kamar putri semata wayangnya.
Rara berjalan malas ke kamar mandi, untuk sekedar cuci muka dan sikat gigi.
"Pagi, mama ...." Sapa Rara dengan seulas senyum di bibir.
"Pagi sayang." Sahut Ifa tanpa menoleh. Kedua tangannya dengan cekatan memotong-motong bumbu pokok. "Kamu sini, bantu mama." Panggilnya pada Rara, seraya mengangsurkan beberapa sayuran.
Rara mendekat, menerima uluran dari mamanya. "Ini, dipotong-potong, ya."
"Siap komandan!" seru Rara sukses membuat Ifa tersenyum hanya dengan tingkah lakunya. Membuatnya enggan untuk melepas putrinya yang telah dewasa itu.
"Mama, ini sayurannya udah di potong." Lapor Rara sembari memberikan sayuran -yang telah dia potong—kepada Ifa.
"Makasih, sayang," ucap Ifa seraya menerima sayuran itu.
Sarapan telah siap. Ifa dan Rara menikmati sarapannya dengan diselingi obrolan ringan.
"Habis ini ada acara nggak?" tanya Ifa setelah menyelesaikan sarapan mereka.
Rara terdiam sejenak. Mengingat apa yang akan dikerjakannya setelah ini.
"Kayaknya enggak, Ma," jawab Rara.
Ia tersenyum. "Temenin mama keluar, boleh?"
Rara mengangguk mengiyakan. Membuat lengkungan tipis tercetak di bibir Ifa.
Setelah membereskan sisa sarapan mereka, Rara bergegas ke kamarnya untuk siap-siap pergi dengan sang mama. Memoles wajahnya dengan sedikit make up. Setelah selesai, diapun segera turun menemui mamanya, yang telah siap di halaman rumah.
Kurang lebih 30 menit mereka mengendarai mobil, dan akhirnya sampai pada tujuan. Ifa memarkirkan mobilnya, lantas keluar. Diikuti Rara di belakangnya. Mereka memasuki bangunan berlantai dua itu, yang tak lain adalah butik langganan Ifa. Dengan lihainya dia memilih-milih gaun yang pas untuk anaknya.
Sedangkan putrinya hanya menunggu di sofa yang disediakan sambil memainkan ponselnya, untuk membunuh rasa bosannya.
"Kamu pilih yang mana, Ra?" tanya Ifa dengan membawa dua dress yang menurutnya cocok untuk putrinya.
Rara mengernyit menatap Ifa. Untuk apa mamanya membelikan dress untuknya? "Buat apa, ma? Kan, Ra masih banyak baju."
"Udah, kamu pilih yang mana?" kekeuh Ifa pada putrinya.
Mendengar itu, Rara hanya bisa menghela nafas pasrah. Netranya menatap dua dress yang disodorkan padanya. Lantas mengambil keduanya untuk dia coba. Biarkan mamanya yang menilai penampilannya. Dia tak ingin ambil pusing.
Rara melangkah menuju ruang ganti. Mencoba dress yang dia ambil dari Ifa. Lima menit kemudian, Rara keluar dengan balutan dress Sabrina yang cocok pada tubuhnya yang mungil. Warnanya mocca yang pas dengan kulit Rara yang putih.
Ifa menatap Rara takjub. Tingkat kecantikannya bertambah dua kali lipat.
"Coba yang satu lagi." Ujar Ifa tampak menilai penampilan Rara.
Rarapun mengangguk, dan segera mengganti dressnya dengan pilihan yang ke dua.
Tak berselang lama, Rara keluar dari ruang ganti dengan baju yang berbeda. Kali ini dengan warna navy yang kontras dengan kulit putihnya. Ifa tampak menimang-nimang menatap baju yang Rara kenakan.
"Bagus nya yang tadi deh, Ra." Kata Ifa. Rara mengangguk paham, lantas kembali ke ruang ganti.
Dia keluar dengan membawa dua baju yang dipakainya tadi. Dia memberikan dress yang berwarna mocca pada Ifa.
"Yang ini, ya?" Rara mengangguk patuh.
Ifa pun melangkah menuju kasir, dan membayar baju itu. "Nanti dipakai, ya," kata Ifa setelah mereka keluar dari butik. Rara mengangguk paham.
Merekapun masuk mobil dan segera meninggalkan halaman butik itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Mine
Teen FictionZahra cahya aulia. Gadis cantik yang masih berusia tujuh belas tahun itu terpaksa harus menikah diusianya yang masih sangat muda. Karena tak ingin membuat sang orang tua kecewa, diapun menyetujui perjodohan nya dengan pria pilihan mamanya yang tak l...