Selain khawatir pada Maudy yang harus disikapi hati-hati agar tidak memicu reaksi trauma-nya, para orang tua juga khawatir pada Harry — yang menarik diri menjauh, namun bereaksi keras jika dipicu reaksi Maudy. Seperti, trauma keduanya bersangkutan.
Bagian paling memusingkan, para dewasa ini buta kejelasan yang terjadi. Mustahil menanyakan Maudy, juga sulit memecah kebungkaman Harry. Usaha mencari informasi pun nihil — sampai akhirnya mereka memutuskan berhenti setelah dua bulan.
Itupun karena Harry kembali berbaur — meski agak berbeda dari sebelumnya, lebih kalem. Maurin paling sukacita untuk ini, saking senangnya, sampai dia menangis.
"Akhirnya bang Ari mau ketemu Olin lagi, hiks.. Olin kira, hiks, Bang Ari gamau main sama Olin lagi, hiks.. Bang Ari ga pernah ada lagi hiks..."
Dalam pelukannya, Harry mengusap punggung Maurin. "Maaf ya. Abang masih mau kok main sama Olin. Jangan nangis dong."
Dilihat olehnya Maudy keluar rumah untuk buang sampah. Sekilas bertatapan, sebelum Maudy kembali masuk. Tau-tau, Harry mengeratkan pelukan.
"Abang kangen Olin banget ya? Peluknya kenceng," kata Maurin.
Harry mengangguk. "Kangen banget," gumamnya, dan maksudnya untuk dua orang. Rasanya ingin memeluk Maudy juga, tapi mustahil, makanya ia luapkan sekaligus pada Maurin.
"Abang sayang kalian.""Olin juga, sayangggggg bang Ari banget. Olin sedih pas bang Ari jarang ada."
"Sekarang bakal ada terus. Walaupun dari jauh, Abang bakal jagain terus. Ga akan Abang biarin adek-adek Abang sakit lagi, nangis lagi, lupa lagi. Engga akan."
Maurin terlalu kecil untuk mengerti implisit kata-kata Harry. Jadi bocah 8 tahun itu hanya terkekeh girang.
Lewat Maurin, Harry bisa tau kondisi Maudy. Kadang memang bertanya, tapi seringnya Maurin yang bercerita tanpa diminta. Kian hari Maudy makin membaik. Itu cukup untuk Harry. Melegakannya, Maudy tidak se-dingin dulu dengan sekitar. Dia tidak lagi murung sendirian, mau tersenyum ketika disapa — meski tipis — dan menanggapi orang lain. Ada juga saat dimana dia terlibat satu perintah bersama Harry, tapi minim interaksi.
Tentu karena sejumput rasa bersalah dan takut masih menghantui Harry. Jadi meskipun ingin, Harry tertahan untuk bersikap, makanya terkesan cuek. Agak menyesakkan sebenarnya karena Maudy tidak peduli, tapi mau bagaimana lagi? Di matanya kini, Harry itu bocah asing menyebalkan kan?
Makanya Harry hanya berani memantau seperti bayangan — tidak ketahuan, tidak kelihatan.
.
."Padahal bisa mulai dari awal lagi. Coba deketin perlahan, terus temenan lagi," respon bang Jali. Kalau diingat, lucu. Dua lelaki berjarak usia 17 tahun itu jadi dekat berkat Maudy secara tak langsung.
Bang Jali sadar selalu ada gadis kecil di bale sebrang lapangan yang mengamatinya main gitar. Lalu Harry, bisa kepikiran Maudy suka gitar karena lihat itu. Makanya Harry belajar gitar, itupun bang Jali yang bantu.
"Engga segampang itu bang," kata Harry lemah.
"Emang ngape?"
Ari takut nanti bikin sakit lagi. "Anaknya susah dideketin."
"Ya kan pelan-pelan tong. Pake gitar lagi kalau perlu."
Udah gabisa. Dia takut. Ari ngerasa sakit kalau dia takut. "Gitarnya rusak."
"Yeelah, pake tuh gitar gua. Dulu suka lu pinjem juga," sahut bang Jali. Harry tidak membalas.
"Atau mungkin lu nya takut," tebak bujangan ituBenar. Harry takut Maudy sakit, merasa sakit saat Maudy ketakutan. Segalanya bersangkutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walking Towards Me [COMPLETED]
Teen Fiction"Gausah, ketahuan pacar lu berabe nanti" "Gajadi, ketahuan pacar gua berabe nanti" ------------------------------------------ Well, mereka sebenarnya tidak cocok satu sama lain sebagai manusia saling ramah. Hanya kebetulan terikat situasi dimana sul...