Bagian 3: Perjanjian Bian dan Caka

20 6 0
                                    

Bian dan Caka saling bersalaman sebagai bentuk persetujuan keduanya. Mahadi dan Atifah pun setuju denga keputusan anak mereka. Mungkin memang dengan cara seperti itu akan lebih objektif.
Sebenarnya, Atifah ingin sekali menjadikan Bian sebagai penerus usaha kuliner milik keluarga Jayastu. Akan tetapi, wanita tangguh itu belum bisa percaya anaknya bisa mengurus usaha tersebut. Selama ini Bian tidak pernah bekerja dan terjun langsung ke lapangan. Anak lelakinya itu hanya bisa berfoya-foya. Atifah takut, jika pilihannya terhadap Bian akan mengecewakan banyak pihak.

"Apa tidak sebaiknya perjanjian ini dibuat secara resmi?" kata Atifah memberi saran.

"Benar, Ma. Kecurangan ada di mana-mana. Termasuk di rumah ini. Aku memang harus berhati-hati," sindir Bian.

"Tenang, nanti akan aku buatkan surat perjanjanjianya." Caka tampak begitu tenang.

Atifah pergi lebih dulu dengan dituntun suaminya. Caka mengikuti di belakang. Sementara itu, Bian masih duduk di kursi putar milik mamanya.

Untuk mengikuti kompetisi masak, pemuda yang hobi traveling itu harus berusaha keras. Ia juga harus melupakan rencananya untu travling bersama komunitasnya. Fokus Bian saat ini hanyalah masak.

Anak Atifah tersebut lantas membuka ponsel. Ia berselancar di dunia maya untuk mencari tahu tentang kompetisi yang akan diiktinya dan Caka.
Sebuah artikel tentang Mister Chef terpampang jelas di layar ponsel. Bian membacanya perlahan untuk bisa memahami. Kompetisi memasak tingkat nasional yang diadakan oleh stasiun TV swasta itu ternyata baru berlangsung satu kali. Satu bulan lagi, kompetisi memasak khusus pria itu akan membuka pendaftaran.

Pertama, Bian mencari apa yang dia butuhkan untuk mendaftar. Ternyata, pendaftaran babak pertama tidak terlalu susah. Sebab, ia hanya perlu mengisi formulir melaui google. Babak kedua ini yang membuatnya agak ragu, karena hasil masakannya akan dinilai langsung oleh juri.

"Apa yang harus aku lakuakan?" Bian mengacak rambutnya.

Entah dari mana ia akan memulai semua ini. Belajar otodidak dari internet rasanya tidak akan pernah cukup. Dia butuh guru, dia butuh orang yang bisa mengarahkan.
Mama Atifah memang sangat pandai memasak. Hasil olahan tangannya tidak diragukan lagi. Akan tetapi, Bian tidak mungkin berlajar dari sang Mama. Wanita ringkih itu sedang membutuhkan banyak waktu untuk beristirahat.

"Orang resto pasti tau. Salah satu dari mereka pasti ada yang bisa membantuku." Bian langsung bangkit dan akan segera menuju restoran.

Motor Bian melaju kencang membelah jalanan. Bagi penyuka motor gede itu, ia hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke Restoran Dapur Mama. Padahal, orang lain butuh waktu dua kali lipat darinya.

Kedatangan Bian di restoran keluargaya disambut ramah oleh karyawan. Meski jarang datang ke sana, tetapi semua karyawan mengenal Bian. Sebab, wajah tampan itu menghiasi semua akun sosmed milik Atifah.

"Mas Bian ...," kata seorang pegawai, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau ke dapur." Bian menjawabnya singkat.

Perempuan dengan buku menu di tangan itu menautkan alisnya. Kedatangan Bian ke restoran saja sudah aneh, apalagi permintaannya barusan.

"Dapur?" Perempuan itu memastikan.

"Ya, antarkan aku. Aku mau melihat kinerja orang bagian dapur." Bian langsung berjalan menuju dapur.

"Chefnya siapa? Masih Chef Anto, bukan?"

"Masih, Mas."

Menjelang jam makan siang, Restoran Dapur Mama mulai ramai. Orang yang bertugas masak pun sibuk semua. Suara dentingan pisau dan peralatan masak lainnya beradu dengan suara penggorengan. Kali ini, Bian hanya berkeliling untuk mengamati kegiatan mereka. Dia tahu, semua orang sedang sibuk dan dia tiak mungkin menggangu salah satu dari mereka.

Dering ponsel membuat Bian menjauh dari dapur. Dengan malas dia mengangkat telepon dari Caka. Saudara tirinya itu menanyakan keberadaan Bian, sebab dia akan memberikan surat perjanjian yang Bian inginkan.
Tidak lama kemudian, Caka datang dengan sebuah stopmap di tangan.
Sementara itu, Bian justru menunggu saudara tirinya dengan tidur santai di sofa yang berada di ruang Atifah.

"Ini, silakan baca dan tanda tangan." Caka meletakkan surat perjanjian tersebut di meja depan Bian.
Masih dengan rasa malas yang sama, Bian bangkit dan membaca surat tersebut. Tidak ada yang janggal, semua terlihat normal. Tanpa ragu, keturunan keluarga Jayastu itu langsung menanda tangani surat perjanjian antara dirinya dengan Caka.

"Percayalah, kamu tidak akan pernah bisa melewati tantangan ini." Caka mengina saudara tirinya.

"Oh, ya? Bilang saja kalau kamu takut bersaing denganku, pecundang!" balas Bian.

Caka tertawa sumbang. "Mana mungkin! Selama ini kamu itu hanya benalu untuk keluarga dan lingkungan. Lihat apa yang pernah kamu berikan untuk mamamu, prestasi apa yang pernah kamu beri untuk sekolahmu! Apa yang kamu berikan? Hah! Kamu itu tidak bisa apa-apa, Biantara!"

Bian berusaha tenang menghadapi manusia licik seperti Caka. "Sudahlah, jangan banyak omong. Kita buktikan saja."

Caka kembali tertawa mengejek Bian. "Lucu sekali, manusia yang tak berguna dan tidak bisa apa-apa mau menyaingiku? Sepertinya kamu butuh cermin, Mister Impossible!"

Tangan Bian mengepal kuat. Ia sudah siap melayangkan bogem mentah ke wajah anak Mahadi. Tangan Bian melayang dan hampir mengenai wajah Caka, tetapi suara knop diputar dari balik pintu, terdengar jelas.

Ceklek ....

Pintu terbuka. Memperlihatkan sesosok perempuan dengan rambut sebahu. Kedatangannya mengalihkan perhatian seorang Bian. Namun, tidak dengan tangannya yang masih mengambang di depan wajah Caka.

"Ah, maaf ... sepertinya saya salah ruangan," ujar si perempuan yang mengenakan masker. Ia sempat melihat Bian, membuat pandangan mereka beradu sejenak sebelum akhirnya perempuan itu menutup kembali pintu ruang kerja Atifah.

Mr. ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang