17. Pamit

323 40 15
                                    

Yutama mengenggam tangan Windi begitu erat. Sedangkan si empu yang di genggam melenguh karena merasa ada seseorang di sampingnya, windi membuka kelopak matanya sedikit untuk melihat siapa yang berada di sampingnya.

"Kak yuta?" Panggil nya dengan nada kecil.

Yutama mendongakkan matanya, menghapus air matanya yang sudah merebes keluar saat berdoa sedari tadi.

"Windi?!" Kaget Yutama, segera ia memencet tombol di samping bangkar Windi, berharap salah satu dokter memeriksa keadaan windi yang tak sadarkan diri sedari 2 hari yang lalu.

Tiba dokter yang baru saja masuk ke ruangan Windi, bersama juga datangnya kedua orang tua Windi dengan tergesa-gesa.

"Jangan panik ya, saya periksa windi dulu." Ucap Dokter meyakinkan Yuta.

Yutama menelan salivanya susah, "ma, pa. Windi.. windi bangun setelah yutama panjatkan doa untuk windi." Ucap nya terbata-bata hingga tangannya bergetar.

"Iya nak, windi bangun." Ujar Laytaka lirih.

Setelah mengecek keadaan Windi, dokter menjelaskan detak jantung Windi nampak melemah. Windi perlu penangganan yang lebih lagi, jikalau perlu secepatnya untuk dilakukan operasi.

"Belum ada pendonor sampai sekarang," ujar Laytaka melirih.

"Ma, pasti ada jalan. Tuhan ga pernah tidur ma, kita harus berdoa." Yutama mengelak, ia meyakinkan Laytaka lagi.

"Mama benar yuta, belum ada yang ingin mendonor jantung untuk windi. Jika pun ada, pasti akan di batalkan. Ini memang kehendak Tuhan," Harto mulai meluruskan ucapan Laytaka disaat Yutama mendesak.

Yutama mengerutkan dahi nya, "jadi kalian menyerah gitu aja untuk kesehatan windi?!" Tanya Yutama tak terima.

"Ikhlasin windi ya, nak. Dia kembali lagi kesini hanya ingin berpamitan sama kamu." Laytaka mulai menanggis di pelukan sang suami, tergores rasa sakit di hatinya. Tapi apa boleh buat, ia mengetahui umur sang anak sudah tak lama lagi.

"Ma, ga mungkin kan secepet ini?" Yutama berdecih sesaat, menatap tubuh Windi yang tertidur di atas bangkar.

Harto mengangguk membenarkan ucapan dari Yutama membuat anak laki-laki itu meringis kecil. "Benar nak, ikhlasin windi." Ucap Harto.

Yutama mendonggakkan kepalanya agar tidak menitikkan air mata. Bagaimana bisa ada orang yang yakin jika kematian orang lain bisa di lihat?

.
.
.

Dini hari yutama kembali kerumah, membersihkan dirinya kemudian termenung menatap langit-langit kamarnya.

"Yut, baru dateng kamu?" Tanya bunda Than membuka pintu kamar yuta lebar-lebar. "Gimana kabar windi?" Yutama menghela napas nya kasar saat sang bunda bertanya hal itu.

"Yuta pasrah jika ketika dia menutup mata selamanya, tapi jika memang jalannya yuta ga bisa berbuat apa."

Bunda than menunduk kecil mendengar ucapan anak semata wayangnya, "Windi mau yang terbaik untuk kamu, maka dari itu dia mau kamu ikhlas."

"Tapi yuta ga bisa bun, yuta sayang windi. Yuta ga mau windi ninggalin yuta!" Ia menangis, meringkuk tubuhnya sembari mengeluarkan air mata.

"Apa bedanya kamu sama orang serakah? Mau ngelihat windi sakit selamanya di dunia ini? Biarkan windi pergi agar dia bahagia, yuta." Bunda Than mengurut punggung yuta lembut, menyalurkan energi agar yutama menjadi pria kuat.

"Bun, Yuta ga mau lihat Windi sengsara. Tapi kalau dia pergi, malah yuta yang bakalan sengsara!" Tandas anak laki-laki tersebut.

"Ayo berjuang untuk kebahagiaan windi, windi butuh semangat kamu." Setelah bunda Than berujar, wanita tersebut pergi dari kamar yutama. Terdengar samar-samar isak tangis yutama yang belum siap dari pendengaran bunda Than.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HABROMANIA || Yuwin [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang