Bagian 13: Menjelang Pendaftaran Kompetisi

16 6 0
                                    

Dua pria penuh pesona itu sedang berada di dapur. Mereka bersiap dengan bahan dan peralatannya sendiri. Untung saja di dapur ada dua kompor, sehingga mereka bisa masak pada waktu yang sama.

Bahan yang akan Bian gunakan sudah siap. Berbeda dengan Caka yang masih mencari sesuatu di kulkas, padahal bahan yang sudah dia ambil sudah cukup banyak. Lelaki bermata cokelat pudar itu hanya melihat Caka penuh tanya. Ia tak mengerti kenapa Caka mengambil begitu banyak bahan makanan. Bukankah mereka akan sama-sama membuat telur dadar?

"Mama nungguin di sini aja, ya," ucap Atifah, "Masak telur dadar bisa cepet, 'kan?" lanjutnya seraya duduk.

Dapur di rumah Atifah memang tak memiliki sekat dengan ruang makan. Hanya sebuah bar minimalis. Wanita berwajah putih pucat itu memilih duduk di depan bar, agar apa yang Bian dan Caka lakukan bisa dilihat.

"Siap, Ma." Hanya Caka yang menyambut perkataan Atifah dengan semangat.

"Bian udah selesai siap-siapnya?" tanya Atifah.

Sedari tadi ibu beranak satu itu memerhatikan sang anak. Wajah Bian tidak ceria seperti saat baru pulang. Apa mungkin karena Caka? Sepertinya memang begitu. Sebab, selama ini Bian memang tidak menyukai Caka.

"Udah," jawab Bian singkat.

"Yaudah, langsung mulai aja. Mama udah laper, nih." Atifah berusaha memberi semangat dengan bahasa yang tersirat.

Tanpa menjawab, pemuda berambut hitam legam itu lantas memotong daun bawang. Tangan kokohnya bergerak pelan memainkan pisau tajam. Dedaunan panjang tersebut, kini telah berubah bentuk, menjadi tipis dan kecil.

Bian lantas beralih pada bahan berjenis umbi lapis. Ya, apalagi kalau bukan dua bawang. Sama seperti tadi, pisau tajam di tangannya menari dengan hati-hati. Pun dengan bahan pelangkap lainnya yang dia persiapkan dengan baik.

Di sisi yang lain, Caka tengah mengiris tahu berbentuk persegi. Dilanjutkan dengan memotong daun bawang, cabai rawit dan bawang. Sebuah wajan kecil lantas dipanaskan, lalu sedikit minyak dituang perlahan. Lelaki yang sebelumnya pernah belajar memasak tersebut lantas menumis bawang dan cabai.

Dengan cekatan, tangan gagah itu beralih pada tiga buah telur yang dikocok dalam wadah besar. Potonganan daun bawang, tumisan cabai, tiga sendok tepung maizena, sedikit ketumbar bubuk, kaldu ayam dan saus sambal dimasukkan ke wadah berisi telur. Tangan tersebut langsing bekerja cepat mengaduk semua bahan sampai rata. Sejurus kemudian potongan tahu, lada, gula dan garam dimasukkan ke adonan. Caka mengaduknya pelan. Rata, tetapi tidak sampai membuat tahu hancur.

Aroma lezat langsung menguar di dapur dan tempat makan. Dua lelaki tampan itu sama-sama sedang menggoreng telur. Meski Bian memulai lebih dahulu, tetapi di step terakhir Caka bisa menyusul. Maklum saja, Caka sudah cukup cekatan untuk mempersiapkan berbagai bahan makanan.

Sampai menyajikan telur yang sudah masak, Bian tak menemui kesulitan yang berarti. Hanya saja, saat mengiris dan memperkirakan berapa banyak bumbu yang dibutuhkan untuk membuat makanannya lezat, Bian masih sedikit lama. Mungkin karena memang belum terbiasa.

"Sudah siap, Ma," ujar Caka penuh semangat, "Silakan dicoba," lanjutnya seraya meletakkan sepiring telur dadar.

Wajah Caka tampak begitu berseri. Bibir tipsnya terus mengukir senyum semringah. Ia sangat yakin jika sang Mama akan menyukai makanan sederhana buatannya.

Bian menyusul dengan langkah lunyai. Berbeda sekali dengan Caka yang ceria dan penuh semangat, Bian justru murung dan lemas. Sejujurnya bukan kemampuan Caka yang membuat dia seperti itu. Akan tetapi, sikap saudara tirinya itu yang begitu sombong.

Tampilan masakan Bian sangat sederhana. Namun, ia tidak peduli walaupun masakan Caka terlihat elegan. Bagi Bian yang terpenting adalah mengalahkan dirinya sendiri. Ia akan membuktikan bahwa Bian yang dulu tidak sama dengan Bian yang sekarang.

"Kayaknya sama-sama enak, nih." Atifah mengambil nasi, lalu mengambil masing-masing satu potong dari masakan dua anaknya.

Wanita pemilik restoran itu tampak menikmati masakan sang anak. Makannya lebih lahap dari yang sebelumnya. Ya, semenjak sakit napsu makan Atifah memang menurun. Kalau tidak dipaksa, dia tidak mau makan.

"Emh ... makasih, ya ... kalian emang anak Mama yang terbaik. Sama-sama enak. Kalian the best!" ujar Atifah setelah selesai makan.

"Punya siapa yang paling enak, Ma?" tanya Caka antusias.

Dalam hatinya ia sangat yakin bahwa Atifah akan mengatakan bahwa makanan buatanya yang paling enak. Dari tampilan saja, makanan Bian terlihat sangat sederhana dan tidak menarik. Jauh berbeda dengan hasil racikan Caka.

Atifah berdiri. Ia tersenyum manis dan menepuk bahu Caka. Hal tersebut membuat Caka semakin yakin bahwa sang Mama akan memuji hasil masakannya.

"Sama-sama enak. Mama nggak bisa nilai. Semangat terus anak mama. Selalu tunjukkan yang terbaik tanpa menjatuhkan yang lain," ujar Atifah sedikit menyindir.

Senyum di wajah Caka pudar. Berganti dengan senyum kemenangan yang Bian tunjukan. Keduanya saling menatap penuh kebencian.

"Pendaftaran satu minggu lagi. Satu minggu berikutnya pemanggilan dengan membawa hasil masakan. Aku pastikan kamu akan tersingkir!" bisik Caka penuh amarah.

Mr. ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang