Tiga hari lagi.
Tiga hari lagi, 'pencinta diam-diam' gue bakal muncul. Gue masih mikir, kira-kira siapa dia? Biasanya cowo-cowo lain terang-terangan nyatain perasaannya ke gue. Tapi ini lain. Dia beda.
Gue suka gayanya dia. Misterius, tapi romantis. Tapi gue juga gasuka, soalnya kalo diam-diam, tandanya dia pengecut. Tapi toh tiga hari lagi dia bakal muncul di hadapan gue.
"Hai Bel." tiba-tiba Deva nyamperin dan menepuk bahu gue, membuyarkan lamunan gue.
"Eh, hai."
"Temenin gue ke perpus yuk?" tanya Deva.
"Mager."
"Udah pokoknya lo harus temenin gue!"
"Gamau!"
"Sini!" Tangan kiri Deva menarik tangan gue, tangan kanannya memegang kotak pensil warna hitamnya. Terpaksa gue harus ngikutin dia ke perpus. Gue udah pernah cerita ke lo soal perpus kan? Jadi gue ga perlu ceritain lagi kenapa gue benci perpus.
Gue mendengar ada sesuatu yang jatuh, kayanya dari kotak pensilnya Deva deh. Gue mengambil barang yang jatuh itu, ternyata itu flashdisk. Eh, bentar. Ada gantungan kuncinya, bentuknya bulan sabit. Kayanya gue pernah liat, tapi dimana ya? Oh iya, gue baru inget.
Bulan sabit.
Gue memegang liontin bulan sabit di choker yang gue gunakan di leher gue sekarang. Sama persis.
"Eh, makasih. Sini." Deva ngerebut flashdisknya dari gue. Mukanya kikuk.
Katanya, hadiah itu clue pertama. Choker dengan liontin bulan sabit. Tapi itu sama persis sama punya Deva. Mungkinkah?
"Hoi. Bengong aja. Masuk!"
Gue masih terdiam mematung di depan pintu perpustakaan besar sekolah gue. Gue mematung, seolah-olah ada sesuatu yang mengerikan di dalam sana. Dan kenyataannya emang iya, gue punya memori mengerikan disana.
Ferdi.
Entah kenapa, waktu bau buku-buku yang khas menyeruak ke indra penciuman gue, Ferdi tiba-tiba muncul di pikiran gue.
Gue menarik nafas dalam, lalu memberanikan diri untuk masuk.
Mata gue menangkap sesuatu yang gue kenal banget : "Duniaku dan Duniamu." Itu buku kesukaan gue sama Ferdi. Gue sama Ferdi selalu ngomongin itu tiap kali ke perpus. Kita berdua memang anak perpustakaan, jadi kita nyambung banget kalo ngobrol. Memori-memori indah dan bahagia sekaligus menyedihkan terus muncul di pikiran gue tanpa bisa gue kendalikan. Jujur, gue belum bisa ngelepas Ferdi.
"Lo kenapa Bel?" tanya Deva.
Gue baru nyadar kalau air mata menetes dari kedua mata gue saat Deva nanyain gue.
"Gapapa kok." kata gue yang tersadar sambil mengelap air mata gue.
Gue bego, bego, bego. Gue cewe lemah. Kenapa bisa-bisanya gue nangis di depan cowo brengsek kaya Deva? Ini sama aja ngerendahin martabat gue depan Deva. Saat ini Deva belum bereaksi. Mungkin aja dia bakal ngetawain gue, ngeledek gue, bahkan nyebar berita kalo gue nangis.
Gue membalikan badan sembari mengelap air mata di pipi gue ketika seseorang lain datang dari lorong novel dan menepuk pundak gue pelan.
"Lo gapapa kan Bel? Ayo kita keluar dari sini." ajaknya. Suaranya berat, tetapi lembut. Dia menarik tangan gue dan menarik gue keluar dari perpustakaan. Gue lega, gue udah berhasil keluar dari situ. Kayanya gue tau ini tangan siapa, karena gue pernah ngalamin tangan gue digenggam kaya gini dan rasanya sama. Gue ngerasa lebih tenang bareng dia.
Dia Sean.
Bahkan saat kita udah keluar dari perpustakaan, ia masih menggandeng gue dan menarik gue menuju kantin.
"Lo duduk disini dulu ya." kata Sean lembut ketika kita udah sampai di kursi kantin.
Gue mengangguk pelan, lalu duduk disitu.
Tak lama kemudian, Sean kembali dengan dua es krim coklat di kedua tangannya.
"Tuh buat lo." Katanya sambil memberikan es krim coklat yang ada di tangan kanannya.
Tatapan gue mengatakan "makasih" tanpa suara. Gue yakin pasti Sean tau kok artinya.
Gue memakan es krim coklat itu, dan lumayan bisa bikin gue tenang. Setelah gue udah bener-bener tenang, baru gue bisa ngomong.
"Makasih ya."
"Sama-sama."
"Gue tau pasti rasanya sakit. Tapi lo harus lupain Ferdi. Gimana caranya lo bisa move on kalo lo masih mikirin dia terus? Gue jamin, Ferdi pasti ikut seneng kalo lo bahagia." tiba-tiba Sean nyerocos.
Gimana caranya dia tau tentang Ferdi?
"Kok.. kok lo tau Ferdi?"
"Eh, eng, engga kok. Tadi lo ngapain ke perpus?" gue rasa Sean ngalihin pembicaraan. Kayanya ada yang aneh.
"Gue ditarik Deva. Dia ngajakin gue ke perpus."
"ck, Deva." gumamnya.
"Sekarang lo udah gapapa kan?"
"Gapapa kok. Makasih banyak ya, udah bantuin gue."
"Dengan senang hati."
=Gaudette=
"Abel!"
"Yoi, kenapa Drey?"
"Gimana, udah dapet clue baru?"
"Belom."
"Cari dong, penasaran."
"Eh, bentar. Tadi ada sesuatu yang aneh." Kata gue sambil mengerutkan dahi.
"Apaan tuh Bel?" tanya Audrey penasaran.
"Tadi, gue liat flashdisknya Deva ada gantungan kuncinya."
"Ya trus hubungannya sama clue apa?" tanya Audrey bingung.
"Nah gantungan kuncinya itu bentuknya sama persis kaya liontin choker gue, bulan sabit."
Mulut Audrey menganga kaget.
"Tutup mulut lo. Lebay."
"Berarti secret lover lo itu Deva dong?"
"Iya kali? Tapi kok gue ga yakin ya?"
"Udah pasti Deva! Ke ruang loker yuk! Siapa tau ada clue lagi."
"Ayo."
=Gaudette=
Gue menutup pintu loker gue. Gaada clue terbaru.
"Gaada Drey."
"Yahh ga seru dong. Masa gaada sih?"
"Gatau deh. Eh itu dibawah kursi lo duduk apaan?"
"Hah?"
Audrey menunduk, mengambil sesuatu di bawah kursi ruang loker. Sebuah amplop.
Matanya berbinar, seakan berbicara ini cluenya!
Gue mengambil amplop tersebut, lalu membukanya. Isinya :
Hai, tiga hari lagi loh. Oh ya, gue bikin puisi buat lo, ya walaupun agak jelek, soalnya gue masih amatir, tapi semoga lo suka ya :
Aku menyukaimu
Aku mencintaimu
Aku terlihat seperti pengecut
Bersembunyi bagai tikus kecil
Setiap hari, demi memandang muHanya melihat senyummu mengembang
Membuatku bahagia
Mungkin aku pengecut
Tapi hanya melihatmu dibalik persembunyianku
Aku tetap bahagiaAku ingin memelukmu
Mendekapmu
Namun rasanya tak mungkin
Karena aku mungkin tidak berarti bagimuFrom : Abel's secret lover
KAMU SEDANG MEMBACA
Gaudette
Teen Fictiongue ga percaya sama yang namanya cinta. cinta ga bisa bikin gue bahagia gue bakalan percaya sama cinta, asalkan ada yang bikin gue bahagia