"unnie? Kenapa unnie di sini?"
" Ini rumahku siapa kau berhak mengaturku?" Ah iya Lalisa lupa, ini rumah appa nya. Orang yang sangat berjasa dalam membuat Lalisa gila. Tinggal di mansion mewah, memiliki keluarga yang lengkap tapi tak punya hati nurani.
" Mianhe unnie..." Rasa nya ingin sekali Lalisa memeluk Jennie. Tapi dia cukup tau diri untuk melakukan itu. Lalisa juga tak ingin di hari yang larut ini di pukuli oleh appa nya karna memeluk Jennie.
" Kau gila? Makan ramyeon tengah malam tanpa ada nasi yang masuk ke perutmu?"
" Tak ada makanan lain unnie, aku tak bisa masak, aku juga tak bisa tidur jika kelaparan"
Jennie tertegun, apakah keluarganya keterlaluan? Tapi Lalisa juga pantas mendapatkan hal ini mengingat perbuatan nya dulu.
Unnie apakah kau mengawatirkanku?~ batin Lalisa
Jennie langsung pergi setelah mendengar kalimat Lisa. Kembali sunyi yang menemani Lalisa saat ini. Miris, itulah hidup Lalisa. Tapi dia tak bisa menyerah.
Menikmati ramyeon panas itu dengan air mata yang terus mengalir. Hampa rasa nya hidup Lalisa saat ini. Ia rindu dengan oppa nya, tapi tak bisa berbuat apa apa.
.
.
.
." Bangun kau dasar pemalas!!" Appa nya datang dan langsung menarik Lalisa hingga jatuh dari kasur nya. Pagi ini appa nya baru pulang dan tidak menemukan Lalisa padahal jam sudah menunjukan pukul 5.
Dengan amarah nya yang sudah di ujung tanduk, appa nya datang ke kamar Lalisa. Membanting pintu, menarik selimut dan sekaligus menarik Lalisa.
"Sudah ku katakan pada mu untuk bersihkan mansion ini! Apakah kau lupa kau hanya sampah di keluarga ini?"
Plak~
Plak~
Plak~Tiga cambukan di pinggang Lalisa terima. Rasa nya seperti tulangnya di patahkan. Ini masih sangat pagi tapi dia sudah mendapat cambukan sabuk ayah nya yang tebal.
"Hiks.... Hiks..... Mi-mianhe ap-appa..." Lalisa menangis saat lagi dan lagi sabuk itu mengenai punggung nya.
Sekitar lima belas cambukan melayang sempurna di punggung nya. Appa nya pergi setelah puas memukulinya tanpa sepatah katapun.
Tanpa di sadar tiga orang gadis menyaksikan kejadian itu. Hanya menonton tanpa ada niat membantu. Terlihat gadis berambut blond itu berkaca kaca. Ayolah dia adalah kembaran Lalisa, dia memiliki ikatan batin yang kuat. Chaeyoung juga merasakan apa yang di rasakan Lalisa, karena sebelah jiwa nya ada pada Lalisa.
Tak kuasa melihat kembaran nya kesakitan, lantas ia beranjak dari sana meninggalkan dua saudari lain nya. Jisoo dan Jennie masih di sana. Menyaksikan bungsu mereka menangis, mengaduh kesakitan. Rintihan rintihan itu keluar bagai pisau yang menyayat hati. Ada apa dengan mereka? Bukan kah mereka berdua membenci Lalisa? Tapi kenapa mereka juga merasa sakit melihat bungsunya terluka?
Tangan Jennie terulur untuk menggenggam tangan jisoo. Menarik kakak sulung nya itu pergi dari depan kamar bungsu nya. Tak ada penolakan dari jisoo dia hanya mengikuti kemana Jennie akan membawa nya.
.
.
.
.Dilain sisi chayeong menangis di bawah guyuran air shower kamar mandi nya. Hati nya masih sakit melihat darah yang menodai baju Lalisa tadi. Ia ingin membantu Lalisa tapi ia benci dengan Lalisa.
"Ani... Aku tak boleh menangisi gadis pembawa sial itu. Tapi kenapa rasa nya sangat sakit menyaksikan dia merintih seperti tadi..." Chaeyoung ingin menghentikan tangis nya tapi air mata itu terus mengalir tanpa ada niat untuk berhenti.
" Kenapa kau melakukan itu Lalisa... Kenapa kau membunuh oppa ku... Jika dulu kau tak melakukan nya mungkin sekarang aku tak akan tersiksa rindu ini Lalisa... Aku merindukan oppa ku... Tapi kenapa kau membunuh nya.." ingin marah pada takdir tapi itu juga salah. Lalisa sekarang yang harus menanggung amarah itu sendirian. Mereka salah paham, bukan Lalisa yang telah membunuh Kim Sehun. Bukan Lalisa yang membunuh oppa mereka.
Menangis sejadi jadi nya. Lalu mandi dan bersiap berangkat sekolah. Meski hati nya tak tenang tapi ia harus tetap sekolah. Menjalankan kewajiban sebagai pelajar, chaeyoung berangkat bersama jisoo dan Jennie.
.
.
.
.Melangkah dengan tertatih ke kamar mandi. Meringis saat merasakan perih di punggung nya akibat sentuhan air dan luka pukulan appa nya.
Setelah selesai dengan acara mandi pagi nya, Lalisa keluar kamar untuk membersihkan mansion. Seperti nya Lalisa akan telat hari ini. Mengingat sekarang sudah jam 06.39 dan masih harus membersihkan mansion yang besar ini.
"Semangat Lalisa, jangan kecewakan Sehun oppa"
Tifanny melihat itu. Melihat wajah pucat Lalisa, pipi nya menirus, tubuh jangkung nya begitu kurus seperti orang yang tak pernah makan selama seminggu. Langkah nya yang tertatih melukai perasaan Tifanny. Ibu mana yang tak sakit melihat kondisi anak nya yang mengenaskan itu.
"Oppa sekarang tepat tiga belas tahun kau meninggalkan ku. Aku merindukan mu oppa. Aku sendirian di sini. Appa, eomma, jisoo unnie, Jennie unnie, chaeng, halmoni, haraboji semua membenciku oppa. Mereka mengira aku membunuhmu oppa"
Tak terasa air mata itu menetes kala mendengar kalimat yang Lisa ucapkan. Tifanny memang tidak percaya bahwa Lalisa yang membunuh putra sulung nya. Tapi mengingat Lalisa adalah orang terakhir yang bersama sehun di tambah bukti dari sidik jari Lalisa yang di temukan di barang bukti, itu membuat mereka percaya bahwa memang Lalisa yang membunuh putra sulung keluarga Kim.
25 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
BEFORE I LEAVE
Fantasymaaf jika aku penghancur bahgiamu~ Lalisa Cover by @soyyaasou_ Pict by pinterest