d

54.7K 5.4K 107
                                    

Aku tidak jadi pulang, karena dengan menyebalkannya mama Clara ternyata sudah menyuruh anaknya - yang juga sama menyebalkannya - membawakan barang-barang kami. Jadi, disinilah aku sekarang. Berpura-pura dan menyambut keluarga calon besan mama Clara dengan memasang senyuman yang kucoba atur seramah mungkin.

Makan malam pun berlangsung tepat pukul 07.30 malam. Obrolan ringan menghiasi meja makan itu, disertai dengan candaan-candaan ringan yang diberikan oleh papanya Andrean. Beliau memang sangat humoris dan menyenangkan.

"Yasmine terlihat semakin bersinar setelah menikah."

Pernyataan itu datang dari mamanya Andrean, tante Daisy. Dulu aku sangat dekat dengan beliau, jadi ketika hubunganku dan anaknya gagal, beliau yang merasa paling kehilangan. Karena beliau sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri, itu katanya.

"Terima kasih pujiannya, tante."

"Jadi, bagaimana rasanya memiliki suami?"

Itu papanya Andrean. Om Darren. Sebenarnya aku agak risih saat mereka bertanya padaku. Bukan bermaksud apapun, tapi ini kan makan malam untuk hubungan kakak iparku dan calon suaminya. Seharusnya mereka berdua yang menjadi topik pembicaraan malam ini, bukan aku.

"Begitulah, om. Melelahkan. Ternyata mengurus rumah tangga tidak semudah memenangkan tender besar."

Hampir semua yang mendengarnya tertawa. Entah di bagian mana dari kalimatku yang lucu. Padahal aku mengatakannya dari lubuk hati yang paling dalam.

Setelah puas membahas diriku, mereka kini fokus dalam pembahasan mengenai bintang utama pada makan malam kali ini. Aku tidak terlalu mendengarkannya, karena sibuk dengan makananku. Aku takut Baby Al terbangun dan menangis karena sendirian di dalam kamar.

Saat semua orang asik bercengkerama, tiba-tiba seorang pelayan mendekati meja makan sambil membawa Baby Al yang menangis. Aku merasa terselamatkan karena Baby Al. Ah, anakku begitu mengerti aku.

"Maaf semuanya. Aku harus pergi menenangkan anakku. Nikmati hidangannya. Permisi."

Aku segera membawa Baby Al ke kamar lama Hendrick. Ku timang-timang badannya, namun tangisnya tidak juga reda. Aku bingung melihat Baby Al yang menangis kencang dan tidak mau diam. Biasanya ketika bayi itu ada dalam dekapanku, maka dia akan berhenti menangis.

Ku lihat ke sekitar kamar, hingga pandanganku jatuh pada figura pernikahan Hendrick dan mbak Sandra yang terpajang di sana. Seketika aku paham apa yang membuat Baby Al menangis. Ada mbak Sandra di sana. Berdiam di dalam foto pernikahannya.

Selama ini dia tidak pernah berada di sekitar kami, karena aku mengira jiwanya sudah tenang. Ternyata dia masih terikat di sini. Kasihan sekali mbak Sandra yang tidak bisa pergi, karena banyak yang belum melepas kepergiannya dengan ikhlas.

'Mbak, mbak mau main sama Baby Al?'

Aku mencoba membangun komunikasi dengan mbak Sandra. Dia langsung keluar dari tempat persembunyiannya sesaat setelah aku bertanya demikian.

"Dia takut padaku."

'Itu wajar mbak, karena Baby Al masih kecil.'

"Tidak usah, Yasmine. Aku tidak mau anakku bisa melihat hal-hal yang tidak seharusnya dilihat."

'Baiklah.'

Aku membuka mata saat kudengar mbak Sandra akan kembali bersembunyi. Saat berkomunikasi dengan 'mereka' aku memilih memejamkan mata dan berbicara dalam hati. Alasannya adalah aku tidak ingin makhluk-makhluk itu mengetahui eksistensiku yang dapat melihat dan mendengar mereka. Aku juga ingin kehidupan normal, tanpa terhubung dengan mereka. Itulah sebabnya selama ini aku berpura-pura tidak melihat mereka.

Setelah beberapa saat tangisan Baby Al pun berhenti. Aku mencoba menidurkannya, mengusap-usap punggungnya pelan. Bayi itu akhirnya terlelap, begitu juga denganku yang tidak bisa menahan rasa kantuk lagi.

***

Hey, MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang