Caka sedikit mendorong tubuh Bian saat saudara tirinya itu tengah memerhatikan perempuan tadi. Bian cukup terkejut, hampir saja tubuhnya hilang keseimbangan. Akan tetapi, dia tidak memberikan balasan apa pun kepada Caka."Bersiaplah untuk kalah!" kata Caka sedikit berteriak, seraya keluar dari ruang tersebut.
Sebenarnya Bian begitu emosi dengan perkataan Caka yang diulang berkali-kali. Namun, ia tak membalas dengan umpatan. Bian berjanji pada dirinya untuk menunjukkan bahwa dia bisa menaklukkan tantangan tersebut. Ia juga berjanji untuk membungkam mulut Caka dengan prestasinya.
Dari balik ruangan mamanya, anak pemilik restoran itu tidak mendengar suara banyak orang. Dia lantas melihat jam besar yang menempel di dinding. Ternyata waktu makan siang sudah selesai. Pasti pengunjung sudah mulai pergi.
Bian segera ke luar. Ia akan menemui kepala Chef di restoran keluarganya. Darinya, Bian akan belajar memasak mulai dari hal yang paling mendasar. Membedakan ketumbar dengan merica misalnya.
"Chef Anto, aku ma―"
Dua orang dalam ruang kecil itu menoleh secara bersamaan. Sepertinya mereka sedikit terkejut dengan kedatangan Bian. Sementara itu, Bian merasa kikuk. Kebiasaan masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu lebih dahulu ternyata membuat dia malu sendiri.
"Em ... maaf, aku kira nggak ada tamu," ujar Bian.
"Ya, sudah, saya permisi." Perempuan yang bersama Chef Anto berpamitan. Ia lantas melewati Bian yang berada di dekat pintu.
Mata Bian tak bisa lepas dari perempuan tersebut. Entah kenapa, perempuan bermaasker tersebut seperti tidak asing baginya. Apa mungkin mereka pernah bertemu sebelum ini?
"Silakan masuk, Mas Bian," ujar Chef Anto mempersilakan.
Bian tersadar dari tatapannya yang enggan lepas dari gadis tadi. Ia langsung menoleh kepada Chef Anto. Setelah itu, Bian melangkah pasti dan langsung duduk di kursi yang tersedia.
"Eum ... Chef, tadi itu siapa? Kok, kayaknya aku nggak asing sama dia," tanya Bian.
Bukan hal tersebut yang sebenarnya akan Bian tanyakan. Akan tetapi, dari tadi dia sudah sangat penasaran dengan perempuan itu. Bian merasa begitu mengenali gadis yang baru keluar dari ruangan Chef. Ya, dia adalah gadis yang sama dengan gadis yang tadi salah masuk ruangan.
"Oh, dia anak saya, Mas," jawab Chef Anto, santai, "Ya, kalau ada acara resto dia juga sering datang. Pasti kalian pernah ketemu."
"Bukannya kata Mama, waktu itu Chef izin tidak masuk karena ke Singapura menjenguk anaknya yang sakit?" tanya Bian, lagi.
Chef Anto tersenyum. "Iya, dia baru pulang kemarin karena ada panggilan tugas di sini. Ngomong-ngomong Mas Bian ada keperluan apa, ya? Kayaknya dari siang udah ikut sibuk di dapur."
Bian menggaruk pelipisnya. Tawa singkat juga terlihat dari wajah tampan itu. Ia tidak tahu jika Chef Anto yang terlihat begitu sibuk dengan wajan ternyata memerhatikan kedatangannya di dapur.
"Jadi, gini, Chef. Aku mau minta tolong."
Lelaki yang sudah mengabdi puluhan tahun untuk Resto DAMA itu mengerutkan kening. Aneh sekali seorang Biantara Jayastu menemui nya untuk meminta bantuan. Biasanya, kedatangan Bian ke restoran hanya untuk mencari sang Mama. Kadang, dia juga datang untuk mengajak teman Komunitasnya makan di tempat tersebut.
"Bantuan apa?" tanya Chef Anto, bingung.
"Aku mau belajar memasak dan ... eum ... apa Chef Anto bersedia mengajariku?" tanya Bian sedikit ragu.
Wajah lelaki berusia lebih dari 40 tahun itu tampak bimbang. Ia pun tak langsung menjawab pertanyaan Bian.
"Bagaimana, Chef?" Bian mengulangi pertanyaan yang tak kunjung dijawab.
"Sebenarnya saya mau, Mas. Tapi ...."
"Tapi Chef Anto sudah berjanji untuk menjadi guru masak saya." Caka masuk tanpa permisi, ia langsung memotong ucapan Chef Anto.
Merasa geram, Bian langsung berdiri dan menatap tajam kepada saudara tirinya. Lagi-lagi Caka mengacaukan semuanya. Bian semakin yakin, ini adalah salah satu cara Mahadi dan Caka menjatuhkan dirinya. Apalagi alasannya kalau bukan hak milik restoran yang mereka incar.
"Kamu!" geram Bian.
"Setelah Maghrib sampai jam setengah delapan malam, saya tunggu di dapur, Chef. Jangan khawatir, uang lembur akan saya beri dua kali lipat." Caka tersenyum sinis kepada viralnya. Setelah mengatakan itu, dia pergi. Meninggalkan Bian dengan rasa kesal yang tak kunjung hilang.
Bian kembali duduk. Ia tertunduk. Rambut yang mulai memanjang itu, diremasnya kuat-kuat. Dia hanya ingin membantu keluarganya mempertahankan resto ini, tetapi kenapa harus sulit begini?
"Maaf, Mas Bian. Saya tidak bisa membantu," ujar Chef Anto, lemah.
Bian kembali ke posisi awal. Dia menembuskan napas berat. Melelahkan sekali harus berurusan dengan manusia licik seperti Mahadi dan Caka. Jika saja Atifah tahu bahagiamana liciknya Mahadi, Bian yakin, dua manusia licik itu akan segera diusir oleh ibunya. Namun, tidak semudah itu untuk mengatakan hal tersebut kepada sang Mama. Bian harus memiliki bukti. Lebih dari itu, Bian juga harus menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi penerus usaha kuliner milik keluarga Jayastu.
"Tenang Mas Bian. Saya ada cara lain." Chef Anto tersenyum penuh makna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Impossible
General FictionSetiap diri pasti memiliki arti. Meski terkadang, semua orang bersikap tak peduli. Biantara Jayastu ingin membuktikan bahwa dirinya berarti melalui sebuah kompetisi memasak. Dia yakin bahwa julukan Mr. Imposiblle yang tersemat dalam dirinya tidak be...