M A T R A

7.6K 226 9
                                    

Aku penjamkan mata sejenak. Menghela napas lelah setelah 5 hari dalam seminggu belakangan kerja gila-gilaan jadi budak korporat. Jumat malam ini aku memutuskan pulang lebih awal dari hari-hari sebelumnya meskipun masih terbilang lembur. Setidaknya aku sudah sampai gedung apartemen pukul tujuh malam ini. Ransel yang biasa aku bawa tersampir di pundak kiri. Badanku sengaja kusenderkan di dinding belakang lift. Aku seorang diri di kotak besi ini, kalau ditunggu seperti ini lama sekali rasanya. Unitku ada di lantai 17. Lift bergerak lambat, belum berhenti di lantai manapun. Aku melirik arloji di tangan kanan. Kupejamkan lagi mata meringankan denyutan di kepala yang mulai terasa.

Ting!

Lift berhenti di lantai...

Mataku mulai eror. Mana ada lantai 00 di gedung ini. Pintu terbuka menampakkan lorong panjang dan persimpangan di ujung sana. Aku tekan tombol penutup pintu berkali-kali, percuma. Tombol emergency pun tak berguna. Kupandang lekat kamera di sudut sana. Mati. Sialan!
Mereka ingin bermain-main denganku rupanya.

Pintu enggan menutup, terus terbuka seolah menyuruhku keluar. Aku berjalan menyusuri lorong panjang, sampai di ujung lantas belok kiri berakhir di sebuah pintu besi.

Aku sudah mendengar tentang penghuni gedung ini. Kalau beruntung bisa "bertemu" dengan mereka, katanya. Aku bahkan tidak mau kenal dengan mereka atau apapun itu. Sekarang malah diajak kenalan oleh mereka.

Aku hendak membuka pintu itu, tapi gagangnya sudah berputar sendiri. Pintu terbuka menampakkan ruang luas yang ditata megah layaknya ballroom hotel bintang lima. Nuansa marun berpadu emas mendominasi dekorasi ruang ini. Riuh rendah orang bercakap dilatarbelakangi musik yang pas, sungguh perpaduan yang bagus untuk sebuah jamuan pesta yang WAH.

Aku merasa berada di dimensi lain, faktanya memang begitu kan. Bajuku beda sendiri. Kemeja kuning pastel dengan jeans dan sneakers serta ransel, menjadikanku badut pesta yang sesungguhnya. Beda jauh dengan sosok-sosok tampan dan cantik di ruangan ini. Aku bahkan menahan napas memerhatikan tampilan mereka yang tidak main-main.

Aku menyadari satu hal, mereka bisa melihatku tapi seolah aku bukan makhluk asing di antara mereka. Mereka tersenyum sopan menyapaku. Meski tampilanku jelas melenceng dari mereka. Aku menuju meja panjang yang menghidangkan berbagai macam makanan. Tapi aku ingat untuk tidak memasukkan apapun makanan dari kaum mereka ke dalam mulutku. Padahal aku lapar sekali, mungkin kali ini mataku dulu yang harus berpuas diri.

Seorang pria menghampiriku dengan senyum khasnya. Dia pria lift. Aku sering bertemu dengannya di lift. Entah itu pagi buta, siang bolong, petang, atau tengah malam.

"Halo, Nes. Wah jadi penduduk baru ya kamu."

Aku memutar bola mata malas, "Acara siapa sih ini?" bisikku.

Dierja malah menertawaiku.

"Labda."

"Apa? Lada?"

Dierja melototiku garang, "Labda, Ganes. Trengginas Labda Taraka. Pernah dengar nama itu?"

Aku menggeleng, "Orang penting? Pejabat sini? Acara apa memangnya?"

Pria di sebelahku ini melongo dengan tangan yang menggantung di udara. Kue yang ia comot urung masuk ke lambungnya.

"Kamu kenapa bisa di sini?"

Aku mengedikkan bahu. Aku pun heran kenapa aku bisa "datang" ke sini. Kalau Dierja jangan ditanya, dia salah satu manusia beruntung yang bisa menjelajah dua dunia.

"Gimana caranya kamu datang ke sini?"

"Aku tadi ada di lift, berhenti entah di lantai berapa. Pintunya kebuka dan nggak mau nutup. Ya udah aku keluar ikutin lorong dan cuma ada satu pintu. Jadi aku masuk deh."

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang