Masalalu

9 2 0
                                    

Masalalu itu adalah kenangan, bukan harapan. Apa yang kamu harapkan dari masalalu?. Seharusnya kita belajar dari masalalu, bahwa yang pergi belum tentu bisa kembali.

Susan dan kawan-kawan keluar dari kelas melewati koridor yang mulai sepi. Disana terdapat sosok Alvin yang tengah menatap Nina lekat-lekat dari kejauhan. Alvin di temani Reno yang tengah sibuk memainkan ponselnya.

Dia belum sadar bahwa disekitarnya ada Susan juga yang tengah memerhatikan Alvin.

Ada rasa sesak yang menggores di hati Susan, tapi dia mencoba untuk tidak berpikir yang tidak-tidak.

"Kita duluan ya," ujar Ana pamit untuk pulang.

"Gue ikut," Susan memegang tangan Airin untuk menghentikan langkah mereka.

"Kan lo sama Alvin."

"Gue tunggu di parkiran saja." Susan tidak mau mengganggu Alvin yang tengah sibuk dengan pandangannya pada masalalunya.

Alvin pun melirik jam yang ada di tangan kanannya.

"Susan keluar belum?," tanya Alvin pada Reno yang masih sibuk dengan memainkan ponsel.

"Gak tahu." ucapnya sambil mengangkat kedua bahu. "Eh itu bukannya Susan?."

Alvin pun menyusul Susan yang diikuti oleh Reno.

"Ayo." Alvin menyuruh Susan untuk naik ke motornya.

Dalam perjalanan, tidak satupun dari mereka mengeluarkan kata. Dan Alvin yang mulai bosan dengan keheningannya, memilih untuk mengawali pembicaraan.

"Kenapa," Hanya kata itu yang keluar dari mulut Alvin.

"Apanya yang kenapa?."

"Iya kenapa diam, gak seperti biasanya."

"Gak papa, cuman sedikit lelah saja."

Mereka pun kembali membisu dalam beberapa menit, namun dalam hati Susan ingin sekali bertanya tentang masalalunya, tapi apa ini waktu yang tepat untuk bertanya.

"Eumm ... Vin?,"

"Hemm??,"

"Nina jadi pindah ke sekolah kita,?" tanyanya dengan ragu.

"Iya." sambil menganggukan kepala. "Kenapa emang?."

"Gak apa apa."

"Gak boleh dia pindah ke sekolah kita?." tanya Alvin dengan nada sinis.

"Kok kamu ngomongnya kek gitu."

"Terus ngapain tanya-tanya kalo bukan cemburu. Dia pindah kesini untuk sekolah bukan untuk balikan sama aku." ucapnya sedikit nge-gas.

"Emang siapa yang bilang balikan sama kamu?, aku cuman nanya gak ada maksud lain. ko kamu ngomongnya ngegas sih."

"Kamu gak suka kan dia pindah kesini?."

"Emang ada yang salah dengan pertanyaan aku? Emang salah kalo aku pengen tahu?." ucapnya dengan pelan.

"Kan kamu sudah lihat sendiri dia sudah sekolah disini, ngapain nanya lagi kalo gak ada maksud lain."

Susan hanya diam, tidak mau melanjutkan perdebatannya, tak terasa air matanya berlinang, ia langsung mengusapnya dengan tangan karena tidak mau Alvin melihatnya menangis.

Jujur saja Susan tidak suka di bentak, dia selalu merasa rapuh ketika ada yang membentaknya, apalagi orang yang dia sayang. Dia memang gadis yang cengeng, tapi dia tidak pernah menunjukannya pada Alvin, Karena dia tidak suka dikasihani.

Susan hanya ingin mendapatkan ketulusan dari orang yang bisa memahaminya, tanpa ada belas kasihan dari orang yang dia cintai.

Apalagi jika dicintai karena adanya belas kasihan, Susan tidak mau hal itu terjadi padanya, ia benar-benar mengharapkan ketulusan dari sosok Alvin yang sangat dia cintai.

Begitu masuk kamar, deraian air matanya semakin deras, dia sudah tidak tahan lagi menahan bendungan air matanya yang semakin memanas.

Ingatannya terus menerus kembali pada saat dia di bentak oleh Alvin, padahal apa salahnya seorang kekasih bertanya tentang hal yang berkaitan dengan masalalunya, kurasa itu adalah hal yang wajar.

Dert ... Dert ... Panggilan masuk dari teman yang dulunya satu smp dengan Susan. Dia bersekolah di sekolah yang sama dengan Susan, hanya saja berbeda jurusan.

Susan mencoba menstabilkan suaranya dan mengangkat panggilan tersebut.

Sebelumnya dia mendapatkan sebuah pesan dari Yura teman yang tadi menelponnya, tapi Susan malah menyuruhnya untuk datang ke rumahnya.

"Gue ada di depan rumah lo."

"Masuk saja, gue ada di kamar, lo ke atas saja."

Dengan begitu Susan segera bergegas untuk mencuci mukanya, agar tidak kelihatan dia sudah menangis.

"Apa yang dia katakan?." Tanya Susan tanpa basa basi.

"Dia bilang, lo kenapa kok kelihatannya tidak senang dia sekolah disini. Tatapan lo juga tajam saat lo menatapnya."

"Tajam gimana maksudnya, perasaan gue selalu tersenyum saat tidak sengaja bertemu dengannya," tanya Susan heran.

"Ya gak tau, gue cuman di suruh nanyain doang ke elo." jelas Yura.
"Dia juga ngomong kek gini, bilangin sama Susan jangan takut gue ngerebut Alvin lagi, gue sudah gak punya perasaan apa-apa sama dia, dia juga sudah bukan tipe gue lagi."

Susan hanya mendengarkan tanpa berbicara.

"Terus pas tadi pulang sekolah dia ngirim gue pesan, Bilangin sama Susan jangan benci sama gue dan gak usah takut. Gue ngerhargain Susan dan gue juga  gak akan ngambil milik orang lain. Saran dari gue, mending deketin Allah saja jangan pacaran, Allah juga akan ngasih yang terbaik buat kita. ngapain juga ngerebutin si Alvin, toh dia gak ada apa-apanya." Yura membacakan semua pesan yang di kirim Nina ke kontaknya.

"Ra, bilangin juga sama Nina, gue gak pernah benci sama siapapun, apalagi benci sama dia, gue kan gak kenal sama dia."

"Bilangin juga, gue gak takut kalo Alvin balik lagi sama dia, kalo Alvin bisa bahagia sama dia, gue akan ikhlas, gue gak akan ngelarang dia balikan sama Alvin, dan satu lagi gue yakin Nina orang baik, jikapun dia punya hati, pasti dia tahu apa yang harus dia lakukan, dan dia juga pasti tahu caranya ngehargain orang." Yura pun langsung mengirim pesan ke Nina sesuai dengan yang Susan katakan.

"Dia balas gak?." tanya Susan yang tidak sabar menunggu balasan dari Nina.

"Belum nih. Tapi ini sudah sore, gue balik gak papa kan?," tanya Yura sambil melirik ke arah Susan.

"Iya gak apa apa lo pulang saja."

"Kalo gitu gue balik duluan ya."

"Iya ... Ehh kalo dia balas, Screenshoot ya, kirim ke gue."

"Oke."

Susan menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan.

Tidak lama kemudian Ana dan Airin masuk ke kamarnya.

"Ebuset lo ngagetin," omel Susan sambil melemparkan satu bantal ke arah mereka.

"Salah siapa bengong."

Susan hanya mendengus sebal.

"Wahh bunga dari siapa nih?." tanya Airin sambil mendekati bunga tersebut.

"Gak tahu, gak ada nama pengirimnya. dari fans kali."

"Lo sudah punya fans? Uuu hebat banget."

Susan dan Airin hanya memutarkan kedua bola matanya.

"Emang lo gak tanya sama seisi rumah ini?."

"Sudah, tapi mamah gue keburu pergi, dan gue rasa hanya dia yang tahu siapa pengirim dari bunga tersebut."

"Kenapa lo gak telepon saja?," ucap Ana yang di angguki Airin tanda setuju.

"Buat apa gak penting juga."

"Ada pesan masuk nih," Ana menyodorkan sebuah ponsel milik Susan.

Dengan cepat Susan pun membuka WhatsApp nya.

"Dari siapa?." Airin menghampiri Susan.

Susan tak menjawab dia hanya memberikan ponsel miliknya ke Airin dan Ana untuk membacanya secara langsung. Dan pesan tersebut dari Yura yang mengirim Screenshoot chatingan Yura dengan Nina.

Tentang Kita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang