Aku berada di areal pemakaman. Berdiri agak jauh dari kerumunan yang sedang melakukan prosesi penguburan. Pakaian serba hitamku menutupi perasaanku sesungguhnya. Aku tak begitu sedih, meski dia ayahku. Ada sisi lain yang tidak dilihat saudara-saudaraku tentang ayah. Hanya ibu dan aku yang tahu. Ketika kepergian ibu setahun lalu, aku yang paling hancur. Hari ini orang mungkin melihat bahwa aku yang paling tegar. Aku bahkan tak menangis.
Prosesi selesai waktunya pulang kembali pada kenyataan. Berkumpul di ruang tengah melepas sendu dan rasa duka atas kepergian kepala keluarga. Aku baru saja sampai pagi tadi dan pemakamannya dilakukan siangnya. Mas Fares menatap kosong layar televisi yang hitam. Disebelahnya ada Mbak Asha, istrinya. Si kecil Danil tertidur dipelukan Mala, adikku. Bang Anand merebahkan kepalanya di kepala sofa sambil memejamkan mata.
Tinggal kami yang tersisa. Para tetangga sudah berpamitan pulang kembali ke rumah masing-masing. Ketukan di pintu depan mengambil fokus kami.
"Biar gue aja La yang buka."
Bangkit meninggalkan mereka menuju pintu depan. Kutemukan sosok pria dewasa dan seorang wanita paruh baya. Si ibu tersenyum canggung. Kubalas dengan senyum tipis. Kupersilakan mereka berdua masuk, kuantar mereka ke ruang tengah menemui yang lainnya.
"Mas, ada tamu."
Mas Fares bangkit bertanya lewat matanya.
"Mala bawa masuk Danil ke kamar," pintaku.
Mala juga bertanya lewat ekspresi wajahnya. Tak ayal dia menurut untuk membawa Danil masuk ke kamarnya.
"Biar aku aja, Mbak."
Mbak Asha kembali duduk di sebelah Mas Fares. Setelahnya aku melipir pergi ke dapur.
Aku melihat bayangan Mala keluar kamar bergabung bersama yang lain di ruang tengah. Aku masih asyik menyiapkan minuman.
Ada hal-hal yang tidak bisa aku ungkapkan karena ibu yang memintaku begitu. Ini tentang ruwetnya rumah tangga. Kupikir selama ini hidup dalam keluarga yang aman, damai, sentosa.
Aku kembali ke ruang tengah. Meletakkan minuman untuk mereka. Yang kulihat Bang Anand berdiri di dekat sudut sofa mengacak rambutnya geram. Mbak Asha menenangkan Mas Fares. Mala mulai mengucurkan air mata. Si ibu dengan wajah bersalah menatapku.
"Lun, kamu udah tau?"
Aku mengiyakan pertanyaan Mas Fares. Bang Anand menatapku tak percaya.
"Kak, lo udah tau sebelumnya? Kapan? Kenapa lo nggak cerita ke kita?" Mala memberondong tanya padaku.
"Maaf Nak Mala. Ibu yang minta supaya Lunar nggak cerita ke kalian."
Aku menghela napas, "Gue bukan tau kemaren doang kok. Udah lama. Mama cerita ke gue pas gue masih SMA. Itupun kalo gue yang nggak maksa Mama buat cerita mungkin baru hari ini juga gue tau."
"Lun, apa Mama juga nyuruh kamu buat nggak cerita ke kita semua?"
"Iya, Mas. Mama sayang banget sama kalian. Mau menyalahkan Mama pun nggak bisa karena Papa juga salah."
"Itu alasan kenapa sikap lo nggak lagi respect sama Papa sejak SMA?"
"Ya, Bang."
"Lo tau Bang kalo Pak Davi itu dosen gue di kampus dulu. Lo aja yang nggak tau gimana sedihnya beliau pas Papa dan keluarganya yang lain dateng ke kampus dia menghadiri wisuda salah satu mahasiswi yang dibimbingnya. Inget nggak lo Bang pas Papa gue kenalin ke dosen pembimbing gue? Papa cuma diem tanpa membalas jabat tangan Pak Davi. Mungkin lo pikir sikap Papa emang gitu. Tapi gue tau, saat semesta mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Kenapa Papa nggak ngasih tau kita? Karena Papa pengen kita semua bahagia dengan hidup kita saat itu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Pendek
Short StoryKumpulan cerita pendek dengan tema acak. Banyak cerita dengan akhir terbuka. Terima kasih sudah mampir dan baca cerita ini. ------- Pictures by Pinterest Cover by Canva Salam, Liyayaa