Bagian 10: Masakan Pertama

14 6 1
                                    


Semua orang bersorak-sorai. Tepuk tangan begitu meriah, menyambut tantangan Caka kepada saudara tirinya. Mereka terlihat begitu antusias. Namun, tidak dengan Chef Anto. Beliau tahu betul perbandingan keduanya cukup signifikan. Caka sudah bisa menguasai banyak hal tentang dunia tata boga. Berbeda dengan Bian yang baru tahu peralatan memasak.

"Kamu tidak akan menolak, kan, Bian?" tanya Mahadi. Lelaki itu menyunggingkan senyum sinis terhadap anak tirinya.

"Semua orang sepertinya sangat menantikan masakan kalian. Calon penerus resto harus bisa masak." Mahadi terus melakukan provokasi.

Tangan Bian mengepal kuat. Ada emosi yang dia tutupi rapat-rapat. Kelakuan Caka dan Mahadi sangat membuatnya marah.

Dengan licik, anak dan bapak itu menjebak Bian dengan sebuah tantangan yang belum dibicarakan sebelumnya. Kedua pilihan yang diberikan mereka sama buruknya untuk Bian. Menerima tantangan dan memberikan hasil masakan buruk, atau menolak tantangan dan disebut pengecut. Kedua pilihan tersebut hanya akan menjatuhkan harga diri Bian.

Bian menoleh kepada Chef Anto. Ia butuh pertimbangan dari seseorang yang berpikiran jernih. Lelaki dengan kemeja lazuardi itu takut jika keputusan yang diambil saat emosi justru membuatnya melakukan banyak kesalahan.

Chef Anto mengangguk pelan. Sebenarnya, ahli seni boga tersebut merasa bersalah karena belum sempat mengajarkan Bian memasak sedikit pun. Bagi Chef Anto, tidak masalah Bian kalah dalam pertandingan daripada menjadi pengecut sebelum peperangan.

"Oke, aku terima tantantanmu!" ujar Bian lantang.

Tidak ada kemampuan yang Bian miliki. Ia hanya memiliki keberanian. Entah bagaimana nanti hasilnya.

Sorak semarai berpadu dengan tepuk tangan dari semua orang membuat suasana malam terkesan meriah. Semua tamu tidak sabar dengan duel antara Bian dan Caka. Sebagian dari mereka memang sudah tahu jika dua saudara tiri itu hendak mengikuti kompetisi masak bergengsi.

Bian mendekat pada Caka. Mereka saling berhadapan dari jarak yang cukup dekat. Keduanya lantas melemparkan tatapan penuh kebencian.

"Semua sudah saya siapkan," ucap seseorang yang membuat Caka dan Bian mengalihkan tatapan mereka. "Mari, saya antarkan."

"Terima kasih," balas Caka.

Caka dan Bian lantas mengikuti lelaki  berkaus hitam itu. Ketiganya berhenti di tempat yang tak jauh dari tempat sebelumnya. Dua meja berisi peralatan masak dan bahan makanan sudah tersedia di sana.

Pria bermata cokelat pudar itu memerhatikan baik-baik apa saja yang ada di meja masak. Untuk bumbu dan peralatan masak, Bian sudah paham. Semuanya masih terlihat familiar. Cabai, dua bawang, garam, sayur mayur dan ... sebuah kotak stainless yang masih tertutup.

Lelaki berkaus hitam tadi menjadi pemandu acara. Ia mempersilakan kedua rival tersebut untuk lebih dekat dengan meja masak. Akan tetapi, ia belum memperbolehkan Bian dan Caka membuka kotak stainless.

"Di kotak itu, ada bahan utama untuk kalian sajikan," kata pemandu acara, "Tenang, itu nggak susah karena sudah sedikit diolah. Kalian hanya perlu mengeksekusi secara sempurna. Di depan kalian ada beberapa bahan masakan. Terserah mau dibuat apa."

Dari tadi Caka tersenyum penuh percaya diri. Seolah dia akan bisa menaklukkan semuanya dan mempermalukan Bian. Ya,  bisa saja pria itu memang sudah tahu apa yang akan mereka masak. Bukankah acara malam ini juga bagian dari rencananya?

"Oke ... oke ... saya tahu kalian sama-sama baru belajar masak. Jadi, saya kasih kemudahan sedikit."

Bian mengangkat wajah. Dia sangat menunggu kemudahan apa yang bisa didapatkan. Semoga saja itu bukanlah sebuah jebakan.

"Kalian boleh tanya, minta tips, saran atau apa pun. Kepada siapa pun. Silakan tanya bagaimana cara memasak atau harus masak apa. Bebas, ya, mau bertanya apa. Tapi ... saya hanya memberi 10 menit pada kalian untuk bertanya."

Setelah semua penjelasan sudah disampaikan, Bian buru-buru menghampiri Chef Anto. Berbeda dengan Caka yang tampak tenang. Dia bahkan tetap berada di depan meja masaknya. Sepertinya, anak Mahadi itu memang sudah siap dengan kompetisi malam ini.

"Chef ... bagaimana ini?" tanya Bian. Di depan Chef Anto, dia tidak bisa menyembunyikan kegugupan yang tengah dirasakan.

"Tenang Mas Bian," ucap Chef Anto, "Kalau saya lihat dari bahan yang sudah ada di meja, lalu kotak makan, sepertinya kotak itu berisi protein hewani. Kalau yang paling sederhana biasanya ikan atau ayam. Mas Buana tahu, kan, harus menggunakan metode apa untuk menggoreng ikan atau ayam?"

Bian mengangguk. Pelajaran pagi tadi masih diingatnya dengan baik. Namun, bagaimana dia bisa memasak?

"Lalu, masaknya?" tanya Bian, lagi.

"Goreng saja makanan yang ada di dalam kotak itu. Untuk pelengkap coba buat sambal dan jadikan sayur sebagai lalapan." Chef Anto memberikan cara yang paling sederhana. Masakan seperti itu memang cukup mudah disajikan oleh kaum awam.

"Wajannya harus benar-benar panas sebelum minyak dituangkan. Jangan sering dibalik entah itu ikan atau ayam. Beri sedikit tetesan jeruk nipis atau garam di minyak, biar tidak meletup saat digoreng."

Instruksi Chef Anto yang sederhana mudah dimengerti oleh Bian. Akan tetapi, mudah dimengerti belum tentu mudah dipraktikkan. Bian tidak terlalu peduli. Paling tidak dia sedikit tahu tentang cara menggoreng.

Sepuluh menit berlalu dengan cepat. Pemandu acara meminta Bian untuk kembali ke meja masaknya. Sebentar lagi, pertandingan akan segera dimulai.

"Oke, semua siap, ya! Ingat, waktunya hanya satu jam," ujar lelaki bertubuh mungil, "Kita hitung mundur sama-sama. Tiga ... dua ... sa―"

"Stop!" seru Atifah.

Semua orang terdiam. Tidak ada pandangan yang tidak tertuju pada wanita bergaun silver itu. Mereka tidak ada yang mengerti dengan sikap Atifah.

Mr. ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang