j

45K 4.6K 10
                                    

Hari pernikahan kak Alice dan Andrean pun tiba. Setelah hilir mudik ikut mempersiapkan segala persiapan pernikahan, akhirnya aku bisa bernafas lega. Hah, bahkan saat aku menikah, aku tidak serepot ini.

Acara pemberkatan keduanya dilakukan di gereja pagi tadi dengan dihadiri 200 orang kurang lebihnya, ditambah dengan beberapa dari pihak infotainment. Kini keduanya sudah sah menjadi suami istri.

"Kamu akan mengenakan baju itu untuk acara resepsi nanti? Di mana seragammu?"

Untuk acara nanti sore memang sudah ada seragam yang disiapkan untuk anggota keluarga, hanya saja aku tidak mau menggunakannya. Bukan tidak menyukainya, hanya saja ukurannya terlalu besar untuk tubuhku yang mungil. Jadi aku memutuskan menggunakan baju lain.

"Kenapa? Apa bajunya tidak cocok untukku?"

"Tidak sama sekali. Sebaiknya gunakan seragammu."

Kenapa sih manusia ini tidak bisa memberi pujian untuk istri sendiri? Padahal menurutku bajunya cocok-cocok saja untukku. Apa iya aku harus menggunakan baju yang kebesaran itu?

"Tapi seragamnya terlalu besar untukku."

"Coba ku lihat."

Tidak ada pilihan lain. Sebagai istri yang baik, aku segera menunjukkan wujudku saat menggunakan baju seragam yang kebesaran itu.

Sesuai ekspektasiku, dia hampir saja tertawa saat melihatku menggunakan bajunya.

"Kalau mau tertawa, tertawa saja. Kan sudah kubilang bajunya terlalu besar, ck."

Aku berdecak sebal dengan wajah merengut. Aku tahu ini ulah kak Alice yang melebihkan ukuranku, karena hanya dia satu-satunya yang mengurus masalah baju seragam ini.

"Bajunya bisa dikecilkan."

"Tidak mau. Lebih baik aku menggunakan baju yang tadi."

"Kamu ingin menggunakan baju yang lebih bagus dari Alice? Jangan mempermalukannya di pestanya sendiri!"

Justru dia yang pernah mempermalukanku di hadapan banyak orang! Ah, seandainya saja aku bisa menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.

"Kenapa sih? Kamu ingin aku menggunakan baju kebesaran ini?"

"Jangan membuatku malu! Di sana akan banyak kolega bisnisku akan hadir."

"Ya sudah, jangan berkomentar lagi."

Dia diam, tidak lagi mendebatku. Aku akhirnya mempersiapkan diri, karena resepsinya akan dimulai sebentar lagi, dan aku tidak ingin mama Clara marah.

"Kamu tidak bersiap?"

"Sebentar lagi."

"Kok sebentar lagi? Sana mandi, atau kita akan terlambat!"

"Baiklah."

Sementara Hendrick mandi, aku menghubungi mbak Tia. Mbak Tia adalah MUA yang dipekerjakan papa untuk meriasku saat akan menghadiri acara-acara formal. Dan dia juga yang akan meriasku untuk acara nanti.

"Mbak, udah di mana?"

"Udah dekat, kok. Tiga menit lagi sampai di tempatmu."

"Baiklah. Aku tunggu ya mbak."

Benar saja. Tiga menit kemudian terdengar suara bel pada pintu kamar hotel kami. Aku segera mempersilahkan mbak Tia masuk.

"Gimana rasanya menghadiri pernikahan mantan?"

"Luar biasa mbak. Bahkan mereka memintaku ikut mempersiapkan acaranya."

"Mereka tidak tahu hubungan kalian di masa lalu?"

"Tidak. Dan semoga saja tidak ada yang tahu. Aku malas jika disuruh menjelaskan."

Sambil merias wajahku, aku dan mbak Tia bercengkerama membahas banyak hal.

"Suamimu di mana?"

"Mandi."

"Ini nggak apa-apa dek? Mbak yakin kamu nanti jauh lebih cantik dari pengantinnya."

"Ya kan aku memang cantik mbak."

Selesai merias wajahku, mbak Tia kini berpindah pada rambutku. Selain merias wajah, mbak Tia adalah penata rambut profesional, dan memiliki selera fashion yang tinggi.

"Selesai."

Aku melihat bayanganku di cermin. Sempurna. Ini yang aku inginkan. Tampil lebih cantik dari pengantin wanita. Kukenakan gaun yang tadi ku coba dan kutunjukkan pada mbak Tia. Melihat responnya, aku puas.

***

Hey, MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang