Penyembuhan

650 46 3
                                    

Bagian terakhir dari cerita Teh Hijau.

---

Pakaian serba hitam membalut tubuh Dara siang ini menuju rumah duka. Bukan bahagia seperti yang ia harap kala kembali ke sini, namun disambut duka mendalam penghuni rumah ini. Isakan pilu mengiringi langkah Dara sedari pintu utama. Banyak wajah yang samar ia kenali mengekspresikan kedukaan yang sama. Dara tak menangis meraung-raung. Tapi lelehan air mata itu terus saja mengalir perlahan-lahan. Wajahnya bahkan telah sembab, sepanjang jalan kembali ke rumah ini dirinya tak henti terisak pilu. Setelah sampai isakan itu berhenti begitu saja. Tergantikan dengan rasa aneh yang sangat dalam di hatinya. Logikanya masih tak mau percaya kalau Kang Asep tak lagi bernyawa. Dara masih percaya kalau mereka hanya bercanda perihal ini. Namun lihatlah, orang-orang itu berduyun-duyun mengucap belasungkawa padanya. Di titik ini Dara baru percaya sosok yang ia inginkan setelah kepulangannya telah tiada.

Jasad itu terbaring di ruang utama. Dikelilingi orang-orang yang terus melantunkan doa-doa untuknya. Dara mendekat melihat untuk terakhir kalinya wajah pucat itu. Dua bulan yang lalu Nini --neneknya Kang Asep, telah berpulang lebih dulu. Hanya Kang Asep seorang dan kini ia pun pergi. Dara mengepal erat kedua tangannya. Menahan laju raungan pilu dalam dirinya.

---

Dara menapaki jalan kebun teh, menyusurinya dengan langkah pelan. Dirinya melihat sepasang manusia dengan raut gembira bersama tengah memetik teh. Dara menarik pelan ujung bibirnya sembari memperhatikan mereka. Sejoli itu pamit pada pekerja kebun yang kebanyakan adalah ibu-ibu. Mereka melangkah berdampingan di jalan utama kebun teh sambil bergandengan tangan. Dara mengikutinya dari belakang. Jelas sekali kalau mereka tengah kasmaran. Siapa pun yang melihat akan setuju kalau mereka adalah pasangan yang cocok. Perlahan mereka menghilang bersama hembusan angin meninggalkan Dara sendiri yang berjalan di tengah sepinya kebun teh.

Kembali ke rumah, masih di pagi yang sama. Dara mendudukkan dirinya di bangku halaman depan rumah. Semilir udara dingin menyapa pipinya. Ia tersenyum menyambut sang Kakek yang ikut bergabung bersamanya.

"Kenapa belum pulang, Kek?"

"Sengaja menunggu kamu di sini."

Dara tersenyum canggung. "Aneh banget rasanya datang ke sini dengan perasaan yang benar-benar berbeda seperti ini."

"Sudah ke makamnya?"

Dara mengangguk pelan. "Hampir seminggu kepergiannya aku masih bisa lihat dia berkeliaran di sekitar sini. Rasanya seperti nyata."

"Tiap pertemuan akan ada perpisahan. Bersedih boleh tapi hidupmu tetap harus berjalan."

"Kakek benar."

"Mungkin akan butuh waktu lama untuk ikhlas melepasnya."

"Iya."

Malang tak dapat dihindarkan, Kang Asep mengalami kecelakaan sekembalinya dari kota. Dara yang dikabari segera pulang dari perjalanannya. Berharap kalau kabar yang ia terima salah. Namun nyatanya sosok itu benar-benar telah tiada.

"Masuklah. Kakek siapkan teh hijau."

Suara sang kakek membuyarkan lamunannya.

"Iya, Kek."

Dara tersenyum hangat merespons bayang tipis Kang Asep yang tengah berjalan melewatinya kemudian menghilang.

Akan butuh waktu lama untuk melepaskan sepenuhnya. Ia meyakini inilah takdir yang harus ia jalani. Tiap pertemuan akan ada perpisahan. Kali ini kedua hal tersebut berjarak begitu dekat. Dara mulai merangkai perjalanannya kembali untuk menjelajah wilayah bumi bagian lain dalam rangka penyembuhan dirinya.

Selesai

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang