12

307 15 4
                                    

"Bel, lo kenapa sih tadi nangis?"

"Gue.. gue gapapa kok." gue memutuskan untuk ga ngasih tau yang sebenernya ke Deva.

"Bel, lo tau ga sih. Gue ga suka sama cewe lemah."

Deg.

"Jadi maksud lo gue lemah?"

"Bisa jadi."

"Percuma gue ngomong sama lo. Lo cuma memperburuk keadaan." ucap gue sambil beranjak dari tempat gue duduk.

"Tunggu." kata Deva sambil menahan tangan gue.

"Apa lagi?"

"Duduk. Ceritain semuanya ke gue."

"Kalo gue gamau?" balas gue sambil menaikkan salah satu alis gue.

"Harus mau."

"Kenapa gue harus mau?"

"Karena yang ada di depan lo Deva. Deva Kristanto."

"Te-rus?" tanya gue dengan penekanan.

"Semua orang itu suka sama gue. Karena gue ganteng, tajir, baik, dan pintar."

"Dih kepedean banget lo. Asal lo tau aja, di sekolah ini semuanya tajir dan pinter. Gue akuin lo emang ganteng, tapi ganteng itu bukan faktor utama supaya cewe itu suka sama lo. Baik? Gue rasa lo belum cukup untuk dibilang baik. Lepasin tangan gue sekarang. Lo manggil gue kesini cuma ngomongin hal ga penting kaya gini doang kan?"

Deva melepas tangan gue, membiarkan gue pergi. Perasaan gue mengganjal, seperti ada sesuatu disini. Tapi gue mutusin untuk pergi, ninggalin Deva sendirian di taman sekolah, tapi dia malah tahan gue dengan menggenggam tangan gue.

"Apa lagi sih? Masih kurang jelas?"

"Duduk."

"Gamau."

"Ceritain semuanya ke gue. Siapa tau gue bisa bantu lo."

"Lo ga bakal ngebantu, Dev."

"Please?" katanya sambil menatap mata gue. Matanya yang berwarna hazel menatap mata gue tajam, sekaligus merajuk. Akhirnya gue meleleh, dan duduk.

"Nah gitu dong." katanya sambil tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat.

"Jadi, sebenernya tadi itu gue nangis karena.."

"Karena apa?" tanyanya motong omongan gue.

"Ish, makanya dengerin dulu."

"Iya iya."

"Dulu, gue punya pacar namanya Ferdi. Kita sering ke perpus bareng karena kita sama-sama suka baca buku. Tapi dia udah meninggal, pas setelah kita resmi pacaran." kenang gue, dan sialnya mata gue mulai berkaca-kaca.

"Oh jadi gitu, sorry banget Bel. Gue gatau. Gue gamau bikin lo sedih." kata Deva merasa bersalah--kayaknya. Tapi dari mukanya kaya ada yang aneh, gatau kenapa.

"Gapapa kok."

"Udah, mending lo jangan mikirin Ferdi terus. Gue tau lo pasti sedih, tapi lo gabisa simpen perasaan itu lama-lama. Gue yakin Ferdi juga ga suka ngeliat lo sedih terus kaya gini."

Gue mengangguk pelan.

Deva mengeluarkan saputangan dari kantung di kemejanya, lalu mengelap air mata gue yang ternyata sudah jatuh.

Sontak gue kaget, bisa-bisanya cowo ngeselin dan berengsek kaya Deva bisa tiba-tiba lembut kaya gini.

"Makasih ya Dev."

"Sama-sama. Senyum dong."

Gue tersenyum, walaupun terpaksa.

Deva tiba-tiba berdiri, meregangkan badan.

"Ah, siang-siang gini enaknya minum milkshake. Jajan yuk?" gue belum jawab, tapi dia udah main menarik tangan gue ke kantin.

Diam-diam gue ngeliatin dia dari belakang, sikapnya beda. Biasanya dia bandel dan nyebelin, tapi kali ini dia berubah. Entah kenapa gue hari ini nyaman sama dia. Gue jadi lega rasanya.

"Nah, ayo duduk. Biar gue pesenin. Lo mau rasa apa?"

"Coklat aja deh."

-

"Nih." Kata Deva sambil menyodorkan milkshake coklat ke gue.

"Makasih ya."

"Sama-sama."

Deva menyeruput milkshake coklatnya menggunakan sedotan. Gue masih bingung kenapa dia bisa tiba-tiba berubah jadi baik.

Tanpa sadar gue malah merhatiin mukanya. Duh lagi minum aja udah ganteng.

"Woi, diminum. Jangan ngeliatin gue mulu." kata Deva. Mampus, gue ketahuan ngeliatin dia. Alhasil, gue cuma bisa ngeles.

"Eh, siapa yang ngeliatin lo coba? Geer banget."

Deva terkekeh mendengar jawaban gue. Mungkin gue kurang meyakinkan. Ah pake ketahuan segala sih. Muka gue mau ditaro dimana.

Gue akhirnya meminum milkshake coklat gue, daripada nganggur.

"Bel, lo hari ini ada acara ga?" tanyanya tiba-tiba.

"Gaada kok. Emang kenapa?"

"Gue jemput lo jam 7 di rumah lo. Lo harus udah siap."

"Eh, emang mau kemana?"

"Udah liat aja nanti."

Ah elah malesin banget. Tapi yaudahlah ya, lagian hari ini ngebosenin banget. Cuma ada pembantu sama supir dirumah, papa sama mama lagi pergi. Jadi gue ga punya alasan untuk nolak.

"Gue balik dulu ya, udah jam 3 nih. Lo belom dijemput?"

"Gatau nih, kena macet palingan."

"Nebeng gue aja." kata Deva sambil berdiri.

"Gausah, nanti tinggal gue telfon supir gue."

"Eh gabisa. Pokoknya lo harus nebeng gue. Kalo lo ga dijemput gimana? Lo mau pulang sendiri? Akhir-akhir ini kan banyak pembegalan, bego." ocehnya panjang lebar. Ngedenger apa yang dia bilang tadi, gue jadi takut. Tapi gausahlah, gue gasuka ngerepotin orang.

"Gausah. Tenang a-" belum selesai gue ngomong, Deva udah narik tangan gue dan berjalan menuju parkiran.

=Gaudette=

Sekarang gue lagi ada di mobilnya Deva. Dan tadi agak mendung-mendung gitu, terus sekarang hujan. Karena ac di mobil nyala, suhunya dingin banget. Mana gue gaada jaket lagi. Alhasil gue cuma bisa menyilangkan tangan dan meringkuk di dalem mobilnya Deva.

"Lo kedinginan?" tanya Deva.

Yaiyalah, jawab gue dalem hati. Tapi gue cuma bisa jawab "ga kok."

"Tuh ambil jaket gue di belakang." Kata Deva sambil nunjuk ke arah jaketnya yang berwarna hitam.

"Gausah."

"Ambil buruan."

"Gue ga kedinginan."

"Lo cepetan ambil atau gue sumpahin lo mati kedinginan?" kata Deva.

"Iya iya." gue mengalah. Akhirnya gue memutuskan untuk ngambil jaket itu. Lumayan, daripada kedinginan.

Ga memakan waktu lama buat sampe di rumah gue. Sekitar 15 menitan dari sekolah.

Gue turun dari mobilnya Deva.

"Bye Deva. Thanks udah mau nganterin."
"Sama-sama." kata Deva.

Mobilnya Deva masih ada disitu sampe gue bener-bener masuk ke rumah gue.

Pas gue masuk, gue baru nyadar kalo gue masih pake jaketnya Deva.

Eh bentar, Deva kan ga pernah ke rumah gue, kok dia tau rumah gue?

GaudetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang