Sekeping Lara

648 72 4
                                    

Bunyi jarum jam menggema seisi ruangan. Suasana kamar sengaja dibuat temaram karena malam mulai larut. Aku memutar cincin di jari telunjuk kiriku, benda pemberian seorang yang kini tengah terbaring tenang di ranjang pasien tak jauh dari tempatku duduk. Aku mengamati langit-langit ruangan dengan pikiran berkelana jauh. Aku tersenyum miris mengingat kembali kejadian tadi siang. Panggilan suara tak terjawab dari Hana banyak sekali buatku khawatir ada hal serius yang terjadi.

"Yara! Akhirnya kamu angkat juga."

"Kenapa?"

"Hiks... hiks... Ra, aku --- aku minta maaf."

"Kamu kenapa sih? Tiba-tiba minta maaf. Emangnya kamu ngapain?"

"Ra, beneran aku nggak tau harus minta tolong siapa lagi."

"Ada apa?"

"Om Gara masuk rumah sakit gara-gara aku. Aku minta maaf sama kamu, Ra."

"Emangnya kamu ngapain Pak Gara?"

"Aku -- aku --"

Aku mulai kesal karena sedari tadi Hana terus saja menangis.

"Bisa minta tolong kamu ke sini, Ra? Aku nggak mungkin bilang ini di telepon please ya, Ra?"

"Penting banget? Aku nggak bisa ninggalin Ibu dan adik-adikku."

Pak Gara bukan tipe manusia yang mudah sakit. Tapi sekalinya sakit beliau ambruk dan harus dirawat. Kebiasaan kerjanya yang gila memang susah dihilangkan. Jadi kupikir ini hal yang sama dengan sebelum-sebelumnya.

"Ra, please cuma kamu yang bisa nolong aku. Papa Mama marah sama Om Gara karena aku."

"Kenapa bisa?" tanyaku dingin.

"Aku -- aku --" Hana semakin terisak pilu.

Aku mulai bisa membaca situasi. Ada hal yang tak beres yang terjadi di sana. Selama aku hidup di rumah itu dan mengenal Pak Gara, aku belum pernah melihat Papa - Mama marah dengan beliau.

Aku berakhir di sini menunggunya bangun. Menanti uraian cerita lengkap dari mulutnya. Kelopak matanya perlahan terbuka, netra kami beradu pandang, aku tersenyum tipis.

"Yara... "

"Mau minum, Pak?"

Beliau mengangguk, kuangsurkan gelas berisi air padanya. Ia mengucapkan terima kasih lantas menatapku lekat sambil tersenyum canggung.

"Mau dipanggilin dokter, Pak?" Ia menggeleng.

"Kamu sudah tahu ceritanya?" Aku menggeleng. Beliau nampak menghembuskan napas pelan. "Saya merasa bersalah sama kamu."

"Kenapa?"

"Karena buatmu jauh-jauh datang karena hal seperti ini," ucapnya pelan.

"Gimana ceritanya, Pak? Hana cuma nangis-nangis di telepon. Kupikir ada hal penting yang terjadi. Makanya aku di sini."

"Papa kamu salah paham, Ra. Apa yang beliau lihat nggak seperti yang beliau pikir."

"Maksudnya?"

Belum sempat Pak Gara menjawab tanyaku, pintu diketuk dan dibuka menampilkan sosok tinggi ber-snelli putih.

"Ra, Abang anter kamu pulang ya. Papa nungguin kamu di rumah. Papa tahu kamu di sini."

Bang Malik menghampiriku yang duduk di sisi brankar. Tatapannya datar saat melihat Pak Gara yang berusaha mendudukkan dirinya. Aku reflek membantunya. Bang Malik beralih menatapku tidak suka.

"Ayo pergi sekarang."

"Pak Gara siapa yang nungguin, Bang?"

"Biarin aja ada suster jaga."

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang