Bagian 2: Tantangan

22 6 0
                                    


“A-apa maksudmu, Bian!”

Melihat perubahan nada bicara suaminya membuat Atifah semakin bingung. Dia menduga bahwa Bian sudah mengatakan sesuatu yang menyinggung Mahadi. Memang benar apa yang Mahadi katakan, kian hari bukannya semakin membaik Bian justru semakin keterlaluan.

“Apa yang kamu katakan, Bian?” Atifah akhirnya bertanya langsung kepada sang anak.

“Aku cuma bilang, kalau suami Mama tidak akan pernah bisa mengusirku. Malahan dia dan anaknya yang akan kuusir,” jawab Bian dengan santaiya.

Atifah hanya bisa mengelus dadanya seraya beristighfar. Entah harus bagaimana caranya untuk menyadarkan sang anak. Sementara itu, Bian langsung pergi begitu saja.

Pagi ini, pemuda yang sudah lulus kuliah dua tahun silam tersebut membatalkan rencananya untuk pergi traveling. Ia kembali ke kamar dan merebahkan badan di atas kasur empuk. Mahadi benar-benar membuat mood-nya kacau.

Sebenarnya sikap Mahadi bukanlah masalah besar bagi Bian. Masalah yang sebenarnya adalah rencana busuk pria tua itu dengan sang anak. Meski terbilang apatis dengan usaha kuliner mamanya, tetapi Bian tidak akan rela jika Restoran Dapur Mama dikuasai papa tirinya.

Ada berbagai hal yang Bian pikirkan untuk menggagalkan rencana tersebut. Mengatakan langsung kepada Atifah, menyingkirkan Mahadi dari rumah atau malah mencelakakan Mahadi sekalian? Ah, tidak! Bian tidak segila itu untuk bersaing. Dia harus mencari cara yang lebih baik, bermain lebih cantik.

Bosan mencari jalan keluar yang tak kunjung ketemu, Bian beralih pada ponsel. Ia mencari beberapa tempat yang mungki bisa dikunjunginya dalam waktu singkat. Tidak lama kemudian, perutnya keroncongan. Kalau sudah menyangkut masalah perut, ia tidak bisa menundanya lagi.

Pria berwajah rupawan itu lantas keluar dari kamar. Dapur merupakan tempat yang ingin dia tuju. Biasanya masakan Atifah menjadi favorit Bian. Akan tetapi, setelah Atifah harus beristirahat total, Bian hanya bisa memakan masakan sang ART.

“Sayang ... apa tidak sebaiknya resto DAMA diurus oleh Caka?”

Langkah Bian terhenti tepat di depan ruang kerja mamanya. Tidak salah lagi, itu adalah suara Mahadi. Bian sungguh tidak menduga jika Mahadi akan mengambil langkah cepat.

“Bukan apa-apa. Hanya saja kamu ini, kan, harus bedrest. Aku tidak mau kamu terus terbebani dengan masalah resto. Lagi pula, aku sendiri sudah menangani bisnis properti kita.”

Bian merasa muak dengan ucapan papa tirinya. Bisnis properti kita, katanya? Jelas-jelas bisnis itu adalah usaha yang dibangun oleh papa Bian dan juga mamanya. Mahadi hanya mengambil kesemapatan atas kelemahan Atifah.

“Aku kira, Caka orang yang tepat untuk menangani resto. Dia sudah pernah bekerja di perusahaan besar. Masalah masak, dia juga pernah mengikuti kursus masak saat kuliah di luar negeri.” Mahadi terus mengatakan kebaikan anaknya.

“Saya sendiri sebenarnya berat untuk mengambil tanggung jawab ini, Ma. Tapi, aku tidak tega melihat Mama Atifah harus tetap bekerja saat sakit. Belum lagi, masalah langsung di lapangan pasti lebih rumit dan perlu pengawasan khusus.” Kali ini suara Caka yang terdengar.

Dua manusia menjijikan itu teryata sangat serius dengan rencananya. Terbukti, sekarang mereka sedang merayu Atifah untuk menyerahkan resto kepada Caka. Bian tidak bisa tiggal diam.

“Sial!” kesal Bian saat mendengar ucapan Mahadi dan Caka.

Dengan penuh amarah, Bian mendorong pintu begitu keras. Amarahnya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Kelakuan Mahadi dan Caka sudah sangat keterlaluan.

Semua orang yang berada di ruang kerja Atifah merasa kaget. Kelakuan Bian tadi mendapat tatapan penuh kebencian dari papa tirinya. Kedua pria itu sepertinya sama-sama panas. Mereka ingin berjaya dengan cara menjatuhkan satu sama lain.

“Bian!” bentak Atifah.

Atifah masih bisa terima jika Bian membuka pintu kamarnya tanpa permisi, itu pun jika Atifah tengah sendiri. Namun, dia sangat tidak meyukai hal tersebut saat dirinya sedang bersama Mahadi. Apalagi dengan cara brutal seperti tadi.

“Ma, Bian mau Restoran DAMA diberikan sama Bian.”

Seperti tidak peduli dengan bentakkan Atifah, Bian langsung to the point mengatakan keinginanya. Tentu saja hal tersebut membuat mereka semakin kaget.

“Kenapa kamu tiba-tiba meminta untuk mengurus resto?” tanya Atifah, curiga.

Mahadi berdiri. Kekhawatiran di wajahnya begitu kentara. Bian semakin yakin bahwa Mahadi memang ingin menguasai usaha milik keluarga Jayastu.

“Eum ... begini, sebaiknya kamu pikirkan dulu. Kamu tahu sendiri, kan, jika selama ini Bian tidak tahu apa-apa tentang resto. Berbeda dengan Ca―”

“Berhenti memuja anakmu dan merendahkanku!” murka Bian, “Ma, aku ini anak kandung Mama. Aku keturunan Jayastu. Darah Jayastu mengalir dalam tubuhku. Apa aku tidak pantas menjadi penerus usaha kuliner keluagaku sendiri?”

Atifah semakin bingung. Ia tidak bisa memutuskan hal seperti itu secara cepat. Apalagi ini menyangkut usaha turun-temurun dari nenek buyutnya. Atifah tidak mau mengecewakan siapa pun.

Caka yang merasa geram, akhirnya angkat bicara. “Kamu tidak perlu banyak omong, Bi! Lebih baik kita buktikan saja siapa yang pantas mengurus Resto DAMA.”

Bian beralih menatap Caka. Dia masih menunggu apa yang ingin Caka katakan lebih lanjut. Pun dengan Mahadi dan Atifah yang juga merasa penasaran.

“Apa maksudmu?” tanya Bian.

“Kita ikut kompetisi Mister Chef, siapa yang menang dialah yang berhak mengurus resto, bagaimana?”

Kompetisi memasak? Oh, ayolah ... jangankan masak, antara merica dan ketumbar saja Bian masih belum bisa membedakan. Ia hanya tahu makanan yang enak dan tidak.

Pria berkulit putih itu memang tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang memasak. Namun, keinginan Bian berambut untuk meneruskan usaha keluarganya begitu kuat. Dia tidak akan pernah rela jika usaha yang dibangun mati-matian akan diambil oleh manusia menjijikan seperti Mahadi dan Caka.

“Oke, aku berani!” jawab Bian, yakin.

Mr. ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang