Bagian 14 Awal Perjuangan

21 6 0
                                    


Seperti hari sebelumnya, Caka selalu menghabiskan waktu sore untuk belajar memasak. Chef Anto yang mendampingi langsung. Semakin hari, kemampuan anak tiri Atifah itu semakin bagus. Caka bisa menerima pelajaran yang disampaikan gurunya dengan baik. Wajar memang untuk seorang yang pernah memasuki dunia tata boga.

Sama seperti saudara tirinya, Bian juga terus mengasah kemampuan mengolah berbagai macam makanan. Hampir sebulan ini ia terus belajar bersama Chef Anto. Mulai dari pengetahuan dasar, teknik dasar, sampai cara memasak yang baik dan menghasilkan makanan enak.

Pelajaran yang Chef Anto sampaikan bisa diterima baik oleh Bian. Untuk seukuran pemula, kemampuan cukup bagus. Apalagi perkembangannya begitu signifikan. Pemuda tampan tersebut sudah bisa memotong dengan cepat, bisa membedakan berbagai jenis bumbu dan yang paling penting ia sudah mulai mulai mampu mengeksekusi dengan baik.

Putra Atifah kini sudah memilih dasar untuk mengolah beberapa makanan dari berbagai jenis. Baik itu  appetizer, main course, atau pun dissert. Bian memang tak mengandalkan Chef Anto saja untuk menjadi gurunya. Ia juga berguru pada kecanggihan teknologi. Jenis makasakan dan bagaimana mengolahnya, ia pelajari secara otodidak. Bukan karena Chef Anto tak mengajarnya, tetapi karena memang dia ingin menambah kemampuannya.

Selesai belajar di tempat sang guru, pemuda berkulit putih itu lantas mencoba memasak di rumahnya. Apalagi di jam tersebut tidak ada Caka atau pun Mahadi di rumah. Bian menjadi semakin leluasa saat belajar. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika kedua pria licik itu berada di rumah. Mereka pasti akan mengacaukan apa yang Bian lakukan.

"Kamu tidak boleh menyepelekan Bian, Caka!" tegas Mahadi.

Lelaki yang mengenakan setelan jas itu tampak marah. Caka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sepulang kerja, ayahnya itu langsung memanggil dia untuk untuk ke halaman belakang.

"Papa tenang aja, paling kemampuan Bian cuma segitu. Itu mah kecil. Tahap pertama audisi pasti juga langsung tersingkir," jawab Caka santai.

Caka memang selalu menanggapi kemampuan saudara tirinya dengan santai. Dia cukup tahu bagaimana Bian selama ini. Anak kandung Atifah itu tak bisa melakukan apa pun dengan beres. Dia tak pernah berhasil menaklukkan tantangan. Itu sebabnya Caka sangat santai bersaing dengan Bian.

"Kemarin Atifah bilang, kalau Bian itu selalu belajar masak saat kita kerja. Dia terus belajar sampai sore. Menjajal semua olahan makanan. Atifah juga kadang membantunya." Mahadi menjelaskan apa yang dia ketahui.

Caka langsung berdiri. Ia mendekat kepada sang Papa yang tengah berdiri di tepi kolam renang. Ada rasa tak percaya dalam diri Caka mengenai usaha Bian yang baru saja dijelaskan oleh Mahadi.

"Yang bener, Pa?" tanya Caka, penasaran.

Mahadi mengangguk. "Atifah juga bilang kalau masakan cukup enak untuk seorang amatir seperti Bian."

Sesaat, Caka terdiam. Ternyata itu alasan Bian tak lagi datang ke restoran. Caka kira, saudara tirinya itu sedang asik dengan hobi dan komunitasnya itu.

"Kita harus cari cara untuk menggagalkan usaha Bian." Mahadi berkata dengan nada yang datar.

Caka tersenyum sinis.
"Tenang, Pa. Aku akan melakukan sesuatu untuk anak kesayangan Mama Atifah itu. Aku pastikan Bian tidak akan lolos. Aku yakin, resto DAMA akan jatuh ke tangan kita."

Tawa sumbang terdengar dari pria berjambang tipis. "Dan kita bisa pergi meninggalkan keluarga Atifah."

Hari ini, tepat pukul delapan malam pendaftaran Mister Chef dibuka. Orang-orang dari seluruh nusantara bisa mendaftarkan dirinya secara online. Ya, memang pendaftaran tahap satu adalah tahap seleksi dokumentasi. Barulah setelah dinyatakan lolos, mereka akan dipanggil sesuai jadwal untuk audisi selanjutnya, yaitu membawa hasil makasakan.

Semua scan dokumen yang Bian butuhkan sudah dia persiapkan dari jauh hari. Saat ini pun, lelaki bertubuh tinggi tersebut sudah duduk manis di meja belajarnya. Laptop berwarna hitam sudah dinyalakan. Jaringan wifi pun sudah aman. Sebentar lagi, awal perjuanganya akan dimulai.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bian saat akan mengisi data diri.

Tangan Bian langsung menari di atas keyboard. Dia mengisi semua pertanyaan dan mrngunggah dokumen yang dibutuhkan. Semua persyaratan awal sudah dia lengkapi.

Berulang kali, Bian mengecek semuanya. Dari awal sampai akhir. Tidak ada satu pun yang dia lewatkan. Bian begitu yakin, bahwa tidak ada satu huruf pun yang kurang.

Kini, jari lelaki tampan itu sudah berada di atas mouse. Ia bersiap menggerakkan pinter tersebut ke tombol hijau bertuliskan send. Sebelum menekan tombol tersebut, Bian kembali mengucap basmalah. Tak lupa, dia juga mengucapkan apa yang menjadi harapannya.

"Bismillahirrahmanirrahim." Kembali, Bian mengucapkan basmalah dan klik ....

"Ah, ini kenapa?" Bian tampak panik saat pointer di sana tidak loading.

"Sial!" ucapnya saat mengetahui bahwa jaringan wifi mati.

Bian lantas berjalan keluar mengambil ponselnya di ruang keluarga. Dia cepat-cepat kembali ke kamar untuk melanjutkan pendaftaran tersebut.

Ponsel sudah di tangan. Bian akan menyambungkan jaringan komputer ke jaringan ponselnya. Saat membuka pintu kamar, amarah Bian langsung memuncak.

"Apa yang kamu lakukan!" geram Bian saat melihat Caka sedang mengotak-atik laptopnya.

"Bi-bian?"

Mr. ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang