Teh Hijau (Bagian 1)

1K 90 6
                                    

Perempuan berjilbab hijau daun itu membanting pintu mobil hitam yang ia bawa. Meletakkan tas besar di samping tempat ia berdiri. Maniknya menelusuri sekeliling rumah yang akan ia tempati sampai waktu yang tidak ditentukan. Intinya sampai urusannya selesai di sini.

Suasana khas pedesaan begitu menenangkan apalagi sepanjang perjalanan menuju kemari ia disuguhkan pemandangan hijaunya dedaunan teh. Kalau dihitung-hitung sebanding dengan rasa lelahnya menyetir sendiri berjam-jam.

"Non Dara ya?"

Wanita paruh baya muncul dari balik pintu kayu yang lebar bersama seorang pria tua di sampingnya. Mereka berdua tersenyum ramah menyambut kedatangan perempuan muda itu.

Dirinya mengangguk. Menyalami mereka bergantian. Raut kaget mereka tampakkan atas tindakan cucu majikan mereka ini.

"Eh nggak usah sampe cium tangan Mbok Mi sama Mang Din, Non. Ayo Non, biar Mang Din bantu bawa tasnya Non ke dalam."

"Eh iya makasih Mbok, Mang."

Dirinya tahu sepasang paruh baya ini yang menjaga rumah kakeknya sudah sedari dulu, bahkan sebelum ia lahir. Meski tak pernah bertandang kemari, ia sempat mencari tahu informasi terkait rumah, perkebunan, pabrik, peternakan bahkan pekerja-pekerja di sini.

"Mbok, pesan saya sudah disampaikan ke yang lain?" tanyanya ketika menemukan Mbok Mi di dapur.

"Sudah, Non. Nanti malam mereka akan datang seperti yang Non Dara minta."

"Makasih ya, Mbok. Saya mau keliling sekitaran rumah sebentar."

Dirinya keluar rumah. Mengamati apa saja di sekelilingnya. Dari informasi yang ia pegang saat ini rumah hanya ditinggali Mbok Mi dan suaminya, Mang Din. Dirinya menemukan sosok tinggi berisi tengah memarkirkan motor di samping mobilnya. Manik mereka bertemu. Pria itu turun dan menghampiri Dara.

"Non Dara ya?"

Dara mengangguk masih dengan gaya tangan menyilang memegang satu sama lain. Alisnya naik sebelah.

"Saya Asep, Non. Yang ngurus perkebunan Bapak."

Dara tersenyum sekilas menyambut jabat tangan pria pertengahan tiga puluh di hadapannya. Ia tahu Kang Asep --sapaan akrabnya-- sudah bersama kakeknya dari jaman dulu sama seperti Mbok Mi dan Mang Din. Tapi Kang Asep bukan anak mereka. Orang kepercayaan kakeknya untuk mengurus perkebunan juga lainnya.

Dari hasil screening sekilas. Tidak pakai cincin, rambut hampir gondrong, tampilan sederhana cenderung agak lusuh karena warna kemeja yang ia pakai terlihat memudar. Juga celana kain yang ia kenakan terlihat pias. Kulit coklat terbakar mentari serta janggut dan kumis yang mungkin malas ia cukur. Terkesan tak terurus sekali dirinya.

"Ada apa, Kang?"

"Saya bawa camilan dari pabrik, Non."

"Kasih aja ke Mbok Mi biar disimpan. Makasih, Kang."

Dirinya hendak meninggalkan pria itu tapi tertahan karena interupsinya.

"Mau saya temani keliling, Non?"

"Nggak usah, Kang. Saya cuma mau liat sekitar rumah aja. Permisi."

Ia berjalan terus dan berhenti di gerbang depan. Membalikkan badan mengamati rumah bergaya Belanda yang perlahan dimakan usia. Aura rumah ini dingin memberikan kesan teduh bagi yang melihat. Dari cerita yang ia tahu kakeknya membeli rumah ini pada tahun 70an. Beserta beberapa hektar kebun teh di sekitarnya. Namun belum seluas sekarang ini. Kakeknya sempat tinggal di rumah ini selama 10 tahun sebelum berpindah-pindah untuk memperluas jaringan bisnisnya. Dirinya sendiri tak pernah berkunjung kemari. Maklum sedari lahir ia tinggal di pulau seberang, Sumatera. Ke pulau Jawa sekedar liburan itupun hanya ke ibu kota tempat saudara-saudara ibunya bermukim. Kakeknya menetap di Bali, pulau impian dirinya untuk tinggal dan menetap kelak.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang