[Chapter 2] || Kehilangan

1.2K 356 1.2K
                                    

- Kehilangan -

\
\

Mungkin, insiden pak Hadi bukan satu-satunya ujian di keluarga mereka. Pak Hadi dinyatakan koma, ada pendaharan di otaknya. Biaya rumah sakit mengalir deras, tak sebanding dengan pendapatan keluarga yang kini hanya bergantung dari penghasilan Herdi, anak tengahnya. Teddy tidak bisa banyak membantu karena sudah beristri dan belum punya penghasilan tetap. Bu Rita hanya ibu rumah tangga biasa. Sedikit terselamatkan dengan sikap baiknya selama ini sehingga beberapa kali tetangga terdekat melakukan galang dana untuk membantu pembiayaan. Lalu Harry, karena sedang berada di masa labil, dia sering terlibat masalah disekolah. Masih kelas 11.

Pernah sekali Maudy melihat Harry adu pukul dengan sesama orang berseragam putih abu-abu berantakan, tapi tidak cukup peduli untuk menghampiri. Maudy bukan benci pria itu, mereka hanya masih asing. Meski akrab dengan Maurin atau Ayah Bundanya, dengan Maudy tidak. Terlalu canggung. Maudy tidak seramah Maurin asal tahu saja. Lagipula, Harry juga tidak bermaksud beramah-tamah padanya. Yasudah.

Kemudian hal mengejutkan terjadi selang dua bulan. Sebuah bendera kuning tersemat di tiang portal komplek perumahan. Ayah dibalik kemudi terbelalak sebentar. Maudy sama terkejutnya. Bergegas mengemudi lagi, dalam hati berharap itu berita untuk rumah lain jauh dari sekitar rumahnya.

Tapi tidak, dari jauh keramaian itu sudah terlihat. Nuansa hitam pakaian kontras dengan langit yang masih ber-matahari. Ayah menepi, tidak bisa langsung kerumah karena rumahnya ada setelah rumah pak Hadi.

Maudy turun, tapi tidak mengikuti melangkah. Ia masih disamping pintu mobil, memperhatikan dengan nanar. Ayah bertemu Bunda, sedikit sembab. Lalu berbaur dengan bapak-bapak lain membantu rangkaian proses pemakaman. Ada bang Herdi, jalan sambil menunduk, bang Teddy juga terlihat.

Selain kesibukan di luar rumah, Maudy tidak melihat apa-apa lagi, tetapi hatinya terasa diremas. Entah kenapa bayangan Bu Rita masuk ke pikirannya, menangis sejadi-jadinya.

Ya Allah, maaf. Untuk sesaat tadi Maudy pikir ini lebih baik karena Pak Hadi tidak lagi merasakan atau menahan sakit lagi. Tapi ternyata salah, yang kehilangan lah yang lebih menyakitkan, bukan yang menghilang.

Maudy tidak tahu berapa lama ia memperhatikan, sampai akhirnya keranda itu diangkat keluar rumah. Diikuti Bu Rita yang dituntun istri bang Teddy dan kerabat lainnya, Bunda dan ibu-ibu tetangga lain. Harry baru terlihat disana, dengan kemeja hitam, mengangkat sisi kiri tengah keranda.

Ayah mendekat ke mobil, matanya sedikit memerah.
"Loh? Ody dari tadi disini?"

Maudy mengangguk kecil.

"Maaf, Ayah buru-buru tadi. Ody mau ikut ke makam? Bunda sama Olin juga mau kesana."

"Tapi Ody belum ganti baju."

"Gak apa-apa." Dan untungnya, jaket Maudy berwarna hitam.

Mobil Ayah dipakai untuk membawa sisa kerabat pak Hadi yang datang. Harry juga disini karena dua motor di rumahnya sudah dipakai. Mereka duduk dibangku belakang, dengan Maurin ada diantara Maudy dan Harry.

Untuk saat ini, Maudy tertarik memperhatikan secara tidak langsung keadaan bungsu keluarga itu. Lewat bayangan kaca mobil, atau diam-diam melirik, penasaran dengan kondisi Harry. Pria itu hening, sorot matanya layu tapi ekspresinya biasa. Senyum dan seringai khas nya pun kaku ketika bicara dengan Maurin. Adiknya itu menggenggam tangan Harry sambil masih terisak. Maudy spontan mengusap surai rambut Maurin untuk menenangkannya.

Seperti tadi, ketika di makam pun Maudy hanya memperhatikan dengan jarak. Suasana ini asing, ia terbiasa melihat orang-orang tersenyum dan ramah padanya, jadi Maudy sedikit takut. Ia pernah kehilangan banyak hal karena pindah, tapi yang sekarang rasanya jauh lebih menyiksa. Maudy tersiksa melihat ekspresi asing itu. Bu Rita yang ramah tidak berhenti menangis, bang Teddy, bang Herdi yang jenaka tampak murung, Harry . . .

Walking Towards Me [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang