"Tenang Mas Bian. Saya ada cara lain." Chef Anto tersenyum penuh makna."Apa, Chef?" tanya Bian, antusias.
"Kita bisa belajar bersama. Tapi, saya hanya ada waktu luang bakda Subuh. Bagaimana?"
Bian terkejut. Ia merasa tidak mungkin bisa melakukan hal tersebut. Selama ini, Bian selalu keluar malam dan baru pulang menjelang Subuh.
"Tapi itu berat, Chef. Kalau jam 12 malam, aku malah sanggup." Bian mencoba menawar.
Chef Anto hanya tertawa. Sudah bisa ditebak, Bian akan keberatan dengan waktu yang dia ajukan.
"Begini, Mas Bian ... coba Mas Bian jadikan ini sebahu prioritas dari keinginan yang lain. Kalau Mas Bian bisa mengatur prioritasnya aja dulu, jalan berikutnya akan mudah."
"Maksudnya?"
"Kalau belajar ini adalah prioritas, pasti keinginan lain disampingkan dulu. Keluar malam, misalnya. Gunakan waktu malam untuk istirahat, agar bisa bangun Subuh dan badan jadi bugar. Apalagi belajar di waktu pagi itu sangat dianjurkan. Pikiran masih fresh. Dan lagi ...." Chef Anto menjeda ucapannya sejenak. "Kalau hal itu benar diinginkan, pasti akan diusahakan sekuat tenaga. Kalau belum totalitas usahanya, itu berarti Mas Bian memang tidak ingin mendapatkan itu."
Kalimat Chef Anto begitu menohok bagi Bian. Lelaki berusia 27 tahun itu merasa sangat tersindir. Meskipun begitu, ia sama sekali tidak tersinggung. Memang begitu faktanya, Bian selalu menghabiskan waktu untuk urusan tidak penting. Bian tidak mau berusaha keras untuk sesuatu yang dia inginkan. Mungkin, sekarang memang saatnya Bian menjadi lebih baik dan berusaha lebih keras.
"Baik, Chef. Aku setuju," ujar Bian penuh semangat.
Keesokan harinya, anak Atifah itu berhasil bangun sebelum azan Subuh berkumandang. Tentu tidak semudah yang dipikirkan, sebab Pak Muid―penjaga rumah―harus berusaha keras membangunkan tuanya. Tadi malam pun, Bian harus berusaha keras agar bisa tidur jam 10 malam. Namun, pada akhirnya dia baru bisa terlelap menjelang jam 12 malam.
Suasana rumah masih sepi saat Bian hendak berangkat. Tak dilihatnya sang Mama yang biasanya sudah sibuk di dapur. Semenjak sakit, Atifah memang lebih banyak menghabiskan waktu di atas ranjang daripada di dapur.
Bian hanya menyampaikan pesan kepada Pak Muid untuk disampaikan kepada Atifah, jika Bian akan berangkat pagi. Namun, ia tak mengatakan akan pergi ke mana. Lelaki tampan itu tidak ingin Caka dan Mahadi tahu jika dia akan belajar memasak dengan Chef Anto. Kalau kedua orang itu tahu, bisa-bisa mereka akan menggagalkan usaha Bian.
Menggunakan motor kesayangannya, Bian berangkat ke rumah Chef Anto. Jalanan pagi yang lenggang membuat dia bisa sampai di tempat tujuan dengan cepat. Tidak sampai dua puluh menit, kini anak tunggal Atifah dan Alm. Yosa sudah sampai di rumah Chef Anto.
Bian melangkah pasti menuju pintu masuk rumah Chef Anto. Senyum yang biasanya tak pernah terlihat, pagi ini bisa dilihat dengan begitu jelas. Bulan sabit di wajah pria itu, semakin menambah ketampanananya. Ditambah semangat Bian untuk mulai belajar begitu menggebu, membuat dia terlihat sangat berbeda dari biasanya.
"Mas Bian sudah datang ternyata. Mari masuk." Chef Anto membuka pintu dan menyambut kedatangan tamu istimewanya.
"Padahal aku belum ketuk pintu, Chef," ujar Bian.
Chef Anto tersenyum dan berkata, "Suara motornya kedengeran. Siapa lagi kalau bukan Mas Bian yang datang sepagi ini."
Keduanya lantas masuk. Mereka langsung menuju dapur. Di dapur yang cukup luas itu, Chef Anto sudah menyiapkan banyak rempah-rempah dan bumbu dasar untuk memasak. Dia akan mengenalkan semuanya pada Bian dari awal.
Melihat begitu banyak bumbu memenuhi meja, membuat Bian sedikit bingung. Ia bahkan tak mengenali satu pun. Parah memang, seorang anak yang terlahir dari keluarga pengusaha kuliner tidak tahu satu pun bumbu masakan.
"Chef banyak sekali?" tanya Bian, heran.
"Ya, memang segini. Ini baru dasarnya," jawab Chef Anto begitu tenang.
Chef yang terbilang senior itu lantas memperkenalkan semua bumbu yang ada di meja. Chef Anto baru menyediakan sekitar dua puluh lima jenis bumbu dan rempah. Pelajaran pertama yang harus Bian kuasai adalah memahami jenis bumbu dapur tersebut.
Dengan sabar, Chef Anto menunjukkan satu per satu.
"Oke, dari sebelah kananan, ya. Ini bawang merah, bawang putih, bawang bombai, cabai, wijen, saffron, jintan, jeruk purut, jeruk nipis, asam jawa, ken―""Bentar, Chef ... bentar. Aku hafalin dikit dulu," ujar Bian menyela.
Pria paruh baya di samping Bian hanya bisa tersenyum dan membiarkannya menghafal beberapa rempah yang baru ditunjukkan.
"Oke, Chef. Lanjut lagi."
Chef Anto kembali menunjukkan benda di depan mereka. "Nah, yang ini kencur, kunyit, lengkuas, jahe, daun salam, ketumbar, adas, serai, lada, vanili, pala, kapulaga, kayu manis dan ...."
Belum sempat menyelesaikan penjelasannya, seorang perempuan masuk. Wajahnya terlihat begitu khawatir. Chef Anto terpaksa menghentikan kegiatannya. Bian yang tadinya sedang serius memerhatikan gurunya pun, ikut menunggu penjelas perempuan tersebut.
"Aduh, maaf, Pak saya mengganggu. Tapi, Ibu ... I-Ibu, dia .... "
Tanpa menunggu penjelasan perempuan tersebut, Chef Anto langsung melangkah pergi. Terlihat wajahnya yang berubah khawatir. Ada apa sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Impossible
General FictionSetiap diri pasti memiliki arti. Meski terkadang, semua orang bersikap tak peduli. Biantara Jayastu ingin membuktikan bahwa dirinya berarti melalui sebuah kompetisi memasak. Dia yakin bahwa julukan Mr. Imposiblle yang tersemat dalam dirinya tidak be...