Bagian: 15 Amarah

21 6 0
                                    


Langkah Bian begitu cepat saat menuju ke meja belajarnya. Mata cokelat pudar itu terus mendelik melihat Caka yang duduk di sana. Tatapan tajam penuh kebencian membuat Caka ketakutan. Kedua tangan perkasa Bian pun mengepal kuat.

Sudah beberapa minggu ini, Bian menyimpan amarah kepada Caka. Ia terus berusaha sabar. Apa pun yang Caka lakukan kepadanya, Bian seoalah tidak peduli. Akan tetapi, pemuda bernama lengkapa Biantara Jayastu itu tak bisa lagi membendung amarahnya.

Bukti memang belum ada di tangan, tetapi Bian begitu yakin jika si anak Mahadi sedang berusaha menjatuhkan Bian. Wifi yang mati pun, pasti kerjaan dua lelaki menjijikan itu. Buktinya, selama ini tidak ada keluhan apa pun terkait jaringan wifi di rumah. Lalu, kenapa sekarang tiba-tiba mati? Apa lagi kalau bukan perbuatan licik Caka.

"Ini semua pasti ulahmu, 'kan? Hah!" murka Bian.

"Tidak!" jawab Caka, cepat, "A-aku ... aku hanya ...."

Bugh ...!

Sebuah pukulan keras langsung Bian berikan untuk pria berambut ikal di harapannya. Pukulan penuh amarah itu membuat Caka tersungkur. Ia mengerang kesakitan.

Darah segar keluar dari sudut bibir Caka. Dia berusaha bangkit seraya mengelap cairan kental dan anyir tersebut. Mungkin jika Caka dalam keadaan siap, dia tidak akan sampai tersungkur seperti barusan.

"Aku hanya mau tahu apa jaringan wifimu tidak bermasalah!" kata Caka saat ia berhasil berdiri.

"Omong kosong!" Bian masih tidak terima dengan alasan Caka. "Selama ini kamu memang ingin membuatku gagal. Iya, 'kan!"

Derap langkah cepat terdengar. Sesaat kemudian, Atifah dan Mahadi terlihat di bingkai pintu. Wajah keduanya tampak kaget.

"Ada apa ini?"  tanya Atifah.

Suara gaduh yang berasal dari kamar anaknya membuat Atifah dan sang suami berlari melihat apa yang terjadi. Apalagi, saat ia berusaha memanggil Bian dan tak ada jawaban. Pikiran Atifah langsung kalut.

"Laki-laki ini, Ma!" tunjuk Bian, "Dia yang sengaja mematikan jaringan wifi. Lalu, dia menyabotase data yang akan aku kirim!" lanjutnya menjelaskan.

Caka menggoyangkan kedua tangannya, sebagai bentuk penolakan. Dia merasa tidak terima atas tuduhan Bian. Dia tidak mau citranya di mata Atifah menjadi buruk.

"Tidak seperti itu. Bian hanya salah paham," ujar Caka, "Jaringan wifiku juga mati. Itu sebabnya aku mau nanya sama Bian. Tapi, saat ke kamar ternyata Bian tidak ada. Aku langsung mengecek laptopnya,"  lanjut Caka membela diri.

"Bian! Kamu ini apa-apaan? Jangan seperti anak kecil! Kamu itu sudah dewasa, jangan asal menuduh. Jangan suka kasar dan pikirkan dulu sebelum kamu berbuat sesuatu!" Atifah ikut emosi dengan kelakuan anaknya.

Wanita bersanggul kecil itu mengira jika Bian sudah berubah lebih baik. Terlihat dari beberapa kali saat Bian bisa mengontrol emosinya meski Caka terus memprovokasi. Bukan hanya itu, anak dari suami pertamanya tersebut juga tak pernah lagi keluar malam. Dia tak lagi menghamburkan uang. Dia tak lagi menghabiskan waktu bersama komunitasnya. Namun, sepertinya perkiraan Atifah salah. Bian masih saja seperti yang dulu.

"Jadi, Mama lebih percaya dengan Caka?"

Mahadi yang melihat kekacauan tersebut tak bisa tinggal diam, dia berkata, "Bian, ini bukan masalah percaya atau tidak, tapi masalah emo―"

"Diam kamu!" bentak Bian saat Mahadi akan angkat bicara, "Aku sedang tidak berbicara denganmu!"

Tangan Atifah refleks mendarat keras di wajah sang anak. Perkataan dan sikap anaknya sudah sangat keterlaluan. Ia ingin membuat Bian jera.

"Mama  ...," ucap Bian tak percaya.

Seumur hidupnya, ini adalah tamparan pertama yang dia dapat dari sang Mama. Senakal apa pun Bian, biasanya Atifah tak sampai main tangan. Lalu, kenapa sekarang hanya untuk membela dua lelaki menjijikan itu, Atifah sampai tega menampar Bian?

Tanpa mengatakan apa pun, Bian langsung pergi. Ia tidak peduli meski sang Mama memanggilnya berulang kali. Di sisi lain, Mahadi dan Caka tersenyum sinis melihat pertengkaran ibu dan anaknya.

Diri Bian masih dikuasai kemarahan. Ia pergi dengan menaiki motor kesayangannya. Berkendara dengan kecepatan tinggi pun menjadi salah satu pelampiasannya.

Mungkin benar apa yang dikatakan banyak orang, bahwa Bian bukanlah orang yang berarti. Bahkan ibu kandungnya saja seoalah tidak bisa menghargai dia. Sungguh, perlakuan Atifah membuat Bian merasa dirinya tidak berharga sama sekali.

Bian berhenti di depan rumah Chef Anto. Sepertinya hanya dia yang bisa mengerti keadaan Bian. Dia juga yang selama ini mendukung penuh apa yang Bian lakukan.

"Mas Bian kenapa?" Chef Anto tampak bingung saat mendapati muridnya dalam keadaan kacau. Mata Bian memerah. Bekas tamparan pun masih terlihat jelas di pipi putihnya.

"Chef, sepertinya aku tidak akan melanjutkan kompetisi ini."

Satu kalimat yang keluar dari mulut Bian membuat Chef Anto kaget. Aneh sekali rasanya saat Bian tiba-tiba datang dalam keadaan kacau dan tidak akan berjuang lagi. Bukankah Bian pernah bercerita jika dia mau mempertahankan Resto DAMA?  Benarkah Bian akan melepas resto itu begitu saja? Apa Bian akan membiarkan Caka dan Mahadi berjaya di atas kesengsaraan ibunya?

Mr. ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang