Bagian 12: Tantangan Caka

17 6 0
                                    


"Oh, itu ... kebetulan saya sedang menerima telepon, Mas. Jadi, nggak tahu siapa yang datang. Tau-tau acara digagalkan." Chef Anto menjawab pertanyaan Bian dengan tenang.

Pemuda berkulit putih itu hanya mengangguk pelan. Tidak ada pertanyaan lagi yang terlontar kepada Chef Anto tentang anaknya. Pertanyaan tersebut hanya terngiang dalam kepalanya. Entahlah, Bian merasa begitu penasaran dengan putri tunggal si juru masak handal. Apalagi, di rumah yang kini menjadi tempatnya belajar tak ada foto keluarga yang terpasang.

"Sekarang kita masuk ke cara memotong sayuran," ucap Chef Anto seraya mengambil mentimun.

"Pertama slice," lanjutnya sembari memotong mentimun dengan pelan, "Ini teknik yang paling dasar. Caranya gampang dan simpel, cukup dipotong miring atau pun horizontal."

Chef Anto lantas memberi instruksi kepada Bian untuk ikut mempraktikkan cara tersebut. Untuk teknik ini, Bian berhasil lulus dengan mudah. Hanya saja, dia belum bisa cepat seperti sang guru.

Sebuah seledri diambil oleh Chef Anto. Ia membaginya dalam dua bagian. Satu diletakkan di talenan miliknya. Satu bagian lagi diletakkan di talenan milik Bian.

"Untuk memotong sayuran jenis daun herbal seperti ini, kita menggunakan cara chiffonade. Caranya, sayuran digulung dulu, terus diiris tipis dan melintang."

Bian mengikuti bagaimana cara Chef Anto memotong seledri. Bagian ini pun masih terbilang mudah. Mungkin karena memang familiar untuk pemasak awam.

Chef paruh baya itu memerhatikan Bian saat memotong sayuran dan bertanya, "Gimana, ada kesulitan?"

Setelah menyelesaikan irisan terakhir, Bian menjawab, "Sejauh ini masih aman, Chef."

Kali ini, Chef Anto beralih pada wortel. Ia memotong wortel tersebut dengan bentuk balok. Untuk ukuran sendiri berkisar 3 x 1 x 1 cm dan biasanya potongan seperti ini ada pada sayuran pendamping steak. Inilah yang disebut dengan cara Jardiniere. Sedikit mirip dengan teknik Juilenne. Hanya saja sedikit lebih tipis, berbentuk korek api.

Setelah putra Atifah bisa mempraktikkan dengan lancar, Chef Anto langsung mengajarkan teknik selanjutnya. Dice atau potongan dadu, Brunoise yang sedikit lebih kecil dari Dice, Chopped atau yang famoliar dengan istilah cincang, Minced atau cincang halus, Paysanne yang mirip dengan Slice tetapi sedikit lebih tipis, dan wedges atau berbentuk sayuran itu sendiri.

Hari ini, Chef Anto lebih banyak memberikan pelajaran, termasuk praktik dasar memasak. Mereka tidak boleh terlalu lama di teori, sebab waktu pendaftaran semakin dekat. Namun, lelaki yang sudah lama berkutat dengan peralatan dapur itu pun tak bisa membiarkan Bian belajar memasak tanpa teori dan istilah dalam dunia tata boga. Sebab, kompetisi memasak taraf nasional itu, sang juri kerap menggunakan istilah dalam dunia tata boga.

Bian kembali ke rumah setelah jam belajarnya berakhir. Pun dengan Chef Anto yang langsung berangkat ke restoran. Keduanya akan melakukan kegiatannya masing-masing sebelum kembali bertemu esok hari.

"Bian, Mama perhatikan akhir-akhir ini kamu keluar pagi terus. Ada apa?" tanya Atifah saat Bian turun dari motornya.

"Biasa, Ma. Kaya nggak kenal aku aja," jawab Bian, "Anakmu ini, kan, biasa disibukkan dengan hal yang tidak sibuk."

Atifah menghentikan sejenak kegiatan menyiram tanaman.
"Maksudnya?"

Pemuda tampan itu lantas tersenyum jahil. "Aku juga nggak tahu maksudnya apa. Cuma asal ngomong aja."

Atifah hanya berdecak kesal atas jawaban Bian. Ia lantas berjalan menuju rumah bersama sang anak. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak saling sapa di rumah. Bukan karena ada masalah. Hanya saja, Bian sedikit disibukkan dengan kegiatan barunya.

"Mama udah sarapan?" tanya Bian.

"Belum. Kenapa?"

"Kita sarapan bareng gimana, Ma? Aku yang masak, deh," ujar Bian penuh percaya diri.

Baru saja Bian belajar memasak dengan gurunya. Ya, meski hanya sebuah praktik sederhana, yaitu menggoreng telur dadar. Namun, lelaki dengan julukan Mr. Imposiblle itu ingin menunjukkan kepada sang Mama seperti apa keahilannya. Mungkin saat ini dia baru bisa menawarkan telur dadar, tetapi dia yakin besok akan banyak masakan yang lahir dari tangannya.

"Kamu yakin?" Atifah terlihat ragu.

Bukan tanpa alasan, dia seperti itu karena memang selama ini anaknya tidak pernah datang ke dapur. Sang anak juga tak bisa membedakan antara merica dan kemiri. Pernah suatu hari Atifah meminta Bian untuk memasukkan sedikit kemiri bubuk ke masakannya, tetapi yang ditaburkan justru merica.

"Nggak usah syok gitu, deh, Ma," protes Bian, "Tapi, aku baru bisa goreng telur. Nggak papa, 'kan? Janji, deh, telur gorengnya seenak terus di Dapur Mama."

"Boleh," kata Atifah menyetujui, "Ayo, buktikan sama Mama."

Saat hendak menuju dapur, Atifah dan anaknya dikagetkan dengan kedatangan Caka. Pria itu sudah rapi dengan setelan hem dan celana hitam. Wangi parfumnya pun menguar kuat. Lagi-lagi, anak Mahadi itu tersenyum sinis kepada saudara tirinya. Namun, Bian justru membuang muka. Ia seoalah tidak peduli dengan Caka.

"Bagaimana kalau kita sama-sama masak," ujar Caka, "Ya, hitung-hitung menggantikan hari kemarin yang gagal. Atau, anggap aja kita kerja sama buat nyiapin sarapan buat Mama."

Wanita dengan rambut digelung itu langsung menoleh ke arah Bian. Dari ekspresi yang Bian tunjukan dia bisa tahu bahwa sang anak sedang menahan emosi. Terlihat dari wajahnya yang memerah, tatapan tajam dan salah satu tangan mengepal.

"Aku tidak takut dengan tantanganmu!" tegas Bian.

Mr. ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang