A Good Figure

630 68 7
                                    

Suasana terminal bus siang itu begitu ramai. Sesak oleh manusia-manusia yang hendak menggunakan moda angkutan kendaraan berbadan panjang tersebut. Di bawah pondok kecil di salah sudut terminal ada segerombolan pria bertampang sangar yang tengah bergurau ria.

"Bang, gue tadi liat si Lori di warungnya Mpok Tika. Kagak sekolah dia, Bang?"

"Beneran lu? Sama siapa dia di sana?"

"Tadi pas gue lewat, dia sendirian aje, Bang. Kagak tau kalo sekarang."

"Balik kerja sono lu. Biar gue liat anak gue dulu."

Pria itu bergegas pergi menghampiri tempat nongkrong sang anak.

Di sisi lain, Lori menyeruput habis es tehnya dari kantong plastik. Ia melihat sekelebat bayangan anak buah ayahnya. Bisa ditebak kalau sebentar lagi ia akan disusuli sang ayah.

"Mau ke mana kamu?"

Gadis remaja itu berbalik badan. Menatap sang ayah dengan raut enggan.

"Pulang."

"Kamu bolos lagi? Udah bosan sekolah? Mending nggak usah sekolah sekalian."

"Iya. Besok aku buat surat pengunduran diri."

"Kamu ya!"

Lori membalikkan badan. Selalu saja begitu. Ayahnya selalu mengancam untuk keluar saja dari sekolah. Tapi saat Lori benar-benar ingin merealisasikannya, sang ayah malah marah.

"Udah makan siang belum?" tanya sang ayah sambil mensejajari langkah putrinya.

"Belum."

"Di warung Mpok Tika nggak makan?"

"Nggak."

"Ya udah. Makan di warung nasi padang aja. Tapi mampir ke rumah dulu ambil jaket Bapak."

"Langsung ke sana aja deh. Ribet banget pake muter ke rumah dulu."

"Kamu nggak malu sama penampilan Bapak yang kayak gini," ucapnya sambil melirik kaos oblong yang tak dapat menutup sebagian tato di sepanjang lengannya.

"Emang Bapak ke sana buat malakin mereka? Enggak kan? Ya udah ayo buruan. Nggak usah peduli sama omongan orang. Toh mereka nggak bayarin kita makan, Pak."

Sagara tertegun dengan protes putrinya. Sisi lain ia sangat bahagia dengan sikap Lori yang tak malu punya ayah sepertinya. Tapi sisi lain ia merasa buruk dengan dirinya sendiri. Belum bisa menjadi figur ayah yang baik untuk putrinya.

Namun sang ayah rupanya bersikukuh untuk mampir ke rumah mengambil jaketnya terlebih dulu. Lori bisa apa selain mengikuti langkah kaki ayahnya menuju rumah kemudian ke warung nasi padang.

--

Ruang Bimbingan Konseling nampak tegang siang ini. Sekumpulan siswa berbeda jurusan terlibat tawuran antarjurusan. Diduga karena provokasi seorang siswa yang membuat siang terik ini begitu runyam. Tak hanya remaja laki-laki yang terlibat, ada beberapa remaja perempuan juga ikut diseret ke ruang BK.

3 dari 4 remaja perempuan itu menangis karena bentakan sang guru. Lori terlihat tenang dengan muka datarnya. Berusaha menahan geram atas perkataan gurunya.

"Ini anak satu. Kamu Malorie, jangan mentang-mentang kamu cucu yang punya sekolah, kamu jadi seenaknya ya. Ini sudah ketiga kalinya kamu bikin ulah dalam kurun waktu satu semester. Mau jadi apa kamu nanti hah?!"

Lori masih diam bertahan untuk tidak meledak. Ia ingat kata sang ayah untuk tetap tenang dalam bersikap.

"Anak preman terminal aja belagu. Emang buah jatuh nggak jauh dari pohonnya."

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang