🍁Kamu tau nya aku baik-baik aja sih, pernah mikir enggak kalau aku kenapa-kenapa?
______________
Pintu kaca itu pada akhirnya digeser sang tuan bersama dengan langkah santainya yang membawa soda kaleng ditangannya. Alvito Fadrian Adhyaksa—barangkali sudah muak dengan sosok Aran, sahabat sedari dalam kandungan— yang menghabiskan pagi di kediamannya hanya untuk beradu dengan samsak. Tubuhnya basah hal yang terlampau biasa, bahkan kaos tanpa lengan yang 45 menit lalu dikenakan entah dilempar kemana. Nafasnya juga terdengar tak beraturan, Vito menggeleng menghentikan pergerakan samsak yang terombang-ambing oleh pukulan bahkan tendangan Aran. "Udah dulu, gue cape liatnya. Nih minum." Uluran tangan itu didorong pelan, Aran lebih memilih meraih air mineral yang sengaja dia ambil sebelum masuk ke ruang gym dilantai 3 rumah Vito.
Vito mengangkat bahunya acuh. Aran mengambil ponselnya, berharap notifikasi yang dia tunggu muncul dilayarnya, ia menghela nafasnya dengan berat.
Vito menenggak minumannya hingga setengah, "Kalau pengen tau kabarnya tuh telfon, chatt atau paling enggak samperin. Bukan malah nyiksa diri gini, nyusahin." Tuturnya, Vito menjatuhkan pantat-nya dengan mulus pada sofa empuk yang tersedia di ruang gym-nya. "Cewek kan enggak mau mulai duluan Ran, kodratnya gitu. Kemungkinan ada sih diluar sana yang mau memulai duluan timbang cowok, persentasinya kecil tapi 20% mungkin, cuma nih Fiony bukan salah satu kalangan itu, enggak termasuk ke 20% itu."
"Hah, gue cuma mau ngasih dia waktu aja." Aran meraih kaos bersih miliknya, berbalik menatap Vito yang duduk begitu santai, "Lagipula, gue sama dia lagi enggak baik-baik aja, eumm—maksudnya daripada makin kemana-mana masalahnya dan hal yang enggak gue inginkan terjadi ya mending gue diem aja dulu."
"Sampai kapan?"
"Keduanya siap, kita lagi sama-sama butuh waktu sama ruang."
Vito terkekeh pelan, ia menegakkan tubuhnya menatap Aran. "Ran ran, satu minggu diem-dieman. Lo ngasih waktu dia atau 'kalian' ini buat saling intropeksi, atau ngasih ruang buat dia nyari yang lain, hem? Atau—jangan-jangan dia lagi sama yang lain dan lo enggak tau karena lo terlampau bego soal cinta."
Bantal sofa yang nganggur digunakan untuk menghantam tubuh Vito lumayan keras, suara tawa dari mulut Vito menggema begitu saja, sedang Aran mendengus malas. Ia menghempaskan tubuhnya pada sofa yang sama, perkataan Vito berhasil masuk mempengaruhi otaknya.
Sama yang lain?
Aran senyum tipis, rasanya lucu sekali jika memang benar. Jadi, siapa yang bodoh?
Hubungannya dengan Fiony memang akhir-akhir ini tak begitu baik sebenernya, tapi Aran tetap Aran dengan tingkat denial nya yang tinggi. Beranggapan jika semua hal adalah lumrah, termasuk ketidak-baikan didalam sebuah hubungan. Mungkin jika satu/dua kali maklum, tapi ini berangsur-angsur bahkan dalam jarak waktu yang dekat, apakah masih bisa dikatakan hubungan yang baik, atau hubungan sehat? Rasanya kurang pantas saja.
Tapi kembali lagi, Aran tetap lah Aran. Seolah menutup celah salah antara dirinya juga Fiony dalam hubungan mereka. Hanya perlu waktu, katanya.
Tepukan pada bahu Aran membuat dirinya menoleh, "Apa?"
"Menurut gue, enggak ada masalah sebenernya kalau lu mau bilang lu capek, lu muak, lu kesel, seolah hubungan itu yang jalan cuma lu doang, dia enggak berperan." Ucap Vito, ia menenggak soda kaleng hingga tandas sebelum melanjutkan ucapannya. Kembali membenarkan posisi duduknya agar nyaman bersuara, "Ran, lu tuh terlalu mengenali Fiony, enggak usah nutup mata kalau perubahan-perubahan yang dia kasih emang nyata. Jangan nyangkal mulu kalau dia cuma punya elo, sesekali boleh curiga. And, satu lagi hubungi dia. Kenapa? Menurut gue ngasih waktu selama itu kalau dia enggak nyari lu, apa masih bisa dikatakan lu masih jadi pioritas yang paling di butuhkan?"
"Harusnya sih iya, kan lu pacarnya."
Lagi-lagi ucapan Vito berhasil membuatnya semakin berpikir keras. Perasaannya semakin di buat bertanya-tanya tentangnya dan juga Fiony. "Lagian nih Ran, dia tuh cuma tau lu baik-baik aja apapun kadaan lo. Emang peduli, lu kenapa-kenapa setelah masalah kemarin?" Tanyanya. Jelas, pertanyaan itu tak mampu untuk Aran jawab. Itu juga menjadi pertanyaan dirinya sendiri ; apakah benar Fiony peduli dengan dia atau pada perasaannya setelah perdebatannya kemarin?
Atau mungkin hanya Aran yang memikirkannya, akan bagaimana kelanjutan kisah mereka. Benar masih bisa bertahan atau berujung pada perpisahan? Aran menghela nafasnya kasar, persoalan Fiony kini entah kenapa selalu rumit untuknya. "Gue harus gimana lagi sih, gue sayang banget sama dia. Lo juga tau sendiri gimana gue ke dia."
"He'em—makanya coba hubungin orangnya, lo enggak butuh dia dateng karena enggak akan dateng. Bisa aja nih ya, dia sekarang seneng enggak adanya lu beberapa hari ini. Jadi—"
"Sayang." Baik Aran maupun Vito menoleh pada sumber suara yang lembut menyapa di teling mereka dengan sopan dari ambang pintu kaca, Vito tersenyum dengan begitu lebar bersamaan dengan beranjak nya dia menghampiri gadis cantik dengan rambut panjang yang digerai, juga kemeja putih membalut lekuk tubuhnya. Cantik—jelas itu penggambaran sosoknya yang sangat tepat. "Haii... padahal aku udah bilang bisa jemput kamu Chik, kok kamu udah di nrumah aku." Ucapnya seraya memberikan sapaan pada gadis jangkung itu dengan pelukannya.
"Aku udah bilang bisa sendiri. I miss you dear."
"Miss you more."
Aran mengernyitkan dahinya memperhatikan interaksi dua insan manusia yang seolah melupakan keberadaannya. Dan satu lagi, Aran begitu asing dengan sosok yang ada di pelukan Vito. "Ekhem!" Deheman keras dari Aran berhasil membuat Vito melepaskan pelukannya pada gadis cantiknya. Ia beralih menatap Aran yang kini menatapnya malas, "Ahahah, lupa gue kalau ada anak dugong di sini."
"Sialan."
"Anyway, Ran kenalin Yessica Tamara, panggil aja Chika—dia cewe gue dia baru pulang dari Los Angeles. Dan Chika itu Aran, sahabat aku." Tuturnya, Aran mendelik mendengar penyataan Vito, Pacarnya? Hampir 20 tahun lebih bersahabat dengan Vito baru kali ini mendengar pengakuan pacar dengan bangganya dari mulut Vito. "Pa-pacar?"
"Nanti gue ceritain. Btw—aku mandi dulu ya, kamu sama Aran enggak apa-apa kan? Tunggu di bawah aja jangan disini."
Chika terkekeh, ia mengangguk mengiyakan seraya mengusap pipi Vito dengan lembut, "iya, jangan lama-lama yah keburu siang."
"Oke." Vito melangkah menghampiri Aran yang masih loading untuk mencerna apa yang dilihat dan di dengarnya. Vito kembali menepuk bahu Aran berkali-kali, "Nanti gue ceritain, yang tadi gue bilang gue harap lo sadar jangan bego karena cewe."
Aran mencengkram bahu Vito seraya memiringkan senyumnya, "Lo utang banyak cerita ke gue."
"He'em, tenang aja."
Vito kali ini benar-benar meninggalkan ruang gym setelah memberi kecupan kilas pada bibir Chika yang berhasil membuat Aran mendumel keras. Chika terkekeh pelan, ia melangkah menghampiri Aran yang masih terpaku di tempatnya. "Hai, aku Chika pacarnya Vito."
"Aran, sahabat Vito." Senyum-nya tertarik kala melihat senyum Chika. "Cantik." Gumam Aran lirih.
•
Tbc
Hihi dah part 3 nih, jadi gimana part 1&2-nya? Jadi, Fiony lebih cocok sama Aran/Zee, hahaha. Semoga kalian suka yah, maaf kalau ga jelas hehe😁
Next
🏃