pilihan

3 0 0
                                    

Be mine chapter empat | pilihan

Minggu sore, Rara dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang sampai saat ini dia tunggu kepulangannya. Dan dia sekarang berada disini. dihadapannya, dengan nyata.
“Hai, apa kabar?” tanyanya pada Rara. mereka duduk di teras rumah. 
Rara menatapnya masih dengan ekspresi tak percaya. “B- baik, kok. Kamu gimana?” Rara bertanya gugup. 
Lawan bicaranya terkekeh melihat kegugupan Rara. membuat ketampanan cowok itu semakin bertambah. 
    “Baik juga. Kamu mau nggak jalan?” 
    “Sekarang?” tanya Rara memastikan. 
    “Iya. Mau nggak?” 
Rara mengangguk antusias, lantas izin masuk untuk mengganti pakaiannya. Meninggalkan cowok itu sendiri di teras rumah. tak lama kemudian, Rara keluar dengan outfit santainya. 
    “Yuk!” ajak Rara. 
Mereka berlalu memasuki mobil, lantas meninggalkan halaman rumah Rara. Tujuan mereka kali ini adalah taman yang sering mereka kunjungi ketika masih SMP. Sebelum perpisahan itu terjadi. 
    “Masih ingat tempat ini?” Tanya cowok itu. 
Rara tersenyum menanggapi. “Ingat dong, Sam.” 
    “Aku mau ngomong sama kamu.” Katanya lagi. Ketika mereka duduk di kursi taman. 
    “Ngomong aja.” 
Cowok bernama Samuel itu menarik nafas dalam, sebelum kembali berbicara. “Setelah sekian lama pisah sama kamu, aku merasakan kekosongan dalam hatiku. Aku masih mencintai kamu, Lia. Tidak ada yang mampu menggantikan posisimu di hatiku. Dan aku kembali untuk kamu Lia. Kamu mau balikan sama aku?” 
Rara menoleh kearah Samuel. Dia tak menyangka jika Samuel mengungkapkan isi hatinya kembali. 
    “Kamu serius?” tanya Rara memastikan. 
    “Ya, aku serius.” Jawab Samuel tanpa keraguan. 
Bukannya menjawab, Rara justru memeluk Samuel erat. Menyalurkan rasa rindunya pada cowok maskulin itu. Samuel membalas pelukan Rara tak kalah erat, menghirup aroma tubuh Rara yang sudah tak sama lagi ketika dia masih SMP. 
    “Jadi, gimana?” tanya Samuel setelah pelukan mereka terlepas. 
Dia menatap lekat wajah gadis pujaan hatinya penuh harap. Berharap jika Rara mau menerima ajakannya. 
    “Kasih gue waktu, ya. Ini terlalu tiba-tiba.” Rara tersenyum menatap Samuel. Berharap Samuel tidak kecewa dengan perkataannya. 
Samuel tersenyum lantas mengangguk. Tidak masalah jika harus memberi waktu pada calon kekasihnya. Keduanyapun memutuskan pergi dari taman. Waktu yang terus berjalan membuat mereka sadar, jika hari sudah mulai gelap. 
Keduanya berbincang-bincang ringan, mengenang masa lalu serta menceritakan hari dimana tanpa adanya kebersamaan keduanya. Tanpa ada rasa canggung sedikitpun. Meskipun keduanya sudah berstatus mantan. 
***
Malam semakin larut. Setelah pulang jalan-jalan dengan Samuel, Rara segera membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. 
Fikirannya masih melayang pada pernyataan Samuel. Dia bingung harus berkata apa. dihadapkan dengan pilihan yang menurutnya sulit. Antara memilih Samuel yang notabenenya mantan dengan calon jodoh yang dipilihkan oleh mamanya. 
Rara mengerang frustasi memikirkan itu semua. Fikirannya tidak menemukan jalan keluar untuk masalahnya kali ini. 
Suara dentingan notifikasi mampu mengalihkan pandangan Rara, yang semula menatap lagit-langit kamar, kini berali menatap layar ponselnya. Satu buah pesan dari Samuel masuk. Ya, sebelum Samuel pulang, mereka sempat bertukar nomor. 
Samuel defano
Hay Lia, udah tidur belum? 
Aku Cuma mau ngasih kabar, kalo besok aku harus berangkat ke Amerika lagi, buat ngurus sesuatu disana. Jadi jawaban kamu aku tunggu saat aku pulang kesini lagi. 
Love you Lia. 
Rara hanya membaca pesan itu, tanpa berniat membalasnya. Dia menghela nafas gusar. Baru aja ketemu udah ditinggal lagi. Batinnya. 
Tapi dia juga bersyukur, dengan kepergian Samuel membuatnya bisa berfikir lebih matang lagi untuk menerima pernyataan itu atau sebaliknya. 
Diapun memutuskan untuk tidur, daripada stress memikirkan jawaban yang … ah begitulah pokoknya. Sulit dijelaskan. 
***
Keesokan paginya, Rara berangkat seperti biasa. Dia bernafas lega ketika paginya kali ini tidak terganggu oleh kelakuan jahil Kevin. Selagi menunggu bel masuk berbunyi. Dia duduk santai di bangkunya sambil bermain ponsel. 
Tak lama Rere, teman sebangkunya datang. “Anteng banget buu… lagi nggak war sama Kevin lo?” tanyanya.
Rara melirik sekilas teman sebangkunya itu, lantas menghela nafas lelas. 
    “Demen banget ya, lo liat gue sama Kevin berantem!” semprot Rara. 
    “Bukan gitu, ah elah. Rasanya aneh aja liat hidup lo tenang tanpa tu curut.” 
Rara mendengus mendengarnya, tanpa berniat membalas perkataan Rere. Sibuk bermain ponselnya, yang menampilkan room chat bersama Samuel. 
    “Chatingan sama siapa lo? Asik amat.” Tanya Rere kepo. 
Pasalnya dia sampai di kacangin hanya karena saling berbalas pesan dari seseorang.
    “Kepo banget, dah!” 
Rere merengut mendengarnya. Dengan kurang ajarnya dia merebut ponsel itu dari genggaman Rara. membuat sang empu menatap tajam kearahnya. 
    “Nggak sopan lo, ya! Balikin ponsel gue!”
Rara hendak meraih ponselnya dari tangan Rere. 
    “Pelit banget jadi bocah. Liat bentar napa.” Ujar Rere sambil melihat layar yang menampilkan room chat sang pemilik dengan cowok yang bernama Samuel. 
    “Ini, mantan lo, kan?” tanya Rere memastikan. Melirik Rara yang sekarang sudah menekukkan wajahnya. “Ra,” 
    “Kepo banget sih!” 
Rara merebut ponselnya kembali, enggan menjawab pertanyaan sahabatnya itu. 
    “Heh, jawab gue dodol! Itu tadi beneran Sam, mantan lo? Kok bisa? Lo ketemu sama dia? Kapan? Balikan?”
Rara pusing mendengar pertanyaan berantai Rere. Sebenarnya dia tidak berniat menjawab apapun, atau lebih tepatnya belum siap. Tapi jika dia tidak segera menjawab, teman sebangkunya itu akan terus memberondonginya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama.
    “Satu-satu napa!” protes Rara. “Ya, itu Samuel, mantan gue. Kita ketemu kemaren. Dia ngajakin gue jalan, dan asal lo tau, dia nembak gue lagi dong! Ngajakin balikan.” 
    “Gila! Demi apa lo? Terus, gimana? Lo terima?” 
Rara menggeleng menanggapi, “gue belum jawab, butuh waktu.” 
    “Ngapain kasih waktu. Gas aja kali! Gapapa balikan.” Seru Rere meyakinkan. 
Nggak ada salahnya, kan, balikan sama mantan. Untungnya juga nggak perlu perkenalan lagi. Nggak perlu PDKT yang membuang-buang waktu dan tenaga. 
    “Nggak semudah itu bambank! Kalo gue ditinggal lagi gimana coba? Kasihan hati gue.” Elak Rara. 
Dia masih butuh waktu memikirkan matang-matang keputusannya. Tak mau mengambil risiko dari perbuatannya. 
***
Waktu terasa begitu cepat. Sesampainya di rumah, dia berniat mengistirahatkan badannya, namun, rencananya harus gagal karena Ifa memanggilnya untuk membantu masak untuk makan malam nanti. 
Hal itu berhasil membuat Rara mengernyit bingung. Masakan yang dibuat mamanya lebih banyak dari porsi biasanya. Bisa untuk 7-8 orang lah kira-kira. 
    “Kok banyak banget masaknya, ma?” tanya Rara heran. 
Ifa tersenyum menanggapi, tak menjawab pertanyaan putrinya. Biarlah dia tau sendiri nanti. 
    “Kamu nggak ada acara, kan?” Ifa menoleh menatap Rara. mengalihkan topik pembicaraan. 
Rara menggeleng sebagai jawaban, lalu kembali melakukan aktivitas yang sempat terhenti. 
    “Bagus deh, jangan keluar ya.” 
Rara mengernyit, “kenapa, ma?” 
    “Nanti kamu juga tahu sendiri.” Ifa tersenyum misterius. 
Tak terasa malam telah tiba. Ifa dan Hendra telah bersiap diri di ruang tamu. Menunggu seseorang yang akan datang. Sedangkan Rara masih di kamar dengan setelan rumahannya. 
Tak berselang lama, seseorang yang dinanti Ifa datang. Lengkap bersama putranya. Seseorang yang akan dijodohkan dengan Rara. 
    “Assalamu’alaikum,”
    “Eh, wa’alaikum salam, calon besan.” Ifa menyambut tamunya ramah. 
Mereka dipersilakan masuk. ifa melangkah ke dapur, mengambil beberapa cemilan yang sudah di persiapkan di meja makan. Lantas membawanya ke ruang tamu. Mereka berbincang-bincang ringan tentang bisnis dan masa muda mereka. 
    “Eh, Rara mana, Fa? Kok nggak kelihatan.” Tanya Adelia menyadari keberadaan Rara yang tak berada di sisi mereka. 
    “Eh, lupa aku. Masih di kamar. Bentar aku panggilakn.” Ujar Ifa seraya beranjak menghampiri kamar Rara. 
    “Ra, ayo turun sayang, ada tante Adelia. Nyariin kamu tuh.” 
Kata Ifa yang telah berada di depan kamar putri semata wayangnya. 
    “Ha? Apaan?” Rara melongokkan kepalanya di sela pintu. Menatap sang mama heran.
    “Ngapain cari Ra?”
    “Ntahlah, kangen mungkin sama calon mantunya.” Sahut Ifa menggoda. 
Pipi Rara menghangat mendengar godaan mamanya. Dia yakin kalau pipinya sekarang memerah seperti tomat. 
    “Apaan sih, ma.” Elak Rara mencoba menyembunyikan rasa malunya. 
Ifa terkekeh pelan. “Udah ah, cepetan turun! Sekalian makan malam bareng.” 
Ifa melangkah menjauh dari kamar Rara setelah mengucapkan kalimatnya. 
Rara mengangguk, lantas bersiap menemui tante Adelia dan yang lainnya di bawah. 

    “Nah, muncul juga calon mantuku.” Celtuk Adelia ketika netranya menangkap sosok yang beberapa saat lalu dia cari. 
Ucapan yang dilontarkan Adelia sukses menciptakan semburat merah di kedua pipi Rara. sekuat tenaga di menyembunyikan hal itu, dan bersikap sesopan mungkin di hadapan mereka. 
    “Malam, tante, om.” Sapa Rara sopan sambil mencium punggung tangan keduanya. 
    “Calon suaminya nggak di sapa?” tanya Adelia berniat menggoda. 
Rara tersenyum canggung menanggapinya, lantas duduk di samping mamanya. Dia melirik calon imamnya, yang juga menatap kearah Rara. tatapan mereka bertemu. Rara melempar tatapan tajam pada sosok itu. mengibarkan bendera peperangan padanya. 
    “Duduknya jangan jauhan gitu dong. Sini Ra, sekalian pendekatan.” Titah Adelia. 
Rara tak bisa menolaknya, dengan sangat terpaksa dia menuruti perintah calon mertuanya untuk duduk disamping cowok itu. 
    “Nah, kita tinggal dulu, ya. Kalian ngobrol-ngobrol aja dulu biar deket.” Seru Ifa sambil mengajak suami serta calon besannya untuk berpindah di ruang keluarga.
Kedua remaja itu hanya diam. Sibuk dengan fikirannya masing-masing. Meciptakan suasana hening di ruangan itu. 
    “Kenapa lo terima perjodohan ini?” tanya Rara membuka percakapan. 
Lawan bicaranya hanya menghedikkan bahu, tak peduli. Dia justru meraih ponselnya dari saku dan memainkannya. 
    “Budeg ya, lo?” Rara terlihat kesal karena pertanyaannya tak dijawab oleh cowok itu. 
    “Perlu gue jawab? Lalu, kenapa lo juga nerima perjodohan ini?” bukannya menjawab, cowok itu malah melontarkan pertanyaan kepada Rara. 
    “Ngeselin lo emang nggak tau tempat, ya. Nggak di sekolah, nggak disini. lo buat darah gue naik. Apa jadinya kalo udah berumah tangga sama elo, bisa-bisa mati muda gue, Vin.” Ujar Rara frustasi. 
Tak habis fikir jika dia akan menikah dengan orang yang paling dia benci. 
    “Jangan dong! Gue nggak mau jadi duda diusia segini. Jadi, betah-betahin ya. Jangan mati dulu, tunggu gue cari penggantinya.” Serunya mengalihkan sejenak pandangannya dari ponsel. Menatap manik mata Rara yang indah. 
    “Lo mau duain gue, hah? Bisa-bisanya lo!” protes Rara tak terima. 
Bisa-bisanya Kevin berniat mencari yang lain setelah mereka menikah. Nggak! Rara nggak terima itu. walaupun dia membenci cowok itu, tetapi dia juga nggak mau di madu. 
Kevin tekekeh geli mendengarnya. Entah, melihat Rara dengan ekspresi kesalnya berhasil membuatnya tertawa dan senang di waktu yang bersamaan. 
    “Marah-marah mulu lo. Tau nggak, marah lo tu kayak hiburan tersendiri bagi gue.” Kata Kevin disela-sela tawanya. 
    “Jadi, lo suka kalo gue naik darah? Emang laknat lo ya! Bisa-bisanya gue dijodohin sama bocah kaya lo.” Gerutu Rara lagi. 
Tak lama Ifa menghampiri dua remaja tersebut. Meninterupsi perdebatan kecil diantara mereka. 
    “Makan dulu, yuk.” Ajak Ifa yang diangguki oleh mereka. 
Merekapun beranjak dari sofa dan berjalan mengikuti Ifa dari belakang. Dua keluarga itu menikmati makan malamnya disertai perbincangan ringan. Selesainya makan malam, Rara membantu Ifa dan Adelia membersihkan sisa-sia makan malam mereka. 
    “Papa mau tanya sama kalian berdua. Kalian bener nerima perjodohan ini?” tanya Hendra kepada kedua remaja itu. 
Rara dan Kevin mengangguk lemah. Mau tak mau menerimanya. Karena mereka tak ingin membuat orang tuanya kecewa. 
Senyum bahagia terpancar dari wajah semuanya, melihat anggukan dari Rara dan Kevin. 
    “Jadi, nikahnya enaknya kapan nih?” 
    “Gimana kalau minggu depan?” usul Vian berhasil membuat kedua remaja itu melebarkan kelopak matanya. 
    “Nggak. Terlalu cepet, pah.” Tolak Kevin tegas. “Lagian kita juga masih sekolah.” 
    “Lebih cepat lebih baik, sayang.” Sahut Adelia lembut. 
Kevin menggeleng sekali lagi. Menolak usulan orang tuanya. 
    “Kita butuh pendekatan juga, kan. Kasih waktu lah buat itu.” ujar Kevin akhirnya. 
    “Oke … gimana kalau nikahnya saat liburan semester?” usul Ifa yang diangguki oleh semua anggota disana. 
Malam itu berakhir disertai dengan keputusan final dari kedua keluarga. Tinggal mempersiapkan pernikahan yang diadakan 3 bulan lagi. 

Be Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang