"Kita harus mengambil alih semua resto DAMA."
Langkah Bian terhenti sebab sebuah perkataan yang tidak sengaja didengar. Suara tersebut tidak asing baginya. Akan tetapi, ia tidak paham apa yang tengah diperbincangkan oleh seseorang yang Bian tebak adalah papanya sendiri.
Pria 26 tahun itu mendekat ke ambang pintu. Ia memutar knop dengan pelan dan penuh kehati-hatian. Tidak perlu membuka pintu secara sempurna, karena Bian hanya butuh sedikit celah untuk memastikan siapa yang sedang berbicara.
Benar saja, dua orang pria ada di sana. Di ruang kerja milik Atifah―mama Bian. Keduanya berdiri menghadap ke jendela. Dengan posisi yang seperti itu, cukup membuat Bian aman untuk mendengarkan percakapan antara Papa dan saudara tirinya.
"Usaha Mama Atifah itu ada banyak, Pa. Kenapa harus resto yang kita ambil?" tanya Caka.
"Restoran milik Atifah itu perkembangannya cukup pesat dari usaha yang lain. Apalagi sekarang cabang DAMA ada di mana-mana. Kalau kita mendapatkan hak milik resto itu, kita tinggal duduk manis." Pria paruh baya tersebut memberi penjelasan kepada anaknya.
"Soal Bian bagaimana? Mama pasti akan memberikan resto itu sama Bian."
"Itulah tugas kita. Bagaimanapun caranya, restoran itu harus jatuh ke tangan kita, Caka!"
Sudah Bian duga dari sebelumnya, bahwa Mahadi menikahi ibunya bukan karena cinta. Ternyata lelaki tua itu memang memiliki tujuan lain. Menjijikan sekali ayah dan anak itu!
Bian cepat-cepat pergi sebelum keberadaannya diketahui oleh Mahadi dan Caka. Sekarang, yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya agar Bian bisa mengimbangi atau bahkan membalas permainan cantik mereka.
Sebelum pergi, Bian menemui mamanya yang masih terbaring di ranjang. Sudah tiga bulan ini Atifah sakit dan dia harus istirahat total.“Pagi, Ma!” sapa Bian yang masuk tanpa permisi.
Atifah yang sedang terbaring, lantas bangun karena terkejut dengan kehadiran anaknya. Kebiasaan Bian itu tidak pernah hilang, padahal Atifah sudah berkali-kali mengingatkan. Entah dengan cara seperti apalagi Atifah harus menguingatkan anaknya.
“Kamu ini, bikin Mama keget!”
Bian tertawa kecil seraya duduk di tepi ranjang. Dilihatnya lekat-lekat wajah Atifah yang semakin hari semakin kurus. Kulit kuning langsat itu pun berubah menjadi putih pucat.
Setiap kali Bian akan pergi bersama teman-temannya, dia merasa sangat berat meninggalkan Atifah yang sedang sakit. Namun, keberadaan Mahadi dan Caka di rumah membuat Bian tidak betah. Sejak awal, pemuda lulusan Ekonomi Managemen dan Bisnis itu tidak menyetujui pernikahan mamanya. Kehilangan seorang ayah memang sangat menyakitkan bagi Bian, tetapi bukan berarti ayahnya bisa digantikan.
“Kalau Papa pas di kamar dan lihat kamu kayak gini, gimana?”
Bian benci itu. Dia tidak suka tiap kali Atifah menyebut Mahadi dengan sapaan papa . Bagi Bian, papanya hanya satu dan sekarang beliau sudah tiada.
Bian tidak terima dan berkata, “Ma, please! Pak Mahadi itu bukan papaku. Dia suami Mama, tapi bukan papaku. Oke?
“Sampai kapan kamu akan tetap seperti ini, Bian? Papamu itu sudah meninggal dan sekarang papamu adalah Mahadi!” geram Atifah.
Tiap kali membahas tentang seorang ayah, pasti berujung dengan kemarahan keduanya. Dengan keadaan yang seperti itu, akan menyulitkan Bian untuk memberi penjelasan kepada mamanya bahwa Mahadi memiliki niat buruk. Atifah pasti tidak akan percaya dengan apa yang Bian katakan.
Bian berdiri dan berjalan pergi. Tetap di dalam kamar hanya akan memperpanjang urusannya dengan sang Mama. Saat Bian membuka pintu, dia dikejutkan oleh Mahadi. Lelaki dengan kumis dan brewok itu memberi tatapan tidak suka kepada anak tirinya.
“Kamu mau ke mana, Bian?” tanya Mahadi.
“Seperti biasa, mencari kebahagiaan di luar sana,” jawab Bian enteng.
Sikap Bian yang terkesan seenaknya sendiri membuat Mahadi kesal. Keberadaan dan statusnya di keluarga Atifah seakan tidak diakui. Anak satu-satunya Atifah dengan Alm. Yosa terang-terangan memperlihatkan ketidak sukaannya dengan Mahadi.
“Sampai kapan kamu begini terus? Apa kamu tidak kasihan melihat mamamu yang sedang sakit?” tegas Mahadi, “Kamu ini sudah lulus kuliah, kamu sudah dewasa, Bian! Kalaupun tidak mau mencari kerja, paling tidak bantu mamamu mengurus usahanya!”
Dengan susah payah, Atifah berjalan mendekat pada dua pria yang tengah berseteru. Dia paham benar bagaiamana anakanya, semakin dia dikekang semakin kuat juga untuk melawan. Atifah takut jika Bian akan semakin membenci suaminya.
“Apa aku tidak salah dengar?” Bian tersenyum sinis. “Bukannya Anda dan Caka akan sangat bahagia jika aku tidak turun tangan mengurus usaha Mama?”
Mata Mahadi membelalak. Ada khawatir dan benci yang dia rasakan sekaligus. Ya, khawatir dengan maksud perkataan Bian, dan benci dengan anak tirinya yang selalu menentang.
“Sudahlah, Bian,” ujar Atifah seraya mengelus pundak anaknya.
“Maaf, Sayang ... tapi aku kira, Bian semakin keterlaluan,” sela Mahadi, “Dia pikir, mencari uang itu mudah dan bisa dihambur-hamburkan sesuka hati.”
Mahadi memang tidak suka melihat Bian yang hanya bisa menghambur-hamburkan uang. Pemuda itu tidak mau bekerja sendiri, tetapi kebutuhan dan keinginannya harus tercukupi. Belum lagi hobinya traveling yang menghabiskan banyak uang Atifah.“Lalu, Anda mau apa kalau aku terlaluan? Memukulku, iya? Atau, mau mengusirku?” tantang Bian.
“Iya, aku ingin mengusirmu!” geram Mahadi, “Pergilah dari sini!”
“Baik, aku akan pergi,” jawab Bian, tenang.
Pria jangkung itu lantas mendekat kepada Mahadi dan membisikkan sesuatu di telinga papa tirinya. Atifah hanya diam tak berdaya melihat perseteruan suami dan anaknya. Setelah selesai berbisik, Bian tersenyum sinis dan membuat Mahadi terlihat gugup.
“A-apa maksudmu, Bian!”
![](https://img.wattpad.com/cover/264280574-288-k580059.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Impossible
General FictionSetiap diri pasti memiliki arti. Meski terkadang, semua orang bersikap tak peduli. Biantara Jayastu ingin membuktikan bahwa dirinya berarti melalui sebuah kompetisi memasak. Dia yakin bahwa julukan Mr. Imposiblle yang tersemat dalam dirinya tidak be...